Cari Blog Ini

Rabu, 29 Februari 2012

Mr.Bean Best

Selasa, 28 Februari 2012

Film Kentut Full

3 HATI 2 DUNIA 1 CINTA FULL

Ketika cinta bertasbih 2(Full)

Ayat-ayat Cinta

Nagabonar

Senin, 27 Februari 2012

MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH : MELALUI KEARIFAN LOKAL


MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH :
MELALUI KEARIFAN LOKAL[1]
Oleh:
L.R.Retno Susanti[2]

ABSTRAK
Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. Oleh karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter di sekolah menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Kearifan lokal dapat berfungsi sebagai salah satu sumber nilai-nilai yang luhur bagi maksud tersebut. Dengan kata lain, kearifan lokal bisa menjadi sumur yang tak kunjung kering di musim kemarau panjang, nilai-nilai kebijaksanaan bagi perwujudan cita-cita bangsa yang seimbang, baik secara lahiriah maupun batiniah. Di samping berfungsi sebagai penyaring bagi nilai-nilai berasal dari luar, kearifan lokal dapat juga digunakan untuk meredam gejolak-gejolak yang bersifat intern. Misalnya konflik masyarakat yang sesuku atau antarsuku. Upaya promosi nilai-nilai luhur dalam kebudayaan tertentu secara formal akan menimbulkan apresiasi dan rasa bangga terhadap nilai-nilai tersebut. Dengan demikian akan timbul semangat yang kuat untuk menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
            Oleh karenanya tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba menguraikan bagaimana membangun pendidikan karakter di sekolah melalui kearifan lokal.


I. PENDAHULUAN
Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter inipun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selanjutnya  pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal  dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Dengan demikian jelas sekali bahwa fungsi dan tujuan pendidikan di setiap jenjang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
            Oleh karena itu Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof.dr.Fasli Jalal, Ph.D Pada tanggal 1 Juni 2010  dalam acara  Rembuk Nasional dengan  tema “ Membangun Karakter Bangsa dengan Berwawasan Kebangsaan”. yang digelar di Balai Pertemuan UPI ini, dan dibidani oleh Pusat Kajian Nasional Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan UPI Bandung, mengungkapkan arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan negara. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat erat dan dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”
Dari bunyi pasal tersebut, Wamendiknas mengungkapkan bahwa telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Wamendiknas pun mengatakan bahwa, pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku. Oleh karena itu Wamendiknas mengatakan bahwasanya sekolah sebagai bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Wamendiknas menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture , dimana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Lebih lanjut Wamendiknas pun berpesan, agar para pemimpin dan pendidik lembaga pendidikan tersebut dapat mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut.
Wamendiknas juga mengatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu mengenai sarana-prasaran, pendidikan karakter ini tidak memiliki sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan.

PENDIDIKAN KARAKTER
Secara historis-geneologis, pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foerster. Pertama, keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Itu dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Karakter itulah yang menentukan bentuk seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Selain itu pula pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Oleh karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH  MELALUI KEARIFAN LOKAL

Sejarah menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.
Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai. kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya (tripita cipta karana). Dan sebagai bangsa yang besar pemilik dan pewaris sah kebudayaan yang adiluhung pula, bercermin pada kaca benggala kearifan para leluhur dapat menolong kita menemukan posisi yang kokoh di arena global ini.
Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun pendidikan karakter di sekolah? Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.
Dalam konteks tersebut di atas, kearifan lokal menjadi relevan. Anak bangsa di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat di desanya,  kecamatan, dan kabupaten, setelah  tingkat nasional dan internasional. Melalui pengenalan lingkungan yang paling kecil, maka anak-anak kita bisa mencintai desanya. Apabila mereka mencintai desanya mereka baru mau bekerja di desa dan untuk desanya. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak didik kita. Dengan mempelajari kearifan lokal anak didik kita akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.(http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.html.). Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu diajarkan pada anak-anak kita. Dengan demikian, pendidikan karakter melalui kearifan lokal seharusnya mulai diperkenalkan oleh guru kepada para siswanya. Semua satuan pendidikan siswanya memiliki keberagaman ras maupun agama, dapat menjadi laboratorium masyarakat untuk penerapan pendidikan karakter. Proses interaksi yang melibatkan semua pihak dalam kearifan lokal sama saja mempelajari karakteristik dari materi yang dikaji sehingga siswa secara langsung dapat menggali karakter peristiwa kelokalan itu.
Oleh karenanya kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Pikiran Rakyat, 4 Oktober 2004). Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain  maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local)  yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.  Dengan demikian membangun pendidikan karakter disekolah melalui kearifan lokal sangatlah tepat. Hal ini dikarenakan Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Kearifan lokal milik kita sangat banyak dan beraneka ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa, berbicara dalam aneka bahasa daerah, serta menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Kehadiran pendatang dari luar seperti etnis Tionghoa, Arab dan India semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal.
Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Para siswa yang datang ke sekolah tidak bisa diibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah. Siswa tidak seperti plastisin yang bisa dibentuk sesuai keinginan guru. Mereka sudah membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Guru yang bijaksana harus dapat menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri. Guru yang kurang memahami makna kearifan lokal, cenderung kurang sensitif terhadap kemajemukan budaya setempat. Hambatan lain yang biasanya muncul adalah guru yang mengalami lack of skill. Akibatnya, mereka kurang mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman budaya daerah.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa membangun pendidikan karakter di sekolah melalui kearifan lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pendidikan. Oleh karena itu pendidikan karakter  berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan pendidikan karakter disekolah berbasis kearifan lokal memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen warga belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Blum, Lawrence A.. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras” Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”, dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor, Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.
http://pangasuhbumi.com/article/20582/pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal.html

http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html
Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.
Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.


[1] Disampaikan pada Persidangan Dwitahunan FSUA-PPIK USM pada tanggal 26 s/d 27 Oktober 2011 di
   Fakultas Sastra Unand, Padang.
[2] Pengajar Program Studi Pendidikan Sejarah  FKIP Universitas Sriwijaya, Indralaya (Ogan Ilir)

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Drs. Nur Kholiq,M.Pd.[1]

Abstrak

Pendidikan karakter bangsa bukan semata-mata tanggung jawab guru, tetapi adalah tanggung jawab  seluruh komponen masyarakat dan lingkungan keluarga.  Guru bertugas memberikan pembelajaran tentang pendidikan karakter bangsa melalui ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kurikulum di sekolah, sedangkan keluarga dan masyarakat yang merupakan lingkungan tumbuh dan berkembangnya generasi muda memiliki peran yang lebih penting dalam proses pembentukan karakternya melalui agama dan norma-norma sosial yang dianut.Perlu adanya peran serta aktif semua komponen bangsa untuk membentuk pribadi generasi muda yang berkarakter dan nasionalis. Kita tidak bisa saling melempar tanggung jawab. Norma-norma dan aturan yang tidak tertulis dalam lingkungan masyarakat dapat dijadikan patokan hukum yang bisa digunakan untuk membatasi setiap tindakan anggota masyarakatnya.Generasi muda yang kurang mendapatkan pendidikan karakter bangsa akan mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang dapat memecah belah persatuan dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.

Pendahuluan

Pendidikan karakter bukanlah mata pelajaran, tetapi nilai-nilai yang bisa diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran di sekolah, atau pun setiap pengembangan budaya positif di sekolah dan di tengah-tengah keluarga.
Mengapa pendidikan karakter saat ini dianggap sedemikian penting? Kita semua menyadari bahwa pendidikan karakter adalah bagian dari pembangunan watak yang sangat penting untuk mencapai peradaban yang unggul dan mulia. Semua hal itu bisa terlaksana dengan masyarakat yang baik yakni manusia bermoral dan beretika sehingga bangsa Indonesia bisa bersaing dengan bangsa lain dengan cara yang terhormat dan bermartabat. Oleh sebab itu, pembangunan karakter dalam diri anak bangsa harus tetap memperhatikan dan berpedoman kepada sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Budaya positif yang dikembangkan di sekolah diharapkan  mampu menjadikan anak-anak tumbuh menjadi manusia yang bertanggungjawab, peduli, berperasaan, menghormati keberagaman, dan tahu apa yang harus dilakukan ketika menghadapi keputusan sulit.
Dalam pengembangan karakter,  guru harus bekerjasama dengan keluarga atau orangtua peserta didik. Posisi dan peran keluarga tidak sekedar tercatat atau formalitas, tetapi harus lebih efektif dalam bentuk kontrol terhadap pembinaan kepada peserta didik. Orang tua dan guru perlu membuat kesepakatan nilai-nilai utama apa yg perlu dibelajarkan, nilai-nilai kebaikan yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar tercipta kehidupan yang harmonis, di sekolah, keluarga dan masyarakat. Mengutip Thomas Lickona nilai-nilai tersebut antara lain  kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, saling menghargai/menghormati, kerjasama, tanggunggjawab, dan ketekunan
Karakter  tidak otomatis berkembang pada diri warga bangsa atau peserta didik. Perlu ada rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah jelas. Rekayasa sosial  ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi yang memerlukan partisipasi dari berbagai pihak.(Prof. Dr. Zamroni). Pembangunan karakter bangsa,  merupakan tugas semua pihak untuk melakukan regenerasi dan estafet kepemimpinan nasional. Program pembangunan karakter ini ditetapkan sebagai program nasional. Nantinya.Program tersebut akan serentak dilakukan oleh beberapa kementerian dan lembaga negara. (Mendiknas pada peringatan Hardiknas, 2 Mei 2010)


Pembahasan

Definisi Karakter
Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.
Definisi dari “The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit.
Menurut Wapres Boediono, pendidikan karakter adalah upaya membekali generasi mendatang dengan nilai-nilai dasar yang berlaku universal sepanjang sejarah. "Seperti apa rumusannya jika akan diajarkan dan dikembangkan kepada generasi muda, silakan dirumuskan. Sebab, pendidikan karakter bangsa akan menghadapi tantangan zaman yang berbeda-beda.
Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter :
1. Keteraturan                                                                  
    Setiap  tindakan diukur berdasar hierarki nilai dan nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
2. Koherensi
    Memberi keberanian yang membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak     mudah terombang-ambing situasi baru atau takut resiko.
3. Otonomi
    Penliaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atas desakan yang lain.
4. Keteguhan pada kesetiaan
    Daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik merupakan dasar atas komitmen yang dipilih. (Khairtati, 2010) 

Makna Pendidikan
Azyumardi Azra dalam buku "Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", memberikan pengertian tentang "pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.
Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan  Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.

Perkembangan Pendidikan
Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada masa lalu, sungguh sangat berarti.  Untuk itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini, sebagai bentuk refteksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Lantas bagaimana perkembangan sekarang? Sangat ironis, memang. Banyak para pemuda kita yang tidak memiliki jiwa besar, bersikap masa bodoh, serta banyak yang tidak mengamalkan nilai-nilai Pancaslia sebagai  Dasar Negara.
Namun, kita sadar dan sangat yakin bahwa hanya melalui dunia pendidikanlah bangsa kita akan menjadi maju, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia, sekaligus merupakan barometer terhadap kualitas sumber daya manusia.
Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi moral.

Reformasi Pendidikan
Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter,  watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated).

Pendidikan Karakter Yang Efektif
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter
dapat berjalan efektif:
(1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik,
(2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku,
(3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter,
(4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian,
(5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral,
(6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil,
(7) usahakan mendorong motivasi diri siswa,
(8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa,
(9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter,
(10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter,
(11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.
Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai
kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian:
(1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai?
(2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter?
(3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.


Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan atau dalam istilah psikologi pendidikan dikenal dengan istilah operan conditioning yaitu siswa diajarkan untuk membiasakan prilaku terpuji, giat belajar, bekerja keras, berrtanggung jawab atas setiap tugas yang telah diberikan.
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa?  Dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa. Menurut mendiknas, Pendidikan dan olah raga adalah satu paket kegiatan dalam rangka pembentukan karakter dan jati diri bangsa. Disamping olah raga yang sudah dikenal, kemas dan tumbuhkembangkan kembali olah raga tradisional seperti pencak silat, kasti dan lain sebagainya sesuai tradisi suku bangsa untuk membentuk karakter yang diharapkan. 

Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus dilakukan dan  melibatkan semua pihak baik rumah tangga atau  keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas bahkan oleh para elit politik maupun pemimpin bangsa. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan dan antar seluruh komponen masyarakat tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah).
Bangsa yang berkarakter unggul, disamping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refleksi dari tekad kita.

Saran
Membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh.
Guru adalah seorang pendidik yang seharusnya benar-benar menginginkan yang terbaik untuk siswa-siswanya, dan memiliki kepedulian untuk meluangkan waktu guna menemukan bakat individu siswa, lalu mencari cara untuk mengasuh dan memberdayakan bakat tersebut. Semoga  bangsa kita lebih beradab, maju, sejahtera,  kini, esok dan selamanya, Amin.


Daftar Pustaka

Bambang Nurokhim, 2007. “Membangun Karakter Dan Watak Bangsa Melalui Pendidikan Mutlak Diperlukan” (online), http:// www. Artikel Cakrawala TNI AL.Com/, diakses tgl 21 Juli 2010.

Jakarta, Suara Karya, 2010.” Depdiknas, Masukkan  Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Kurikulum”. (online), http:// www. Bataviase.co.id/, diakses tgl 21 Juli 2010

Khairtati, 2010, Pendidikan BerkarakterMakalah Pendidiikan dan Pelatihan PGSI Kota Medan Khoiruddin Bashori, 2010.”Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa”. (online), http://www.Media Indonesia.com/, diakses 15 Mei 2010.

Mendiknas, 2010. “Integrasikan Pendidikan dan Olah Raga”. (online), http://www.Jakarta, Kominfo-Newsroom.com/, diakses 13 Juli 2010

Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono,2010.”Pendidikan Karakter Bangsa Penting Untuk Indonesia Yang Lebih Beretika”.(online),http:// www. Berita Utama.com/, diakses tgl 20 Juli 2010.

Prof. Dr. Zamroni, 2010, “The Role Of Social Studies In The Contex Of Nature and Character Building”. (online), http://www.Seminar Internasional Univ. Negeri Makassar.com/, diakses
 tgl 19 Juli 2010.

Syahrul Hidayat, 2010. “ Pentingnya Pendidikan Karakter Bangsa”. (online), http://www.Jakarta, Kompas.com/, diakses tgl 21 Juli 2010

Universitas Negeri Jogjakarta, 2010.” Merenungkan Kembali Pendidikan Karakter Bangsa. (online). http:// www. Lensa.com/, diakses tgl 30 Junli 2010.

Wapres, 2010. “Pembekalan Karakter Bangsa Bukan Indoktrinasi”. (online),  http://www. Lembang, Kompas.com/, diakses tgl 21 Juli 2010.

Yohana Kristianti,S.Si, 2010. “Pendidikan Karakter : Harapan Baru   Membangun Peradaban Bangsa’. (online) http://www. banyumasnews.com/, diakses tgl 21 Juli 2010.


[1] Drs. Nur Kholiq,M.Pd – Kepala SMAN 1 Kembang

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons