MODEL PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Warsono
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya. warsonounesa@yahoo.com
(Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010)
Abstrak
Pentingnya pendidikan karakter yang saat yang dicanangkan oleh Pemerintah melalui Meteri Pendidikan Nasional, sejak awal sudah disadari oleh para Pendiri Negara founding fathers. Sejak proklamasi kemerdekaan, para founding fathers telah menyadari bahwa yang dibangun bukan hanya negara (staate), tetapi juga bangsa (nation). Bahkan pembangunan bangsa menjadi lebih penting dan menjadi perhatian utama, karena kemajuan negara sangat ditentukan oleh kualitas bangsa. Oleh karena itu, para founding
fathers menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Bahkan para founding fathers telah memberi arah dan landasan yang jelas bagi pembangunan negara-bangsa dan karakter yaitu Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai pandangan hidup dan ideologi. Fungsi Panasila sebagai dasar negara memberi arah dan landasan dalam tatakehidupan bernegara, dengan menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber tertib hukum. Funsgi Pancasila sebagai ideologi memberi arah dan landasan bagi pembangunan dan sekaligus memberi gambaran tentang kehidupan masyarakat yang dicita-citakan. Sedangkan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup member arah dan landasan bagi pembangunan karakter bangsa. Fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup membawa implikasi bahwa Pancasila juga sebagai jiwa dan sekaligus sebagai kepribadian bangsa. Ini berarti moral dan karakter bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ketiga fungsi Pancasila tersebut harus dididikan kepada setiap warga negara, apalagi bagi generasi pasca kemerdekaan.
Mereka perlu dipahamkan bagaimana berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta karakter yang harus dimiliki sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu, dalam setiap kurikulum pendidikan nasional selalu ada materi Pancasila, -meskipun dengan nama yang berbeda,- sebagai intrumen untuk membangun good citizenship dan karakter bangsa. Meskipun materi Pancasila selalu ada dalam setiap kurikulum pendidikan nasional, isi dan penekanannya mengalami
perubahan sejalan dengan dinamika politik nasional. Dalam kurikulum tahun 2004. “pendidikan Pancasila” yang diberi label dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) lebih menekankan pada fungsi Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini terlihat dari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam kurikulum tersebut.
Pendidikan Kewarganegaraan yang sharusnya juga menjadi instrumen pembangunan karakter bangsa justru kering dengan muatan-mutan nilai atau moral. Materi PKn lebih banyak aspek kognitif daripada aspek afektif., dan ini sama mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Dengan materi yang seperti ini, PKn menjadi kurang efektif bagi pendidikan karakter bangsa. Oleh karena itu, perlu ada keberanian untuk merevisi mengenai standar kompetensi dan subtansi kajian dalam PKn, khususnya di tingkat pendidikan dasar, dengan lebih banyak memberi muatan nilai dan moral sebagai
implementasi dari fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Kata kunci: pendidikan karakter, pendidikan kewarganegaraan
Pendahuluan
Ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdeka an pada tanggal 17 Agustus 1945, ada tiga hal yang sangat mendasar, yaitu (1) mendirikan Negara; (2) membangun bangsa; dan (3) membangun karakter. Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep negara bangsa (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Upaya pembentukan Negara relative lebih cepat bila disbanding dengan pembangunan bangsa dan pembangunan karakter. Dengan diproklamasikan kemerdekaan dan dibentuk pemerintahan serta dasar Negara dan Undang-Undang Dasar, Negara sudah terbentuk. Namun pembangunan bangsa dan karakter sampai sekarang masih belum tuntas. Munculnya wacana “Putra Daerah”, dalam berbagai pilkada, wacana “pendatang dan penduduk asli” dalam interaksi sosial mengindikasikan bahwa pembangunan kebangsaan masih belum tuntas. Sebagai satu bangsa wacana-wacana tersebut tidak seharusnya muncul, apalagi dalam suasana kompetisi politik atau dalam interaksi sosial, karena dapat memicu terjadi konflik sosial dan konflik politik yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Dibanding dengan pembangunan bangsa, pembangunan karakter jauh lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Muculnya perilaku korupsi di kalangan elit birokrasi dan elit politik, perilaku anarkis para suporter sepak bola seperti Bonek di Surabaya, atau Jakmania di Jakarta, Singoedan di Malang, serta perilaku anak-anak muda di jalan raya, mengindikasikan bahwa karakter bangsa ini masih kurang baik. Bahkan para ahli juga menyoroti budaya bangsa ini sebagai budaya yang buruk, misal hipokrit munafik (Mucthar Buchori), suka menerabas (Koentjaraningrat), suka mengamuk (Umar Kayam), dan pemalas (S. Hussin Alatas). Padahal dalam kenyataannya bangsabangsa yang maju bukan karena umur/lamanya merdeka, bukan juga karena jumlah penduduk serta kekayaan alam, tetapi lebih disebabkan karakter yang dilimiki oleh bangsa tersebut. Karakter kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, tanggung jawab dan toleransi terhadap perbedaan merupakan karakter yang dimiliki oleh Negara-negara yang maju.
Oleh karena itu, mucnulnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini tidak akan berhasil. Korupsi sebagai salah satu bentuk karakter buruk, bukan hanya mengakibatkan bangsa ini terpuruk secara ekonomi, tetapi juga terpuruk secara politik yang bisa mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Idonesia.
Visi para founding fathers dalam membangun negara-bangsa dan karakter dilandasi oleh pemikiran yang mendalam (filoshopis) dengan memilih Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan ideologi. Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan ideologi negara mencerminkan kecerdasan para pendiri negara, karena menurut Notonagoro Pancasila bukan hanya benar secara ilmiah, tetapi juga benar secara filosohpis, dan relegius. Yang lebih penting lagi, ketiga fungsi
Pancasila tersebut menuntut penjabaran dan implementasi yang berbeda. Sebagai dasar negara Pancasila secara formal telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Selain dijadikan sebagai dasar Negara Pancasila juga berfungsi sebagai pandangan hidup bangsa dan ideologi. Ketiga fungsi tersebut menjadi fungsi yang sangat sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Meskipun demikian yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengamalkan dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengamalan dan implementasi ketiga fungsi Pancasila tersebut menjadi lebih penting dalam menghadapi era globalisasi saat ini. Pengamalan dan implementasi Pancasila membutuhkan kajian yang lebih kritis, mendalam dan rasional.
Hal ini disebabkan Pancasila masih bersifat abstrak dan tematis (Driyarkara). Pancasila sebagai dasar mempunyai arti bahwa Pancasila dijadikan sebagai pendoman dan sekaligus landasan dalam penyelenggaraan negara. Fungsi ini telah diimplementasikan dalam UUD 1945 yang kemudian menjadi sumber tertib hokum di Indonesia. Dalam struktur hukum di Indonesia, UUD 1945 menjadi hukum tertulis tertinggi, yang menaungi peraturan-perundang-undangan di bawahnya, seperti undangundang.
Fungsi Pancasila dalam tata hukum di Indonesia menjadi sumber dari segala sumber tertib hukum. Nilai-nilai Pancasila harus menjiwai dalam setiap peraturanperundang- undangan di Indonesia, atau dengan kata lain peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mempunyai arti bahwa Pancasila menjadi pendoman (light star, meminjam istilah Prof. Dardji Darmodihardjo), bagi setiap perilaku bangsa Indonesia. Perilaku setiap warga Negara dan bangsa Indonesia harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, sehingga bangsa Indonesia mempunyai kepribadian dan jati diri sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Perilaku yang yang nampak dalam kehidupan sehari-hari, dalam bersikap maupun dalam bertindak inilah yang dimaksud karakter. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Jack Corley dan Thomas Philip. 2000). Atau dengan kata lain karakter adalah kualitas moral sesorang. Oleh karena itu, karakter bangsa Indonesia akan ditentukan oleh implementasi fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Implementasi fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup, juga akan menentukan keberhasilan fungsi Pancasila sebagai dasar negara. Jika setiap warga negara telah melaksanakan Pancasila sebagai pandangan hidup (mempunyai karakter/moral) Pancasila), ketika yang bersangkutan diberi amanah menjadi penyelenggara Negara tentu akan menjadi penyelenggara negara yang baik, paling tidak akan berusaha untuk menghindari tindakan-tindakan yang melanggar norma-nomra hukum maupun norma
moral.
Pancasila sebagai ideologi mempunyai arti bahwa nilai–nilai Pancasila menjadi sesuatu yang didambakan dan dicita-cita dalam bentuk kehidupan nyata. Suatu ideology selain memuat gambaran tentang kehidupan yang dicita-citakan juga mengandung langkah-langkah demi tercapainya cita-cita atas dasar realita yang dihadapi. Setiap ideologi mengandung dimensi realitas, dimensi idealis, dan dimensi penyusunan langkah atau cara bagaimana mewujudkan cita-cita. Dimensi realita merupakan pemahaman
situasi masyarakat yang sedang dihadapi sebagai produk dari masa lampau. Dimensi idealis adalah gambaran situasi baru atau kehidupan yang dicita-citakan. Sedangkan dimensi cara adalah aktivitas atau langkah-langkah untuk mencapai keadaan yang dicita-citakan.
Bertolak dari dimensi dalam ideologi, menunjukan bahwa ideologi juga berfungsi sebagai pandangan hidup, pedoman bermasyarakat dan bernegara, serta sebagai system nilai. Sebagai pandangan hidup, ideologi memberi arah dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam menyongsong keadaan baru sebagai jalan keluar dari situasi lama. Sebagai pandangan hidup, ideologi mampu memberi arti dan makna serta harapan akan masa depan yang lebih baik dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dengan demikian ideologi akan menjadi pemersatu bangsa dalam menuju masa depan yang dicita-citakan1.
Oleh karena itu, ideologi memberi pedoman yang harus dilakukan. Sedangkan sebagai sistem nilai, ideologi akan mengarahkan pikiran dan perbuatan atas dasar nilai-nilai yang telah ditentukan. Di sini ideologi berfungsi sebagai penggerak dan motivator.
Pendidikan Pancasila
Berdasarkan fungsi strategis Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kiranya perlu ada pendidikan Pancasila bagi setiap warga negara Indonesia. Pendidikan Pancasila bukan hanya dimaksudkan untuk memahamkan setiap warga negara mengenai tata kehidupan bernegara, tetapi juga sebagai proses internalisasi nilai-nilai Pancasila. Sebagai sistem filsafat dan sekaligus hasil pemikiran filosofis, Pancasila perlu dikaji, dipahami agar setiap warga negara mengetahui kekuatan dan kebenaran Pancasila, sehingga tumbuh keyakinan dan kesadaran yang kuat untuk mengamalkan
dalam kehiudpan sehari-hari.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara membawa konsekwensi bahwa seluruh tata kenegaraan dan penyelenggaraan negara harus didasarkan kepada Pancasila. Sebagai sistem filsafat negara, Pancasila tentu mempunyai konsep tentang negara dan bagaimana negara tersebut harus diselenggarakan. Seluruh aspek kehidupan kenegaraan, dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya harus didasarkan pada konsep filsafat Pancasila. Mengingat Pancasila sebagai dasar negara masih bersifat abstrak dan tematik (menurut Driyarkara), perlu dikaji secara ilmiah. Bagaimana system politik yang sesuai dengan Pancasila?, sistem ekonomi yang sesuai dengan Pancasila, serta sistem sosial budaya yang sesuai dengan Pancasila, perlu dikaji dan kemudian dipahamkan kepada setiap warga negara secara bertahap sesuai dengan tingkat usia dan jenjang pendidikan.
Kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup, didalamnya mengandung prinsip-prinsip dasar yang harus diinternalisasikan dan diyakinkan kepada setiap warga negara. Sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung nilai-nilai universal yang harus dipahami, dan diyakini kebenarannya, yang kemudian dijadikan pedoman dalam mengatasi persoalan-persoalan kehidupan. Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan kepada 1 Coba perhatikan bagaimana para founding father merumuskan dasar Negara dalam sidangsidang BPUPKI, mereka bukan hanya merancang masyarakat masa depan dengan mendasarkan realita sosio budaya bangsa Indonesia sendiri, serta sejarah perjalanan bangsa. setiap warga negara, agar mereka meyakini kebenaran Pancasila dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, Pendidikan Pancasila dalam fungsinya sebagai pandangan hidup menjadi sangat penting, agar setiap warga negara memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pancasila.
Sebagai ideologi, Pancasila mempunyai konsep mengenai kehidupan yang diangap ideal, yang dibangun berdasarkan realitas sosiokultural bangsa Indonsian sendiri. Selain konsep kehidupan yang ideal, sebagai ideologi Pancasila juga menawarkan bagaimana cara untuk mewujudkan kehidupan yang ideal tersebut. Bahkan sebagai ideologi,
Pancasila mempunyai keunggulan dibanding dengan ideologi-ideologi lain di dunia, karena Pancasila merupakan sintesa dari berbagai ideologi yang ada di dunia dengan menawarkan prinsip kesimbangan, keselarasan, dan keserasian. Pemahaman tentang konsep kehidupan yang diidealkan dan bagaimana cara-cara mewujudkan tentu harus dipahamkan kepada setiap warga negara Indonesia, agar mereka mampu mewujudkan suatu tata kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Mengingat pentingnya fungsi dan kedudukan Pancasila dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka pendidikan Pancasila sebagai instrument untuk membangun warga negara yang baik (good citizenship), yang berkarakter Pancasila dan meyakini kebenaran dan kekuatan Pancasila dalam mencapai cita harus diberikan kepada setiap generasi bangsa. Pesoalannya adalah apakah isi subtasi materi yang akan diberikan serta fokus penekanan yang kita prioritaskan dari ketiga fungsi Pancasila tersebut.
Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami berbagai perubahan isi dan sekaligus penekanan fungsi Pancasila. Pada awal kemerdekaan, ada mata pelajaran Civics (sekitar 1957-1958), kemudian berganti nama menjadi Kewarganegaraan (sekitar tahun 1962). Pada awal Orde Baru mata pelajaran Kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pada tahun 1975 dalam kurikulum yang dikenal kurikulum 1974 mata pelajaran PKn berganti nama dengan Pendidikan Moral Pancasila. Nama ini merujuk kepada Tap MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN. Kemudian sejak ada Tap MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), materi P-4 masuk kedalam mata pelajaran PMP.
Sejak tahun 1989 dengan adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional muncul kurikulum baru yang mewajibkan setiap jenjang dan jenis pendidikan wajib ada matapelajaran Pancasila, Kewarganegaraan, dan agama. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060 dan 061/U/1993 tanggal 25 Februari 1993, di sekolah dasar dan menengah wajib ada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian dengan munculnya Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 mata pelajaran Pendidikan Pancasila hilang dari kurikulum pendidikan nasional, yang ada tinggal Pendidikan Kewarganegaraan.
Persoalannya adalah apakah tekanan isi materi dan tujuan dari masing-masing periode serta matapelajaran itu sama dan bisa mencakup seluruh fungsi Pancasila?. Kalau kita lihat dari isi materi dan tujuan ada perbedaan penekanan pada masing-masing kurikulum. Jika kita bandingkan antara maksud, tujuan dan ruang lingkup dari matapelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada kurikulum 1994 dengan matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada kurikulum 2006 ada perbedaan yang cukup signifikan.
Pada kurikulum 2003 disebutkan Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan pada kurikulum 1994 disebutkan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari siswa baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga dimaksudkan membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahukuan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Secara konseptual ada perbedaan penekanan antara mata pelajaran PPKn dengan PKn. Mata pelajaran PPKn lebih menekankan pada pembangunan karakter dan pelestairan nilai-nilai Pancasila. Sedangkan mata pelajaran PKn lebih menekankan pada pembentukan warga negara yang paham akan hak dan kewajiban.
Di lihat dari tujuan, mata pelajaran PKn bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; (4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan
dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam kurikulum 1994 disebutkan bahwa fungsi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah: (1) mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai dan moral Pancasila secara dinamis dan terbuka. Dinamis dan terbuka dalam arti bahwa nilai dan moral yang dikembangkan mampu menjawab antangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat; (2) mengambangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik dan konstitusi NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945; (3) membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara warga negara dengan negara, antar warganegara dengan sesama warganegara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Kemudian secara tegas disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan serta
memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut.
Dari tujuan juga jelas berbeda. PPKn lebih menekankan pada pembentukan karakter (afektif), sedangkan Pkn lebih menekankan pada aspek berpikir kritis (kognisi). Sebenarnya antara moralitas dengan berpikir bukan dua hal yang terpisah sama sekali. Keduanya mempunyai hubungan. Kemampuan berpikir/kognisi seharusnya membimbing perilaku, sehingga semakin tinggi tingkat pengetahuanya juga semakin baik sikap dan moralnya, sebagaimana dalam pepapatah ilmu padi semakin berisi semakin merunduk. Secara filosopis buah dari ilmu itu adalah wisdom/bijaksana. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan mampu merubah perilaku seseorang, semakin tinggi tingkat`pendidikannya semakin bijak sikap dan perilakunya.
Ruang Lingkup Pendidikan PPKn dan PKn
Dalam kurikulum 2006, disebutkan bahwa ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) meliputi aspek-aspek sebagai berikut ;
1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara
5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar Negara dengan konstitusi.
6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.
Sedangkan dalam kurikulum 1994 ruang lingkup Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) meliputi:
1. nilai moral dan norma bangsa Indonesia serta perilaku yang diharapkan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila;
2. kehidupan ideologi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan di negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan luas liputan, kedalaman dan tingkat kesukaran materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan belajar siswa pada satuan pendidikan.
Di lihat dari ruang lingkup materi juga ada perbedaan antara PPKn dengan PKn. PPKn lebih menekankan pada aspek moral/karakter yaitu dengan mengacu kepada P-4 sebagai penjabaran dari fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup. Sedangkan PKn lebih menekankan pada aspek kehidupan bernegara yang merupakan penjabaran dari Pancasila sebagai dasar negara. Memang ruang lingkup materi PKn jauh lebih luas, karena memberi wawasan global dengan segala aspeknya, namun sangat sedikit menyentuk pendidikan karakter.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Di Indonesia pendidikan karakter ini sebenarnya terus dilakukan sebagai bagian dari upaya dari Nation and Character Building. Karakter yang ingin dibangun oleh bangsa Indonesia sudah jelas yaitu manusia yang Pancasilais. Hal ini sesuai dengan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup, yaitu prisnip-prinsip dasar yang diyakini kebenarannya dan kemudian dijadikan pedoman dalam menghadapi persoalan kehidupan. Sebagai pandangan hidup Pancasila telah dijabarkan dalam butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Secara formal, instrument untuk membangun moral dan karakter bangsa sudah ada dalam kurikulum pendidikan kita yaitu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau sebelumnya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebagai instrument pendidikan karakter bangsa, mata pelajaran tersebut diberikan sejak SD sampai ke perguruan tinggi.
Persoalannya adalah mengapa akhir-akhir ini kita masih banyak menyaksikan perilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial dari warganegara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dan butir-butir P-4 sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian warga negara, paling tidak sudah banyak warga negara yang perilakunya tidak lagi dipedomani oleh nilai-nilai Pancasila dan butir-butir P-4. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang dimaksudkan sebagai intrumen pendidikan moral, juga lebih banyak menekankan aspek kognitif. PKn lebih banyak menekankan aspek kognitif daripada aspek aspektif.
Dalam kenyataannya, pendidikan kewarganegaraan lebih banyak mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tanpa disertai dengan internalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Evaluasi yang digunakan juga lebih menekankan aspek kognitif, sehingga proses belajar mengajar di sekolah lebih bersifat transfer pengetahuan, daripada mengajarkan berpikir secara keilmuan dan internalisasi nilai melalui pemahaman. Peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkadung didalamnya. Dan yang lebih ironis, pengetahuan itupun tidak dijadikan pembimbing perilaku. Pengetahuan yang mereka peroleh hanya sekedar pengetahuan tanpa makna. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia yang egois, yang tidak memahami arti kehidupan yang didalamnya ada perbedaan, nilai dan norma yang harus dihormati dan dijunjung tingi. Hal ini bisa kita buktikan, misal, hamir semua siswa tahu bahwa kalau lampu lalu lintas menyala merah artinya harus berhenti, tetapi masih banyak juga yang melanggar. Hampir semua siswa tahu kalau membuang sampah di sembarang tempat dapat menimbulkan banjir, tetapi masih banyak siswa, bahkan juga mereka yang naik mobil membuang sampah di sembarang tempat.
Pendidikan tentu bukan hanya sekedar untuk mentransfer ilmu dan keterampilan, tetapi juga merupakan internalisasi nilai-nilai dasar, khususnya nilai-nilai kemanusiaan kepada para peserta didik. Sebagaimana disampaikan oleh Daoud Joesoef, esensi pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin untuk mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sehingga berguna bagi individu, masyarakat, bangsa, dan negara (Kompas, 3 September 2008).
Hal ini juga sejalan dengan pilar-pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together. Belajar untuk hidup bersama, berati belajar untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama oleh masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan benar-benar dapat menghasilkan manusia yang utuh, yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga menjadi manusia yang wisdom (bijak), yang ditandai dengan adanya kesadaran untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara, serta lingkungan. Sayangnya Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang diharapkan menajdi instrument pendidikan moral dan karakter bangsa kurang menekankan pada nilai-nilai Pancasila. Materi yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur Pancasila kurang memperoleh perhatian dalam ruang lingkup materi PKn. Hal ini berbeda dengan mata pelajaran PPKn pada kurikulum 1994 atau mata pelajaran PMP dalam kurikulum 1975 yang sarat dengan muatan nilai dan moral Pancasila.
Dalam menghadapi tantangan jaman yang semakin didominasi oleh sikap hidup yang materialis, pragmatis, dan hedonis, maka diperlukan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nialai-nilai Pancasila dipahami dengan pendekatan yang rasional dan filosofis, sehinga ditemukan kebenaran dan kekuatannya. Sila-sila Pancasila tidak bisa dipahami secara parsial (sila persila) tetapi harus dipahami secara untuh, karena sila-sila Panasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Hubungan antara sila satu dengan sila lainnya saling
meliputi dan menjiwai. Artinya di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, terkandung nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan (musyawarah) dan nilai keadilan.
Pemahaman dan implementasi sila Ketuhanan YME dalam bentuk keyakinan dan kehidupan keagamaan, tidak boleh meninggalkan nilai kemanusiaan (berupa kewenangwenangan), nilai persatuan (sikap diskriminasi), nilai musyawarah (berupa pemaksaan), serta nilai keadilan (keserakahan). Begitu juga dalam mamaknai dan mengamalkan sila Keadilan sosial, juga tidak boleh meninggalkan nilai ketuhanan (tidak pernah bersedekah), dan meninggalkan nilai-nilai kekempat sila lainnya.
Dalam menghadapi kehidupan global dan membangun karakter bangsa, kiranya Pancasila sebagai pandangan hidup yang telah dijabarkan kedalam butir-butir P4, perlu direvitalisasi kembali, sebagai acuan setiap individu dalam bersikap maupun bertindak. Butir-butir P4 bisa dijadikan sebagai tolok ukur bagi setiap individu untuk menilai jati dirinya. Dan jika setiap individu, sikap dan perilaku, bahkan jika pola pikirnya telah dilandasi dan dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, paling tidak oleh butir-butir P4, sangat
dimungkinkan tujuan negara menciptakan kesejahteraan masyarakat bisa diwujudkan.
Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya pada pendidikan dasar harus lebih menekankan pada fungsi Pancasila sebagai pandanga hidup dengan tanpa mengabaikan fungsi-fungsi lainnya. Terlebih pada tingkat sekolah dasar terutama pada kelas rendah, materi Pendidikan Kewarganegaraan lebih ditekankan pada pembentukan karakter dengan mebudayakan perilaku yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila, seperti kejujuran, kedisiplinan, kesetiakawanan, kesopanan, keramahan, tanggung jawab, dan kemandirian. Dengan pembiasaan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, diharapkan menghasilkan karakter yang Pancasilais.
Untuk menjadikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai intrumen pendidikan karakter, menuntut kreatifitas dan kecerdasan para guru. Selama ini para guru lebih banyak mengopi apa yang telah tertulis dalam SK dan KD tanpa mengkaji secara mendalam nilai apa yang terkandung di dalamnya. Para guru, kurang memahami dan mengkaji nilai-nilai yang terkandung didalam SK dan KD, sehingga aspek afektifnya kurang mendapat perhatian. Padahal jika disimak, hamper disemua SK pada pendidikan
kewarganegaran mulai dari tingkat SD sampai SMA banyak muatan afektif.
Selain kreatif dan cerdas, guru juga harus memiliki komitmen untuk membangun karakter siswa. Paling tidak dirinya harus bisa menjadi panutan dalam bersikap, bertuturkata dan bertingkap laku Apalagi pada tingkat SD, guru menjadi panutan bagi para siswa. Oleh karena itu guru harus bisa menjadi teladan bagi siswa dan sekolah harus membangun budaya yang berkarakter. Dengan metode keteladanan dan kebiasaan pada tingkat SD ditambah dengan rasionalisasi pada tingkat satuan pendidikan yang lebih
tinggi, pendidikan kewarganegaraan diharapkan mampu menjadi intrumen pendidikan karakter bangsa.
Rujukan
Azra, Azyumardi. 2005. ”Pendidikan Kewarganegaraan untuk Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 57/XXVIII/III/2005.
Blackburn, Simon. 1994. The Oxford Dictionary of Philosophy. London: Oxford University Press.
Corley, Jack and Philip Thomas. 2000. The Urgent Need for Character Education. Paper was presented in Hyaat Regency Hotel Surabaua in May, 6, 2000.
Daoud Joesoef. 2008. esensi pendidikan, (Kompas, 3 September 2008).
Featherstone, M.; Lash, S. and Robertson, R. (ed). 1995. Global Modernities. London:SAGE Publication.
Gellner, Ernest. 1994. Encounters With Nationalism. Cambridge: Blackweel.
Haralambos Michael and Holborn Martin. 2000. Sociology Themes and Perspectives. Fifth edition. London: Harper Collins Publishers Limited.
Hartoko, Dick. ((ed.). 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta: Kanisius.
Kurtines, M. Wiliam and Cerwitz, L. Jacob (ed). 1992. Moralitas, Perilaku Moral dan Perkembangan Moral. Terjemahan M.I. Soelaeman. Jakarta, UI PRESS
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia: Sebuah pertanggungan Jawab. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Notonagoro, 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: pantjuran Tujuh.
Sartono, K. 1993. Pembangunan Bangsa, tentang nasionalisme, kesadaran dan kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Soetandyo, W. 1999. Perubahan Kehidupan dan Lokal ke yang nasional, Bersiterus ke yang Global pada Era Millenium Ketiga Masehi. Makalah disampaikan pada acara Wisuda Ssarjana Strata 1 Universitas 45 Surabaya, pada tanggal 7 Desember 1999.
ZurrÃa, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Yakarta: Bumi
0 comments:
Posting Komentar