Menarik mengikuti perdebadatan tentang pendidikan karakter yang dimuat oleh redaksi Haluan. Perdebatan ini diawali ketika Darman Moenir menulis artikel tentang “Hentikan Program Pendidikan Berkarakter” (Haluan, 26/12/2011).
Tulisan yang disampaikan oleh Darman Moenir kemudian mendapat tanggapan dari Prof. Dr. H. Azmi, MA dengan tulisannya berjudul “Pendidikan Karakter, Masihkah Perlu?” dan dilanjutkan dengan tulisan Henmaidi, PhD tentang “Jebakan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Karakter” serta tulisan Karsa Scorpi tentang “Pendidikan Berkarakter Harus dengan Karakter Pendidikan” (Haluan, 04/01).
Tulisan yang disampaikan oleh Darman Moenir, Prof. Azmi, Henmaidi, serta Karsa Scorpi menarik untuk di cermati sambil di renungkan pesan ataupun makna yang disampaikan oleh para penulis, sehubungan dengan pendidikan karakter yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat dikalangan pemerintah serta pemerhati pendidikan di negeri ini.
Munculnya pemikiran untuk menggalakkan pendidikan karater tak bisa dilepaskan dari keterpurukan yang dialami oleh bangsa Indonesia beberapa tahun telakhir. Munculnya krisis moral serta penyakit-penyakit sosial lainnya, seperti korupsi yang kian subur, pelanggaran HAM, dis-integrasi antar agama, tawuran pelajar, mahasiswa, dll. Fenomena itu menandakan bahwa bangsa kita sedang mengalami keterpurukan karakter. Karena itu agar tidak masuk jurang yang lebih dalam maka penting melakukan penyelamatan terlebih dahulu dengan memperbaiki karakter bangsa ini, melalui dunia pendidikan.
Namun dalam pemikiran pemerintah untuk mewujudkan program pendidikan karakter maka perlu dilakukan beberapa tahapan mulai dari semacam riset, seminar dan workshop, dll. Persoalan ini lah yang membuat budayawan Darman Moenir antipati hingga menyampaikan tulisan “Hentikan Program Pendidikan Berkarakter”. Saya pikir sebenarnya beliau bukan tidak menghendaki adanya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan kita, tapi justru yang membuat beliau antipati karena program yang dilakukan oleh pemerintah cenderung hanya untuk menghambur-hamburkan anggaran. Padahal persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini sudah jelas. Saya sepakat dengan pendapat beliau.
Memang problem pendidikan kita hari ini sangatlah konfleks. Pendidikan di negeri ini cenderung kepada ranah kognitif saja, dengan mengenyampingkan ranah afektif. Sehingga keberhasilan pendidikan selama ini lebih diukur dengan menggunakan angka-angka yaitu tingkat kelulusan UN. Padahal dalam melaksanakan UN banyak terjadi kecurangan-kecurangan, seperti guru yang berusaha untuk membantu siswa dalam menjawab soal-soal ujian. Sehingga dalam proses pelaksanaan UN terkesan jauh dari nilai-nilai kejujuran.
Tanpa kita sadari proses ini sudah berlangsung sejak lama dan telah merusak hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Makanya tidak bisa dipungkiri karakter bangsa ini pun kian merosot tajam. Siswa sebagai generasi penerus bangsa diharapkan menjadi agen of change untuk masyarakat dan negara dimasa yang akan datang telah terlebih dahulu dirusak karakternya di dalam dunia pendidikan.
Makanya pendidikan karakter menjadi isu utama pendidikan hari ini. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemdiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinanya. Tidak kecuali di pendidikan tinggi, pendidikan karakter pun mendapatkan perhatian yang cukup besar.
Kita memang membutuhkan pendidikan karakter untuk kondisi sekarang ini. Namun pendidikan karakter yang dimaksud bukan dengan sistem menambahkan mata pelajaran baru pada siswa. Apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Azmi, MA dalam tulisannya bahwa semua kegiatan belajar di sekolah adalah wahana pembelajaran karakter, menurut hemat saya itu sangat benar. Setiap kegiatan belajar, IPA, IPS, Matematika dan Bahasa dapat diselipkan pendidikan karakter, seperti pendidikan bekerjasama, saling menghormati, berbicara lemah lembut dan berlaku jujur antar sesama, dll.
Memang tanpa kita sadari selama ini sistem pendidikan kita sering mengkotak-kotakkan mata pelajaran. Misalnya, kalau mata pelajaran matematika, guru hanya akan bica soal matematika saja dan mengesampingkan bicara soal akhlak dan budi pekerti. Karena pelajaran yang berhubungan dengan budi pekerti dan akhlak itu sudah ada didalam pelajaran pendidikan agama dan kewarganegaraan. Nota bene mata pelajaran tersebut hanya diajarkan 1 kali pertemuan dalam 1 minggu. Kondisi demikian tidak mengherankan kalau banyak siswa yang pintar (genuius) dalam pelajaran eksakta namun ternyata minus karakter.
Pentingnya Peran Agen Sosialiasi
Menurut ahli sosiologi George Herbert Mead bahwa setiap orang harus mempelajari peran-peran yang ada di dalam masyarakat yaitu suatu proses yang dinamakan pengambilan peran. Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankan serta peran yang harus dijalankan orang lain. Jadi diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.
Karena itu berbicara masalah pendidikan karakter maka yang menjadi hal paling penting adalah perlunya sosialisasi yang intens yang dilakukan oleh agen sosialiasi, seperti: Pertama, peran keluarga. Keluarga merupakan lingkungan utama yang dikenal oleh anak. Agen sosialisasi di lingkungan keluarga meliputi orang tua, saudara kandung bahkan untuk lingkungan besar termasuk kakek, nenek, paman, bibi, dan sebagainya. Di samping itu bagi keluarga yang memiliki status sosial yang lebih baik, agen sosialisasi termasuk, pekerja sosial, petugas anak, pembantu dan sebagainya. Peran agen sosialisasi terutama orang tua sangat penting. Arti pentingnya agen sosialisasi terletak pada pentingnya kemampuan yang harus dikerjakan kepada anak.
Kedua, teman bermain (lingkungan sosial). Anak mulai bergaul dengan lingkungan selain keluarganya. Misalnya, tetangganya atau teman sekolahnya, berarti anak menemukan agen sosialisasi yang lain. Pada lingkungan ini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru, dia melakukan interaksi sosial sederajat, anak memasuki game stage yaitu mempelajari aturan yang mengatur peran orang lain yang kedudukannya sederajat.
Ketiga, lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah atau pendidikan formal seorang anak mulai mempelajari hal-hal baru yang belum dipelajari dalam lingkungan keluarga maupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkan penguasaan peran-peran baru yang akan digunakan di kemudian hari, pada saat anak tidak tergantung pada orang tua lagi. Di lingkungan sekolah, seseorang belajar bahasa (mendengarkan berbicara, membaca dan menulis), belajar matematika, ilmu pengetahuan sosial dan pelajaran lain-lain. Di lingkungan sekolah, para siswa belajar kemandirian, prestasi, umum dan khusus.
Keempat, Media masa. Media masa, baik media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi, film, internet) merupakan bentuk komunikasi yang dikatagorikan sebagai agen sosialisasi. Pesan-pesan yang disampaikan baik melalui surat kabar, majalah, radio, televisi, film dan internet akan mempengaruhi perilaku seseorang. Misalnya, anak mengikuti gaya mode dan penampilan para artis, dll.
Agen sosialiasi yang telah dijelaskan diatas menurut hemat penulis sangat penting perannya untuk mendudukung terlaksananya pendidikan karakter. Ketika salah satu agen sosialiasi tidak berfungsi dengan baik, maka mustahil akan tercipta pendidikan karakter yang selama ini diimpikan bersama. Misalnya, seorang anak diajarkan berbuat jujur, berkata lemah lembut, serta saling mengormati antara sesama, tetapi ketika anak tidak mendapatkan pendidikan seperti itu dirumah maka apa yang diajarkan oleh guru disekolah akan menjadi sia-sia. Karena anak mendapatkan perlakukan yang berbeda.
Akhirnya pendidikan karakter tidak hanya bisa dibebankan kepada pihak sekolah (guru) maupun pemerintah melainkan harus menjadi tanggungjawab bersama,. Sekali lagi penulis ingin menyampaikan untuk mewujudkan pendidikan karakter harus dilakukan sosialisasi yang intens oleh agen sosialiasi, kalau tidak maka yakinlah pendidikan karakter hanya akan sebatas pada cita bukan realita. Hal ini tentu tidak kita kehendaki bersama. Wallohu’aklam Bishowab.
0 comments:
Posting Komentar