Cari Blog Ini

Sabtu, 31 Maret 2012

The Power of Dreams

The Power of Dreams
 
The Power of Dreams
The Power of Dreams 
 
The Power of Dreams 

Minggu, 18 Maret 2012

Rabu, 14 Maret 2012

Melakukan Tindakan Kelas Sederhana

Melakukan Tindakan Kelas Sederhana 1
Melakukan Tindakan Kelas Sederhana 2
Melakukan Tindakan Kelas Sederhana 3

Selasa, 13 Maret 2012

MANAJEMEN PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH


MANAJEMEN PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Oleh : Drs. Nur Kholiq,M.Pd

Abstrak : Substansi pendidikan adalah memanusiakan manusia, menempatkan kemanusiaan pada derajat tertinggi dengan memaksimalkan karya dan karsa. Kegagalan pendidikan yang paling fatal adalah ketika produk didik tak lagi memiliki kepekaan nurani yang berlandaskan moralitas, sense of humanity. Pendidikan dapat dilakukan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Seiring makin tingginya tuntutan ekonomi yang menyibukan orang tua dan besarnya arus perubahan nilai di masyarakat, maka peran sekolah untuk turut membangun karakter positif peserta didiknya semakin besar. Orang tua sangat mengandalkan dan mengharapkan bahwa para guru di sekolah dapat mewakili mereka mengembangkan nilai moral dan sistem nilai pada anak-anaknya.
Sekolah menjadi tempat yang strategis dalam membentuk, melatih dan mengembangkan karakter melalui penanaman nilai-nilai moral. Sekolah dapat tetap menjaga standar mutu akademis yang tinggi berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter yang menjadi prioritas sekolah. Di sekolah diharapkan para siswa belajar mengaktualisasikan nilai-nilai yang mereka terima secara langsung. Praktek nilai inilah yang menjadi acuan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Untuk mencapai keberhasilan tersebut diperlukan manajemen pelaksanaan pendidikan karakter.

Kata Kunci : Manajemen pendidikan karakter, sekolah
PBIBA
A. Pendahuluan
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan dapat dilakukan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Seiring makin tingginya tuntutan ekonomi yang menyibukan orang tua dan besarnya arus perubahan nilai di masyarakat, maka peran sekolah untuk turut membangun karakter positif peserta didiknya semakin besar. Orang tua sangat mengandalkan dan mengharapkan bahwa para guru di sekolah dapat mewakili mereka mengembangkan nilai moral dan sistem nilai pada anak-anaknya.
Menurut Koesoema (2010), jika sekolah dijiwai dengan semangat pendidikan karakter akan menjadi tempat yang efektif bagi pembentukan individu sehingga dapat bertumbuh dengan baik di dalam lingkungannya. Sekolah mempunyai dua tujuan utama yaitu membentuk manusia yang cerdas dan baik, maka sekolah memiliki tanggungjawab besar dalam pendidikan karakter bagi peserta didiknya.
Selain itu tantangan globalisasi menjadikan pendidikan karakter menjadi bagian penting untuk mewujudkan manusia yang berkualitas. Istilah ini lebih gampang diucapkan, tetapi kenyataannya justru makin sulit untuk dilakukan (Suhendang, 2010). Dalam kesempatan lain di Jakarta, Baedowi, Direktur Jenderal PMPTK Depdiknas, menyatakan bahwa saat ini ada kecenderungan masyarakat maupun sekolah sekadar memacu siswa untuk memiliki kemampuan akademik tinggi tanpa diimbangi pembentukan karakter yang kuat dan cerdas.
Upaya sekolah maupun orang tua agar murid atau anaknya mencapai nilai akademis tinggi sangat kuat, tapi mengabaikan hal-hal yang non akademis. Selanjutnya, Baedowi juga menyatakan saat ini tidak jarang para lulusan termasuk lulusan perguruan tinggi, banyak yang tidak memiliki karakter yang kuat dan cerdas. Selain itu, dikatakan pula bahwa saat ini jumlah pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas seperti yang diharapkan juga terbatas jumlahnya. Namun, kita tidak bisa menilai secara kuantitatif, hanya bisa diukur dengan kualitatif.
Beberapa pendapat di atas , menegaskan bahwa pendidikan karakter mendesak untuk segera mendapat perhatian serius. Pendidikan karakter menjadi semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan, mengingat berbagai macam perilaku non edukatif telah merambah sekolah seperti fenomena kekerasan, pelecehan seksual, korupsi, kesewenang-wenangan yang terjadi di kalangan sekolah (Koesoema, 2010). Sedangkan menurut Triatmanto (2010), banyak kasus yang lebih ekstrim lainnya mulai dari kasus tawuran pelajar dan mahasiswa, perjokian dalam penerimaan mahasiswa baru atau pegawai negeri, penyuapan, makelar kasus dan perkara, perselingkuhan, korupsi dan drama memalukan anggota DPR yang sebenarnya memiliki latar pendidikan tinggi, namun memiliki karakter perilaku yang rendah.
Lebih lanjut Arifah (2010), isu pendidikan karakter ini menjadi sangat penting dengan adanya penjiplakan karya ilmiah yang semakin banyak terjadi bukan hanya di kalangan mahasiswa tetapi sudah masuk pada tataran guru besar di berbagai kota. Semua itu menggambarkan kegagalan pendidikan kita dalam membangun karakter bangsa. Bahkan bila dicermati, penolakan dan ketakutan yang berlebihan terhadap pelaksanaan ujian nasional juga merupakan cermin kegagalan pendidikan kita. Dengan berpijak dari kasus tersebut, perbaikan moral generasi bangsa lewat jalur pendidikan karakter yang tidak semata-mata hanya mementingkan aspek formal-kognitif terasa semakin dibutuhkan.
Kenyataan di lapangan masih banyak proses pendidikan di sekolah yang lebih mengutamakan aspek kognitifnya daripada afektif dan psikomotoriknya. Dari beberapa kasus pelaksanaan Ujian Nasional pun lebih mementingkan aspek intelektualnya daripada aspek kejujurannya, tingkat kejujuran Ujian Nasional itu hanyalah 20%, karena masih banyak peserta didik yang menyontek dalam pelbagai cara dalam mengerjakan Ujian Nasional itu. Saat ini belum banyak sekolah yang memberikan pendidikan secara instens untuk moralitas. Yang banyak sekolah berlomba-lomba meraih prestasi akademik seperti UAN tertinggi dan prestasi akademik lainnya, kurang memperhatikan moralitas anak didiknya. Suasana sekolah tersebut sangat kering dengan nilai-nilai moral agama, akibatnya meskipun para siswa lulus dengan nilai yang baik, namun moralitasnya rendah. Pribadi semacam ini jelas rentan terhadap pengaruh negatif yang saat ini sulit dibendung.
Melihat kondisi di atas, akhir-akhir ini Kemendiknas mengingatkan kembali pentingnya pendidikan karakter. Bambang menegaskan bahwa, Kementerian Pendidikan menilai pentingnya pembangunan karakter dalam pendidikan (Kompas, 29 April 2010). Siswa dengan karakter yang kuat pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pembangunan karakter adalah bagian penting dalam pembangunan peradaban bangsa. Beberapa karakter yang hendak dibangun berkaitan dengan nilai umum yang diterima masyarakat, antara lain kejujuran, disiplin, dan kebersihan. Adapun karakter yang bersifat kearifan lokal tetap diakomodasi melalui pendidikan spesifik di tiap daerah.
Menurut Sukemi Staf Khusus Menteri Bidang Komunikasi mengatakan karakter yang bersifat umum ini bukan hal baru di masyarakat, oleh karena itu, Kementerian Pendidikan melihat program ini sebagai kesempatan untuk merevitalisasi pendidikan karakter. Lebih lanjut, Fasli (2010) menegaskan bahwa sekolah bebas untuk memilih dan menerapkan nilai-nilai yang hendak dibangun dalam diri siswa. Bahkan, pemerintah mendorong muculnya keragaman bentuk pelaksanaan pendidikan karakter. Program-program di sekolah seperti pramuka, kantin kejujuran, sekolah hijau, olimpiade sains dan seni, serta kesenian tradisional, misalnya, telah sarat dengan pendidikan karakter. Tinggal guru yang mesti memunculkan nilai-nilai dalam program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah. Dan isu ini menjadi semakin menarik, karena saat sedang mendapat perhatian besar bagi para pemerhati dan pelaksana pendidikan.
Berdasarkan urgensi yang telah dikemukakan di atas, maka artikel ini akan membahas tentang manajemen pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah yang meliputi : 1) hakekat pendidikan karakter, 2) Perencanaan Pendidikan Karakter, 3) Pengintegrasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum, 4) Penentuan metode pendidikan karakter dalam kegiatan belajar mengajar , 5) Pengembangan budaya sekolah yang mendukung pendidikan karakter , 6) Pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler yang mendukung pendidikan karakter, 7) Evaluasi yang dilakukan sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan karakter

B. Pembahasan

     Hakekat Pendidikan Karakter
Akar kata “karakter” dapat dilacak dari kata Latin “Kharakter”, “kharassein”, dan “kharax”, yang maknanya “tools for making”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa Perancis “caractere” pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character”, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter”.
Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses membentuk jiwa sedemikian rupa hingga unik, menarik dan dapat dibedakan dengan orang lain yang tidak/belum berkarakter atau berkarakter tercela.
Hurlock (1993) menjelaskan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya enam kondisi lingkungannya yaitu : hubungan antar pribadi yang menyenangkan, keadaan emosi, metode pengasuhan anak, peran dini yang diberikan kepada anak, struktur keluarga di masa kanak-kanak dan rangsangan terhadap lingkungan sekitarnya. Enam faktor inilah yang menurut Megawangi yang menjadi titik pijak pembentukan karakter yang baik.
Pendidikan karakter yang dimasudkan disini lebih berkaitan dengan bagaimana menanamkan nilai-nilai tertentu dalam diri anak didik, seperti nilai-nilai yang berguna bagi pengembangan pribadinya sebagai mahluk individual sekaligus sosial dalam lingkungan sekolah. Menurut Murphy (1998) pendidikan karakter secara sederhana bisa didefinisikan sebagai, “pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (practice virtue). Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tatacara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata.

Perencanaan Pendidikan Karakter
Perencanaan pendidikan karakter harus didasarkan pada visi pendidikan karakter yang ditetapkan oleh sekolah, yang merupakan cita-cita yang akan diarahkan melalui kinerja lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan tersebut, setiap usaha pengembangan pendidikan karakter akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, setiap sekolah semestinya menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan di dalam sekolah.
Visi pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan akan semakin menjiwai setiap individu ketika mereka semua merasa dilibatkan dalam penentuan visi tersebut sehingga visi tersebut menjadi bagian dari keyakinan pribadi dan keyakinan komunitas lembaga pendidikan tersebut. Jika visi di dalam lembaga pendidikan telah ada, lembaga pendidikan juga harus memiliki misi yaitu penjabaran yang lebih praktis operasional, yang indikasinya dapat diverifikasi, diukur dan dievaluasi secara terus menerus. Misi adalah sebuah usaha menjembatani praktis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai seluruh gerak lembaga pendidikan. Tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan melaksanakan visi secara konsisten.
Visi sebuah lembaga pendidikan akan menentukan sejauhmana program pendidikan karakter itu berhasil diterapkan di dalam lingkungan sekolah. Melalui visi, sekolah memberikan sebuah lingkungan nyata dimana idealisme dan cita-cita secara konkrit menjadi pedoman perilaku, sumber motivasi, sehingga setiap individu di dalam lembaga itu semakin bertumbuh secara utuh dan penuh. Pendidikan karakter yang memiliki basis dasar nilai-nilai, dengan adanya visi lembaga pendidikan akan menjadi contoh nyata sebuah sikap hidup berdasarkan nilai-nilai ideal.
Perencanaan pendidikan karakter adalah proses menentukan nilai-nilai. Hal yang sangat mendasar ketika memulai pendidikan karakter adalah menentukan nilai-nilai yang akan ditanamkan atau dibelajarkan pada peserta didik. Menurut Hayes (2003), proses penentuan nilai ini harus melibatkan komunitas sekolah, yakni guru, orang tua dan masyarakat sekitar; sehingga sekolah akan mencerminkan keseluruhan komunitas yang mereka layani, mampu melahirkan peserta didik dengan karakter sesuai harapan komunitas. Proses ini pernah dilakukan oleh Bulach (2002) ketika bermaksud mengintegrasikan karakter ke dalam kurikulum sekolah. Bulach melakukan survei ke orang tua, guru, dan pemuka agama untuk memperoleh jenis nilai dan perilaku yang diharapkan anak-anak mereka. Berdasarkan hasil survei itulah, sekolah merancang muatan karakter kepada peserta didiknya.
Budiningsih (2004) menegaskan bahwa terdapat beberapa unsur yang turut berpengaruh dalam penentua muatan pendidikan moral, yaitu: (1) karakteristik anak didik yang meliputi latar ekonomi, agama, budaya serta tahap perkembangan kognitif dan moral; (2) konteks sekolah berada meliputi budaya masyarakat dan falsafah Negara.
Pendidikan karakter melibatkan di dalamnya berbagai macam komposisi nilai antara lain nilai agama, nilai moral, nilai-nilai umum, nilai-nilai kewarganegaraan. Sekolah memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas bagi nilai-nilai pendidikan karakter, namun pada akhirnya individu sendiri yang mengolah nilai-nilai itu selaras dengan pengalaman pribadinya sebagai individu yang beriman dan memiliki kehendak baik untuk hidup bersama di dalam sebuah masyarakat yang plural.
Dengan demikian, pendidikan karakter tetap memberikan tempat bagi kebebasan individu dalam menghayati tentang nilai-nilai yang dianggapnya baik, luhur dan layak diperjuangkan sebagai pedoman perilaku bagi kehidupan pribadi berhadapan dengan dirinya, sesama dan Tuhan.
Ada beberapa kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah, antara lain : 1) nilai keutamaan; 2) nilai keindahan; 3) nilai kerja; 4) nilai cinta tanah air; 5) nilai demokrasi; 6) nilai kesatuan; 7) nilai moral; 8) nilai kemanusiaan.

Pengintegrasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum
Ada dua pendekatan pengintegrasian program pendidikan karakter di sekolah yaitu:
1). Pendekatan secara langsung.
Pendekatan secara eksplisit atau secara langsung berarti menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri dalam kurikulum. Menurut Suparno (2002), keunggulan metode ini yakni materi akan lebih terfokus dan terencana matang. Guru dapat membuat perencanaan dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya. Metode ini juga dapat menghindari kesalahpahaman dalam memahami suatu nilai atau karakter (Duncan, 1997). Kelemahannya adalah amat tergantung dari tuntunan kurikulum, dan dalam model ini penanaman nilai seolaholah hanya ditumpukan pada seorang guru budi pekerti saja. Pendidikan karakter secara langsung didasarkan adanya nilai tertentu yang perlu diketahui oleh semua orang yang bersifat universal. Dengan pendekatan langsung, peserta didik didorong untuk langsung mengambil bagian dalam komunitas masyarakat (Duncan, 1997).
Proses pengamatan terhadap program pendidikan karakter yang diterapkan secara eksplisit di beberapa sekolah telah dilakukan oleh Granger (2001). Hasil dari pengamatan ditemukan beberapa kekuatan dan kelemahan program tersebut, yaitu:
a) Beberapa kekuatan pendekatan langsung pendidikan karakter meliputi:
(1)    Kehidupan bermoral harus tumbuh dari interaksi dengan orang lain setiap hari. Program pendidikan karakter menciptakan banyak kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekan karakter yang dipelajarinya dalam kehidupan sekolah dan masyarakat;
(2)    Program pendidikan karakter menekankan pada praktek konkret, sehingga nilai yang dijarkan tidak hanya sekedar pengetahuan, namun harus menjadi bagian integral dalam diri seseorang agar menjadi suatu ketrampilan yang dilaksanakan tiap hari.
(3)    Penanaman nilai-nilai dasar akan menjadi fondasi dalam pencapaian norma sosial selanjutnya. Proses pemahaman nilai-nilai utama adalah prasyarat untuk memahami nilai yang lebih kompleks serta kemampuan dalam analisa kritis terhadap suatu peristiwa.
      b) Beberapa kelemahan pendekatan langsung pendidikan karakter meliputi:
(1)    Nilai yang ditanamkan umumnya merupakan pemberian masyarakat tanpa disertai analisa kritis dari pendidik dan peserta didik.
(2)    Belum ada tanda signifikan, bahwa pendidikan karakter di sekolah dapat mempengaruhi karakter peserta didik di luar sekolah, atau pengaruhnya secara substansi pada kehidupan moral masyarakat.

     2) Pendekatan secara tidak langsung.
Menurut Suparno (2002), pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum secara implisit dapat dilakukan melalui dua model yaitu: a) model terintegrasi dalam semua bidang studi; dan b) model di luar pengajaran. Selanjutnya akan diuaraikan penjelasan tentang kedua model tersebut.
a) Model terintegrasi dalam semua bidang studi.
Megawangi (2004) menyebut model ini sebagai sistem pembelajaran terpadu berbasis karakter. Sistem ini akan membiasakan anak sejak dini untuk berpikir secara holistik, tidak berpikir fragmated atau melihat masalah dari satu sisi saja, biasanya pembelajaran dilakukan secara tematik. Sejalan dengan hal tersebut McKay (2002) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa nilai yang akan ditanamkan hendaknya dikaitkan dengan pelajaran di kelas, sehingga peserta didik dapat melihat bagaimana nilai-nilai tersebut diperlukan dan muncul dalam pelajaran sejarah, eksperimen sains, atau berpengaruh pada peserta didik secara personal lewat pengajaran di kelas. Penelitian serupa dilakukan oleh Bishop (2001) dengan mencermati nilai-nilai yang terkandung dalam pelajaran Matematika. Belajar Matematika tidak hanya sekedar terampil dalam berhitung, tetapi juga menumbuhkan karakter rasional, obyektif, kontrol diri, progesif, keterbukaan pada aneka pendapat, eksploratif, dan ketekunan lewat pelajaran Matematika.
Dengan model integrasi dalam semua bidang studi, guru dapat memilah nilai yang akan ditanamkan melalui materi bahasan bidang studinya. Pemahaman nilai hidup lebih bersifat terapan pada setiap bidang studi, dan semua guru sebagai pengajar budi pekerti. Namun yang harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada perbedaan persepsi dan pemahaman tentang nilai di antara guru.
b) Model di luar pengajaran
Dalam model ini, kegiatan dilakukan di luar pengajaran. Segi positifnya, peserta didik akan memperoleh pelajaran nilai melalui pengalaman konkrit. Model ini menuntut kreativitas dan pemahaman akan kebutuhan peserta didik secara mendalam, karena tidak ada stuktur kurikulum yang tetap.

Metode Pendidikan Karakter dalam KBM
Untuk mencapai pertumbuhan integral dalam pendidikan karakter, perlulah dipertimbangkan berbagai macam metode yang membantu mencapai idealisme dan tujuan pendidikan karakter. Beberapa metode yang dapat diterapkan antara lain : 1) mengajarkan; 2) keteladanan; 3) menentukan prioritas; 4) mempratekkan prioritas; 5) refleksi.
Salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai, sehingga anak didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya.
Pemahaman konseptual ini menjadi bagian dari pendidikan karakter, sebab siswa akan banyak belajar dari pemahaman dan pengertian tentang nilai-nilai yang dipahami oleh para guru dan pendidik dalam setiap pertemuan mereka. Strategi guru dalam mengajarkan nilai di kelas telah menjadi topic yang bayak diteliti. Di antaranya Veugelers (2000) yang meneliti metode yang cenderung diinginkan peserta didik ketika guru mengajarkan nilai pada mereka.
Hasil penelitiannya menyatakan bahwa guru sebaiknya mengintegrasikan nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada peserta didik ke dalam materi pelajaran dan dalam interaksi antara guru dan peserta didik. Dengan demikian pengajaran nilai tidak sekedar hanya teori, tetapi langsung dipraktekan dan dilihat kaitannya dengan hal-hal lain.
Strategi ini juga turut melatih kemampuan berpikir peserta didik secara kritis, sehingga mereka mampu menganalisis nilai yang ada dalam setiap peristiwa. Di samping itu hendaknya guru memungkinkan adanya perbedaan nilai yang dipelajari dan diyakini peserta didik, dan menunjukkan nilai yang diyakini dirinya sebagai nilai yang penting.
Strategi pembelajaran di ruang kelas di uraikan lebih mendalam oleh Lickona  (1999), Suparno dkk (2002) dan Inlay (2003) sebagai berikut :
  • Guru peduli pada peserta didik, dengan menjadi teladan dan memberi tuntunan moral.
  • Menciptakan komunitas kelas yang peduli satu dengan yang lainnya.
  • Membantu peserta didik mengembangkan daya pkir moral, disiplin diri, dan hormat pada orang lain.
  • Melibatkan peserta didik dalam pembuatan keputusan.
  • Menggunakan Cooperative learning untuk memberi kesempatan pada peserta didik mengembangkan kompetensi moral dan sosialnya.
  • Membiasakan peserta didik membaca buku-buku yang mengandung nilai-nilai hidup.
  • Mengembangkan kesadaran atau dorongan pada peserta didik untuk melakukan hal baik.
  • Mengajarkan nilai yang harus diketahui peserta didik, cara mempraktekkannya hingga menjadi suatu kebiasaan, dan menekankan bahwa setiap orang punya tanggung jawab untuk mengembangkan karakternya sendiri.
  • Mengajarkan peserta didik menyelesaikan konflik.
  • Guru menghindari penggunaan kata-kata yang bernada menyalahkan, melainkan memancing peserta didik untuk berani mengakui kesalahan dan menggali makna belajar dari kesalahan yang dilakukan. Anak didik dilatih untuk menyadari bahwa tindakan yang dilakukan merupakan pilihan pribadi. Jadi kesalahan atau kegagalan yang dialami tidak boleh ditujukan pada orang lain.
  • Materi dalam pembelajaran karakter diambil dari hal-hal yan berlangsung di sekitar kehidupan peserta didik di lingkungan sekolah.
  • Hal terpenting dalam strategi di ruang kelas adalah kesempatan yang diberikan pada anak didik untuk mendiskusikan suatu masalah/peristiwa dari sudut pandang moral. Frekuensi kegiatan diskusi yang cukup banyak di kelas akan menciptakan kesempatan pada peserta didik (Suparno, 2002). Kegiatan diskusi bertujuan untuk:
  • Mengembangkan daya pikir/analisa secara moral. Yang terpenting dalam proses diskusi bukanlah memberikan penilaian tentang benar atau salahnya suatu persoalan, namun untuk mencermati atau menganalisa hal-hal yang baik dan salah yang terdapat dalam persoalan tersebut.
  • Peserta didik dapat mencari dan menemukan sendiri nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Peserta didik akan melihat dan mengalami langsung nilai yang tumbuh di lingkungan masyarakat, yang dapat membuatnya binging. Melalui diskusi, peserta didik melakukan proses penjernihan nilai untuk menemukan makna nilai-nilai tersebut.
Pengembangan Budaya Sekolah yang Mendukung Pendidikan Karakter
Pendidikan kakarter tidak hanya menjadi tanggungjawab guru ketika berinteraksi dengan peserta didik di ruang kelas. Komunitas sekolah hendaknya dilibatkan secara aktif dalam pendidikan karakter agar proses penanaman nilai bisa lebih efektif. Lickona (1999) dan Inlay (2003) menyebutkan beberapa hal yang bisa dilakukan pihak untuk membangun komunitas karakter, yakni:
  • Menciptakan lingkungan sekolah yang menerima adanya perbedaan antar individu. Hal ini mendorong setiap peserta didik untuk percaya diri, serta belajar sikap saling menghargai, mau mendengarkan orang lain, dan saling member perhatian.
  • Peserta didik dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di sekolah.
  • Melibatkan peserta didik dalam pengembangan kurikulum dan pengelolaan strategi belajar.
  • Menciptakan budaya moral positif di sekolah
  • Melibatkan orang tua dan komunitas sebagai partner dalam pendidikan karakter. Orang tua dan anggota masyarakat bisa berperan sebagai pengajar di kelas untuk menunjukkan karakter yang dibutuhkan dan hidup masyarakat.
Pelaksanaan Kegiatan Ekstra Kurikuler yang Mendukung Pendidikan Karakter
Dalam memantapkan kepribadian peserta didik guna mewujudkan ketahanan sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan menyiapkan mereka agar berakhlak mulia, demokratis dan menghormati hak-hak sesuai tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan karakter melalui ekstrakurikuler diupayakan antara lain dalam bentuk program-program di sekolah seperti: pramuka, kantin kejujuran, sekolah hijau, olimpiade sains dan seni, serta kesenian tradisional, PMR, UKS misalnya, telah sarat dengan pendidikan karakter. Tinggal guru yang mesti memunculkan nilai-nilai dalam program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah.

Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Pendidikan karakter tentu tidak bisa memberikan sistem evaluasi yang berbentuk pilihan ganda atau menjawab pertanyaan yang sifatnya hafalan seperti mata pelajaran lain. Lickona (1999) memaparkan hal-hal yang perlu diamati dalam melakukan ealuasi pendidikan karakter, yaitu : 1) kemajuan karakter peserta didik dapat diamati lewat perilakunya di lingkungan sekolah; (2) efek karakter pada lingkungan luar sekolah; (3) kehidupan mereka setelah lulus dari sekolah.

C. Penutup

Sekolah sebagai institusi pendidikan turut bertanggungjawab dalam proses pendidikan karakter peserta didik. Pendidikan karakter di sekolah meliputi aspek pengetahuan tentang kebaikan, keinginan berbuat baik, melakukan kebaikan, untuk menumbuhkan keterkaitan antara pikiran, hati dan tindakan.
Pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan dua pendekatan : a) secara tidak langsung yaitu melalui pengintegrasian ke dalam semua mata pelajaran dan melalui kegiatan di luar pengajaran, b) secara langsung berarti menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran. Ke dua pendekatan ini masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Strategi dan metode pendidikan karakter harus menyertakan peran aktif peserta didik, tidak hanya mencakup kegiatan belajar di kelas tetapi juga seluruh dinamika sekolah yang didukung dengan pengembangan budaya sekolah yang kondusif terhadap pelaksanaan pendidikan karakter..

Daftar Pustaka

Bashori, Khoiruddin, 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com, Diunduh tanggal 20 MAret 2010.
Bishop, A.J. 2001. What Values Do You Teachwhen You Teach Mathematics? Teaching Children Mathemathic, (Online), Vol. 7, No. 6, pp.346-349.
(http://web.ebscohost.com.jerome. stjohns.edu). Diakses 11 september 2010.
Budiningsih, C.A. 2004. Pembelajaran Moral berpijak pada karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta.
Bulach, C.R. 2002. Implementating a Character Education Curriculum and assessing Its Impact on Student Behavior. Clearing House, Vol. 76, No. 2, pp. 79-83.
Duncan, B.J. 1997. Character Education: Reclaiming the social. Educational Theory, Vol. 47, No. 1, pp. 119-130.
Granger, D.A. 2001. Back to The Future: Coming to Terms with a Claims of History and Expediancy in Recent Character Education Initiatives Educational Change, Spring 2001-2002, pp. 40-51.
Hayes, G.K. 2003. Whoes Values Do We teach? Delta Kappa Gamma Bull. Vol 69, No. 3, pp. 55-57.
Inlay, L. 2003. Values : The Implicit Curiculum. Educational Leadership, Vol. 60,
Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan karakter. Strategi Mendidik anak di Jaman Global. Edisi ke 2. Jakarta: Grasindo.
Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan karakter. Strategi Mendidik anak di Jaman Global. Edisi ke 2. Jakarta: Grasindo.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Chararcter. How Our school an Teach Respect and Responsibility. New York : Bantam Books.
Lickona, Thomas. 1999. Religion and Character Education. Phi Delta Kappa. 00317217, Sep. 1999, Vol 81. Issue 1.
Mc.Kay, L. 2002. Character Education with a Plus. The Educational Diggest, pp. 45-50.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter:solusi Yang tepat Untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Star Energy.
Murphy, M.M. 1998. Character Education in America’s Blue Ribbon Schools. Lancaster PA, Technomic.
Suparno, P, dkk. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah: Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak diterbitkan.
Triatmanto. 2010. Jurnal Cakrawala Pendidikan.Tahun XXIX Bulan Mei 2010. Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak diterbitkan.
Triatmanto. 2010. Jurnal Cakrawala Pendidikan.Tahun XXIX Bulan Mei 2010. Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
Veugelers, W. 2000. Different Ways of Teaching Values, Educational review. Vol. 52, No. 1, pp. 37-47.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons