Cari Blog Ini

Jumat, 24 Februari 2012

“ILIR-ILIR” SUNAN KALIDJAGA (Sumber Pembentukan Pekerti Bangsa)


ILIR-ILIR” SUNAN KALIDJAGA
(Sumber Pembentukan Pekerti Bangsa)

Drs. Puji Santosa, M.Hum.
Peneliti Utama Bidang Sastra
Pusat Pengembangan dan Pelindungan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan Nasional

 
Abstrak

            Sunan Kalidjaga, seorang wali sanga penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad XV—XVI Masehi, menciptakan tembang dolanan anak-anak “Ilir-ilir”. Tembang “Ilir-ilir” tidak sekadar lagu permainan anak-anak yang bersifat menyenangkan, tetapi sebuah tembang yang bernilai edipeni dan adiluhung. Tembang ini digunakan sebagai sarana berdakwah bagi Sunan Kalidjaga dalam rangka menyebarluaskan agama Islam di pulau Jawa pada masa itu. Mengingat masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya adalah masyarakat agraris, petani, dan masih dipengaruhi kuat oleh budaya Animisme, Dinamisme, Hindhu, Budha, dan kepercayaan lainnya, maka tembang dolanan anak-anak itu digubah dengan menggunakan simbol-simbol masyarakat agraris di pedalaman Pulau Jawa, seperti tandure, sumilir, cah angon, blimbing, lunyu, dodot, seba, dan gedhe rembulane.

Nilai edipeni tembang “Ilir-ilir” terletak pada struktur fisik tembang yang melodius sehingga nikmat dirasakan dan mengandung nilai hiburan. Nilai adiluhung tembang “Ilir-ilir” terletak pada filosofi kandungan makna sebagai pembentukan pekerti bangsa yang disampaikan secara simbolik atau kias. Pekerti bangsa yang tersirat dalam tembang “Ilir-ilir” adalah manusia harus segera bangun jiwanya: sadar, percaya, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah bangun jiwanya, manusia harus segera bersesuci dengan lima watak utama, panacasila: rila, narima, sabar, temen, dan budi luhur, sebagai bekal menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa di istana Taman Kemuliaan Abadi. Delapan watak keutamaan itulah yang setiap harinya harus diolah oleh manusia dalam melaksanakan tugas dan kewajiban hidup di dunia. Nilai-nilai edipeni dan adiluhung tembang “Ilir-ilir” ini dapat dipakai sebagai sumber kearifan pembentukan pekerti bangsa yang beradab, bermartabat, dan berbudi luhur sehingga kelak bangsa Indonesia mencapai puncak kejayaan dunia.

Kata Kunci: tembang, simbolik, edipeni, adiluhung, pekerti bangsa.

1. Pendahuluan

Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia disibukkan oleh berbagai kepentingan material keduniawian sehingga melupakan kearifan pembentukan pekerti bangsa. Hal ini disebabkan oleh sikap hidup pragmatis pada sebagian be­sar masyarakat Indonesia yang mengakibatkan terki­kisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial yang turut serta memperparah kondisi sosial budaya bangsa. Kondisi dan situasi bangsa Indonesia saat ini seolah-olah telah dirasuki zaman edan, kalabendhu, kalatidha (Ranggawarsita) atau zaman retu (Soenarto Mertowardojo). Budaya bangsa adilu­hung dan edipeni sebagai nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), bahkan kearifan budaya yang santun, saling menghormati, arif-bijaksana, dan religius, seakan-akan terkikis dan tereduksi oleh gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, anarkisme, kasar, dan vulgar, tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya. Penonjolan perasaan kecewa dan emosi yang dilampiaskan dengan kemarahan membabi buta: hantam krama dan urusan belakang, berakibat fatal dan menghancurkan. Fenomena ini dapat menjadi representasi mele­mahnya pekerti bangsa yang terkenal dengan ramah, santun, penuh kasih sayang, saling menghormati, saling asah, asih, dan asuh, serta berbudi pekerti luhur atau berbudi pekerti mulia.

Sebagai bangsa yang beradab dan ber­mar­tabat, situasi dan kondisi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia, khu­susnya dalam melahirkan generasi muda masa depan bangsa yang:
  1. cerdas bijak bestari (mursid),
  2. terampil dan cendekia (sugih kagunan lan pangawikan),
  3. ber­budi pekerti luhur (luhur budinipun),
  4. berderajat mulia (luhur derajatipun),
  5. berperadaban mulia (mulya gesangipun), serta
  6. berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, dibutuh­kan paradigma pendidikan kejiwaan yang berori­entasi pada kearifan budaya pembentukan pekerti bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan material duniawi), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasikan persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi pekerti bangsa. Salah satu media pendidikan kejiwaan yang berorientasi membangun pekerti bangsa itu ialah melalui pendidikan dan pengolahan jiwa dengan memahami dan mengaplikasikan makna tembang-tembang Jawa yang banyak mengandung falsafah hidup, petuah, wejangan, dan nilai-nilai kebajikan lainnya. Salah satunya adalah memahami dan mengaplikasikan makna tembang “Ilir-ilir” karya Sunan Kalidjaga yang diciptakan semasa abad XV—XVI Masehi.

2. Teladan Sunan Kalidjaga

Sunan Kalidjaga sebagai guru spiritual bangsa Indonesia umumnya, khususnya bagi masyarakat Jawa, mewariskan kepada kita sejumlah ajaran atau wejangan yang mampu membentuk kearifan budaya pekerti bangsa. Warisan wejangan kearifan budaya pekerti bangsa itu oleh Sunan Kalidjaga, antara lain, disampaikannya dalam bentuk tembang macapat bermatra dhandhanggula yang terkenal adalah “Kidung Rumekasa ing Wengi” dan tembang dolanan anak-anak “Ilir-ilir”. Dalam dua buah wejangan itu beliau tidak sekadar mursid, sugih kagunan tuwin pangawikan, tetapi juga mumpuni olah laku dan olah budi di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Sunan Kalidjaga dapat dikatakan “jalma linimpad ing budi” atau “bebasane wong kang limpad seprapat bae wus tamat”, dan tentu saja “waskita ing ilmu lan laku”.

Sejarah perjalanan hidup Kanjeng Sunan Kalidjaga telah memberi teladan nyata bagaimana seharusnya setiap manusia menjalani kehidupan sehari-hari. Berawal dari keprihatinan Raden Sahid menyaksikan penderitaan hidup rakyat Tuban ketika itu di bawah kendali Kerajaan Majapahit yang semakin hari bertambah sengsara. Rasa kasih sayang kepada sesama makhluk Tuhan, rakyat kecil yang menderita, mendorong Raden Sahid muda berbuat sesuatu untuk dapat menyejahterakan rakyat yang sengsara tersebut. Jalan yang ditempuh adalah menjadi “maling aguna” atau “maling cluring”, yaitu mengambil barang-barang milik orang-orang kaya raya, lalu hasil curiannya itu dibagi-bagikan kepada rakyat miskin yang menderita tersebut. Beberapa kali Raden Sahit tertangkap oleh punggawa Kadipaten Tuban dan diserahkan pengadilannya kepada Sang Adipati Tuban. Oleh karena merasa malu terhadap perbuatan anaknya, lalu Sang Adipati Tuban mengusir Raden Sahid meninggalkan Kadipaten Tuban.

Meskipun telah terusir dari Kabupaten Tuban, Raden Sahid tetap nekad melakukan perbuatan mencuri, tidak jera bila tertangkap, bahkan menjadi perampok dan pembegal dengan sebutan “Berandal Lokajaya". Hasil curian, rampokan, dan begalannya itu tetap diberikan atau dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin yang ditemuinya. Akhir petualangan Raden Sahid menjadi “maling aguna” ketika berada di hutan Jati Wangi bertemu dengan seorang tua bersorban putih, Sunan Bonang. Orang tua ini belum dikenal sebelumnya oleh Raden Sahid sehingga hendak dibegalnya. Namun, orang tua yang serba tenang, penuh kesabaran, dan bijaksana itu tidak mampu dilumpuhkan oleh Raden Sahid. Merasa dirinya kalah perbawa dengan orang tua itu, maka Raden Sahid menyerah bertobat kepada Sunan Bonang dan memohon diri untuk dapat menjadi muridnya.

Pertemuannya dengan Sunan Bonang ini menggugah kesadaran Raden Sahid bahwa yang dilakukan selama ini termasuk perbuatan sesat, meski tampak mulia didasari rasa kasih sayang kepada rakyat yang menderita. Sebagai salah satu laku dalam penebusan dosa atas perbuatannya itu Raden Sahid diminta melakukan tapa brata di sebuah sungai (kali) hingga Sunan Bonang kembali menjenguknya. Tidak terasa dalam bermeditasi di sungai itu telah bertahun-tahun lamanya Raden Sahid menunggu dengan setia kedatangan Sunan Bonang. Rasa patuh, sabar, percaya, dan berbakti mendasari jiwa Raden Sahid dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai upaya laku makrifat, yakni marsudi nggayuh kasunyatan. Jadi, dalam hal ini Raden Sahid bukan hanya sekadar memiliki ilmu yang berhenti pada pengertian, melainkan juga diikuti dengan perbuatan atau laku. Sebab, ilmu tanpa laku akan hanya menjadi buah bibir (pembicaraan) yang pada saatnya akan “mblenjani janji”.

Setelah Sunan Bonang kembali menemui Raden Sahid di sungai penantian, tahap selanjutnya adalah masa penggemblengan Raden Sahid menerima semua ilmu yang dimiliki Sunan Bonang. Raden Sahid tidak hanya berhenti berguru ilmu dan laku kepada Sunan Bonang, tetapi dilanjutkan berguru kepada Sunan Ampel, Sunan Giri, dan ke Pasai. Setelah itu Raden Sahid berdakwah ke Semenanjung Malaya hingga ke Patani wilayah Thailand Selatan (Chodjim, 2003:10). Dalam “Hikayat Patani” disebutkan bahwa Syeh Malaya sebagai seorang tabib yang mampu menyembuhkan sakit Raja Patani. Di Jawa Syeh Malaya dikenal sebagai Sunan Kalidjaga yang merupakan nama lain Raden Sahid setelah diangkat menjadi anggota wali sanga, majelis ulama Kerajaan Demak, derajat mulia pada masa itu.

Betapapun beliau berderajat mulia sebagai guru spiritual raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram, Sunan Kalidjaga tetap menunjukkan kebersahajaannya. Sunan Kalidjaga mulai menanam benih kearifan budaya pekerti bangsa melalui wejangan keutamaan laku hidup:
  1. mangerti, penalaran, pengertian, berhubungan dengan logika;
  2. makarti, berkaitan dengan pelaksanaan, laku, tindak kerja;
  3. pakerti, mengolah budi pekerti agar berderajat luhur dan mulia; dan
  4. mastuti ing Widhi, melaksanakan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atas dasar wejangan laku hidup empat perkara itulah dakwah Sunan Kalidjaga terasa sejuk dan menenteramkan umatnya. Sunan Kalidjaga dalam berdakwah, menyebarluaskan agama Islam, mampu memadukan budaya Jawa yang sinkretis dengan akidah agama Islam yang disertai kearifannya. Dakwah-dakwahnya tidak pernah ada yang bertentangan dengan adat-istiadat Jawa. Oleh karena itu, teladan dan ajaran Sunan Kalidjaga yang disertai dengan kebijakan dapat digunakan sebagai sumber kearifan budaya dalam pembentukan pekerti bangsa. Salah satu dakwah yang mengandung ajaran mulia adalah tembang “Ilir-ilir”, yang dipercaya sebagai karya Sunan Kalidjaga. Tembang “Ilir-ilir” diyakini mengandung falsafah hidup yang edipeni dan adiluhung. Akan tetapi, tidak semua orang memahami dan mengerti akan makna keedipenian dan keadiluhungan tembang “Ilir-ilir”; pilih jalma kang mangerti marang surasane tembang kasebut. Apalagi mau melangkah ke makarti, pakerti, hingga ke mastuti ing Widhi, tentu jalan itu akan semakin licin, pelik, dan sukar sekali.

3. Keèdipènian Tembang “Ilir-Ilir”

Pada zaman dahulu, sebelum mengenal teknologi dan informasi canggih, tembang “Ilir-ilir” biasa dinyanyikan oleh anak-anak Jawa pada malam hari yang bersama main-main di bawah terangnya sinar bulan purnama. Sudah sejak lama di Jawa tembang “Ilir-ilir” diajarkan di sekolah rakyat (SD). Selain itu, di pondok-pondok pesantren di Jawa pun tembang “Ilir-ilir” diajarkan dan dipadukan dengan kasidahan salawat badar. Namun, anak SD dan anak-anak pesantren yang mendendangkan tembang “Ilir-ilir” itu tidak akan pernah mengerti makna dari tembang yang dinyanyikannya. Meskipun kata-kata dan struktur kalimat syair tembang tersebut bersahaja, tidak muluk-muluk atau pelik, dikenal dalam kehidupan sehari-hari, tetap makna tembang “Ilir-ilir” itu dibungkus dengan kiasan atau perlambang. Bahkan, guru yang mengajarkan tembang tersebut hanya sekadar mengajarkan, hafal syairnya dan pandai melantunkannya, tetap maksud dari tembang tersebut sama sekali tidak dipahaminya.

Sementara itu, bagi orang-orang dewasa tembang “Ilir-ilir” sekadar dinyanyikan sebagai tembang kenangan. Tidak lebih daripada itu. Namun, ada juga beberapa orang yang mencoba-coba menafsirkan makna tembang tersebut. Dari sejumlah buku dan tulisan yang tersebar di internet, umumnya mereka hanya menuliskan bunyi syairnya, ada yang disertai dengan terjemahan bahasa Indonesia yang kurang tepat, dan ada juga yang menambahkan penafsiran yang terbata-bata karena ketaksaan bahasa menyebabkan banyak interpretasi. Hal ini disebabkan oleh keedipenian dan keadiluhungan tembang “Ilir-ilir” yang seolah sakral untuk dipahami maknanya, apalagi mau dibabarkan dalam tindakan, masih jauh api dari panggang. Secara lengkap syair tembang “Ilir-Ilir” tersebut sebagai berikut.

ILIR-ILIR

Ilir-ilir Ilir-ilir
tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo
tak sengguh penganten anyar.

Cah angon cah angon
penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu peneken
kanggo masuh dodotira.

Dodotira dodotira
kumitir bedhah pinggire
dondomana, jlumatana
kanggo seba mengko sore.

Mumpung gedhe rembulane
mumpung jembar kalangane
ya suraka..... surak.... hore....
ya suraka..... surak.... hore....

Awal tahun 1960-an, Soenarto Mertowardojo (1964:45) mendengarkan tembang “Ilir-ilir” dari uyon-uyon gayeng yang disiarkan oleh RRI Surakarta. Begitu mendengar tembang “Ilir-ilir” tersebut Soenarto merasakan enak, nikmat, memberi rasa sejuk, dan menghibur bagi mereka yang sedang dilanda duka, sedih, dan nestapa. Bahasa tembang tersebut tampak bersahaja, penuh repetisi, pendek-pendek, kosakata yang digunakan hampir semuanya ada dalam kehidupan sehari-hari, terasa familier, dan iramanya pun lancar didendangkannya. Seolah-olah syair tembang “Ilir-ilir” yang bahasanya tampak bersahaja itu memiliki daya pesona yang kuat dan tajam menyentuh dasar hati manusia yang terdalam sehingga mereka yang mendengarkan tembang tersebut merasa mat (marem, ayem, tentrem). Oleh karena itu, sesungguhnya tembang “Ilir-ilir” tersebut memiliki nilai edipeni.
Kata èdipèni merupakan dua kata sifat untuk benda dan tempat yang berarti sarwa becik; wewujudan, papan, rerenggan, lan sapanunggale sing katon sarwa éndah >serba baik; perwujudan, tempat, perhiasan, dan sebagainya yang terlihat tampak serba indah= (Sudaryanto, 2001:262) atau éndah lan nengsemake >indah dan mempesona= (Sudaryanto, 2001:819). Biasanya kata èdipèni dipergunakan untuk menyebut dan menghargai sesuatu hal, barang atau benda dan tempat, yang tampak secara visual atau segi fisiknya. Slametmuljana (dalam Pradopo, 1994:43) memadankan kata èdipèni dengan kata Latin sublimus. Demikian Slametmuljana mengatakan: AIstilah Jawa èdipèni sama dengan pengertian Latin sublimus. Istilah ini dipergunakan apabila keindahan memuncak, artinya bila sinar kebagusan itu cerlang gemilang sedemikian rupa sehingga seolah-olah mengenai daya penangkap kita@. Kata sublim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti >menampakkan keindahan dalam bentuk yang tertinggi; amat indah; mulia; utama= (KBBI, 2001:1094). Atas dasar pemahaman itu banyak kritisi menyatakan bahwa sublim itu merupakan Akeindahan sukar@ (difficult beauty), karena di dalam mengandung nilai-nilai kekompleksitasan, kesaktian, ketakjuban, pesona, keagungan, kecemerlangan, dan sebagainya. Hal itu tepat apabila dikatakan bahwa tembang “Ilir-ilir” memiliki nilai keedipenian yang sempurna dari segi struktur fisiknya. Terdapat keselarasan dan keterpaduan pilihan kata, bunyi, struktur kalimat, pembaitan, dan makna tembang “IIir-ilir” tersebut dengan makna filosofinya yang adiluhung.
            Saat sekarang, tembang “Ilir-ilir” dapat didendangkan dengan berbagai cara, model, gaya, atau cengkok dengan iringan alat musik modern ataupun tradisional. Sudah tidak mengherankan tembang “Ilir-ilir” didendangkan dengan iringan musik taradisional gamelan Jawa. Di kalangan pondok pesantren, tembang “Ilir-ilir” dipadukan dengan salawat badar dan diiringi oleh alat musik rebana. Iramanya pun dapat dibuat kasidahan, irama padang pasir, atau gaya musik Arab, seperti yang dilakukan oleh Emha Ainun Nadjib dengan kelompok Kyai Kanjeng dan Hamas, serta para santri dari Pondok Pesantren As-Salafiyyah Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Beberapa penyanyi Jawa, di antaranya Didi Kempot dan Eny Sagita, menyanyikan tembang “Ilir-ilir” dengan iringan campursari. Masih ada penyanyi-penyanyi Jawa lainnya yang mendendangkan tembang “Ilir-ilir” dengan iringan alat musik lain, seperti dengan siter, orgen, piano, biola, angklung, gendang, suling, dan gitar sekalipun. Hal ini dapat dibuktikan ketika membuka internet, lalu mengeklik You Tube, mengetik “lir-ilir” atau “ilir-ilir”, begitu di klik lalu bermunculan tajuk-tajuk video yang mengunggahkan kelompok seni dengan berbagai ragam musik yang mendendangkan tembang “Ilir-ilir”. Kalau ingin MP3-nya, juga ada beberapa kelompok seni yang mendendangkan tembang “Ilir-ilir” tersebut, dan kita tinggal unduh saja, lalu menikmatinya.
Judul, batasan, teks, dan ulasan sekadarnya tentang tembang “Ilir-ilir” juga dapat kita temukan dalam blog-blog atau situs-situs dunia maya. Begitu kita membuka “Google” lalu mengetik “ilir-ilir” akan bermunculan nama-nama blog dan situs yang mengunggahkan tentang tembang “ilir-ilir” tersebut. Meskipun kita temukan banyak blog dan situs dalam dunia maya yang mengunggahkan tentang tembang “Ilir-ilir”, tampaknya satu dengan yang lainnya hampir sama, tidak jauh berbeda, bahkan cuma kopi paste dari satu blog ke blog lainnya. Selain di dunia maya, di dunia buku atau penerbitan juga banyak kita temukan judul, batasan, teks tembang, dan ulasan yang memuat tentang tembang “Ilir-ilir”, antara lain buku karya:
  • Banoe (2003),
  • Basral (2010),
  • Chodjim (2003),
  • Harto (2003),
  • Idrus (1995),
  • Mulyani (2005),
  • Mulyono (1978),
  • Nadia (2002), Nadjib (1999),
  • Paradise (2009),
  • Purwadi (2005 dan 2009),
  • Setiawan (2003 dan 2004),
  • Sulaiman (2009),
  • Supadjar (1993), Sylado (2008),
  • Tim Media Pusindo (2008),
  • Utomo (2007), dan
  • Wiratmoko (2000).
Buku-buku yang memuat perihal tembang “Ilir-ilir” tersebut ada yang berjenis kamus, ensplopedia anak, cerita rakyat, novel remaja, kumpulan tembang daerah, bagian dari kisah Sunan Kalidjaga, pembahasan dunia wayang, dan ulasan khusus tentang ajaran Sunan Kalidjaga. Jadi, penyebarluasan tembang “Ilir-ilir” ini tidak terbatas untuk konsumsi anak-anak dan dunia Jawa, tetapi juga meluas untuk kalangan remaja, orang tua, dan tersebar ke seluruh dunia. Judul, batasan, teks tembang, dan ulasan tentang tembang “Ilir-ilir” dapat dibaca, dilihat, diakses, diunduh, dan didengarkan melalui dunia maya atau penyebarluasan yang terekam dalam kaset, cakram padat, plisdis, dan hardis komputer.

4. Keadiluhungan Tembang “Ilir-Ilir”
Kata adiluhung merupakan dua kata sifat yang dirangkai untuk suatu nilai kegunaan sehingga kata adiluhung diartikan: nduweni kagunan utawa mutu sing dhuwur; luwih dhuwur >mempunyai kelebihan atau kualitas tinggi; lebih tinggi= (Sudaryanto, 2001:6). Pemakaian adiluhung lebih cenderung untuk menilai atau mengapresiasi sesuatu hal dari kandungan makna atau isinya. Jadi, tembang “Ilir-ilir” yang diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalidjaga, salah seorang wali sanga terkemuka di tanah Jawa, semasa abad XV—XVI Masehi, tentu memiliki nilai keadiluhungan sebagai kearifan budaya (cultural wisdom). Tembang ini digunakan sebagai sarana berdakwah bagi Sunan Kalidjaga dalam rangka menyebarkan agama Islam di pulau Jawa pada masa itu. Mengingat masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya adalah masyarakat agraris, petani, dan masih dipengaruhi kuat oleh budaya lama (seperti Animisme, Dinamisme, Hindhu, Budha, dan kepercayaan lainnya), maka tembang dolanan anak-anak itu dibuatlah melalui simbol-simbol masyarakat agraris di pedalaman Pulau Jawa. Agar lebih jelas makna filosofi dari tembang “Ilir-ilir” yang memuat nilai keadiluhungan sebagai kearifan budaya tersebut kurang lebih sebagai berikut.

Iir ilir lir ilir “Bangun, bangun, bangunlah, bangun” atau juga dapat diterjemahkan menjadi “Sadar, sadar, sadarlah, sadar”. Kanjeng Sunan Kalidjaga mengajak kita agar bangun (sadar) dari kelelapan tidur panjang, segeralah sadar akan tugas dan kewajiban kita hidup di dunia ini, tidak hanya tidur saja. Tidur dalam arti hanya mengurus duniawi saja. Setelah bangun dan sadar (eling), segeralah mencari dan menemukan pencerahan sinar cahaya Tuhan. Maknanya, setelah engkau sadar, segeralah berbakti, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, salah satunya diwujudkan dalam bentuk melakukan zikir dan bersembahyang, salat lima waktu, sesuai dengan perintah agama.
Tandure wis sumilir “Tanamannya sudah semburat bersemi”. Biasanya orang Jawa yang agraris itu menanam padi di sawah atau ladang. Kini, tanaman padi itu sudah tampak semburat bersemi. Ibarat suatu tanaman padi yang sudah semburat bersemi tersebut, kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Mahakusa sudah mulai tumbuh semburat bersemi. Oleh karena itu, lanjutkan dan tetap terus pelihara cahaya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan yang Mahakuasa itu agar tetap menyala terus, api iman agar semakin lama semakin bercahaya terang benderang untuk menerangi jalan hidup kita dari pondok dunia hingga sampai ke istana akhirat.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar “Tanaman padi tersebut sudah semburat tampak menghijau berseri laksana pengantin baru”. Sebagaimana halnya seorang pengantin baru, tentu tampak indah, senang, bahagia, dan berseri-seri. Seorang yang telah sadar, penuh kebaktian kepada Tuhan yang Mahakuasa, diperkokoh dengan iman yang bulat, serta takwa yang berusaha teguh memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, tentu hidupnya akan tampak indah, bahagia, dan berseri-seri seperti pengantin baru yang senantiasa penuh kasih sayang dapat mengasyikan sekali. Apalagi suasananya masih dalam bulan madu, tentu sangat membahagiakan. Demikian halnya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa dilandasi rasa kasih sayang kepada sesama umat, tentu sangat membahagiakan.
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi. “Wahai, anak-anak pengembala, tolonglah panjatkan pohon blimbing itu”. Biasanya di ladang atau di sawah, selain ditanami padi, juga ditanami pohon-pohonan sebagai peneduh di kala terik panas matahari yang menyengat bumi. Salah satu pohon yang ada di dekat pematang sawah atau ladang itu adalah pohon belimbing. Ketika seorang petani yang tengah berada di sawahnya melihat beberapa gembala, biasanya menggembalakan sapi, kerbau, atau kambing sebagai binatang piaraan petani, sang petani tersebut meminta bantuan para gembala itu untuk memanjatkan pohon belimbing, lalu memetik buahnya. Ada dua jenis belimbing, yaitu belimbing manis (yang enak dan segar rasanya, dapat sebagai pelepas dahaga) dan belimbing wuluh (belimbing sayur yang hijau dan masam rasanya). Buah belimbing manis rupanya kuning keemasan berlingir (seperti lekuk bintang) lima, tetapi permukaannya licin. Hal ini secara semiotis melambangkan lima watak utama yang harus dimiliki manusia agar dapat menyempurnakan kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Lima watak keutamaan (pancasila) adalah: rila (ridla, rela), narima (qanaah, tawakal, dan senantiasa bersyukur), temen (al-shidqu, jujur, menepati janji), sabar (shabr, momot), dan budi luhur (al-akhlaq al-karimah, berbudi pekerti mulia). Sementra itu, belimbing wuluh yang rasanya asam hanya dapat menjadi enak setelah dimasak buat sayur asam. Tentu hal ini juga menyiratkan makna agar kelima watak utama tersebut, meskipun getir dan asam rasanya, tetaplah harus dapat diolah sedemikian rupa sehingga nanti dapat menjadi enak dirasakannya. Jadi, agar sempurna baktimu, sadarmu, imanmu, dan takwamu kepada Tuhan Yang Mahakuasa, harusalah melaksanakan watak utama lima hal di atas.
Lunyu-lunyu peneken kanggo masuh dodotira “Biarpun licin, tetap panjatlah, untuk mencuci pakaianmu”. Setelah diguyur hujan, pohon belimbing tersebut begitu licin. Namun, tetaplah panjat dan petiklah buahnya untuk mencuci pakaian agar bersih suci. Buah belimbing pada zaman dahulu, sebelum ditemukan sabun, dapat digunakan untuk mencuci atau membersihkan pakaian. Kata “dodot” yang arti harfiahnya “pakaian” atau “kain”, sebagai lambang busana dan hati manusia. Busana atau lambang lahiriah kewadakan manusia dapat dicuci bersih dengan menggunakan air yang bersabunkan belimbing. Akan tetapi, hati atau jiwa manusia agar bersih mencapai kesucian, haruslah dicuci dengan cara revolusi jiwa, yaitu mengubah watak atau pekerti, dari angkara murka, malas, dengki, iri, pendendam, tamak, loba, dan aniaya, menjadi watak atau pekerti manusia yang tulus ikhlas (rila legawa), senantiasa bersyukur dan tawakal (narima), sabar menghadapi berbagai cobaan dan tidak pemarah (momot), jujur dan selalu menepati janji (temen), serta kasih sayang kepada sesama umat dengan memirip-miripi sifat Tuhan (budi luhur). Hanya dengan kesucian inilah bekal manusia untuk dapat menghadap ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa di tahta suci, pusat hati sanubari (Kalbhu mukmin Baitullah).
Dodotira kumitir bedhah pinggire/dondomana, jlumatana,/kanggo seba mengko sore “Pakaianmu berketai-ketai (sobek kecil-kecil) pada pinggirnya, jahitlah, jerumatlah, agar dapat dipakai menghadap nanti sore”. Secara semiotis menyiratkan makna bahwa pakaian (dodot) selain sebagai perumpamaan hati, juga menjadi lambang kepercayaan (agama) kepada Allah. “Kang tumrap neng tanah Jawa/ Agama ageming aji” (Mangkunegara IV) yang oleh Soehadha (2008) diartikan sebagai “Orang Jawa memaknai agama”. Pakaian yang robek pinggirnya, agar pantas dipakainya, hendaklah harus dijahit atau dijerumat supaya utuh kembali. Hal ini mengandung makna bahwa kepercayaan (iman, agama) kita kepada Allah haruslah tetap utuh (bulat), hendaklah dijaga agar jangan sampai surut, robek, gempil, atau sompel. Sesungguhnya orang yang telah berbakti, sadar, iman, dan takwa kepada Allah dan sudah suci hatinya, bilamana iman dan takwanya tersebut goncang, menipis, dan masih lobang-lobang, sobek kecil-kecil bagain pinggir, berarti orang tersebut belumlah sempurna kesucian melaksanakan agamanya. Sebab, busana atau pakaiannya belum lengkap atau belum utuh untuk dapat dipakainya menghadap ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Kata “mengko sore” sebagai penanda waktu bahwa ajal kematian kita sudah dekat. Oleh karenanya, sungguh pun belum tahu kapan kita dipanggil kembali ke hadirat Tuhan, setiap manusia harus sudah siap sedia sewaktu-waktu menerima panggilan Tuhan.
Mumpung gedhe rembulane/ Mumpung jembar kalangane ”Senyampang besar rembulannya, senyampang luas lingkarannya”. Pada waktu malam hari ketika terang bulan, bulan purnama raya, tampak sinar bulan begitu terang dan lingkaranya besar dan luas sekali. Hal ini bermakna untuk memberi pesan, berisi peringatan, agar para hamba (siapa pun) janganlah menunda-nunda waktu, selagi masih muda, senyampang masih sehat wal afiat, gagah perkasa, dan mumpung masih mempunyai waktu panjang, masih ada kesempatan, bergegas-gegasalah atau bersiapsiaga mengenakan busana kesucian untuk menghadap, sewaktu-waktu, kapan pun dipanggil ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Sebab, jikalau sudah terlanjur tua renta, jompo, sakit-sakitan, dan pikun, mustahil dapat mengenakan busana kesucian serta membina kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kepada Allah secara baik dan benar. Ya, senyampang masih ada kesempatan kenapa tidak kita manfaatkan secara baik untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kafilah di bumi.
Ya suraka … surak … hore… “Ayo bersorak soraklah bergembira”. Hal ini menggambarkan perasaan, senang, bergembira ria, bahagia, dan juga bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa bahwa kita mampu mengenakan busana delapan watak keutamaan (eling, pracaya, mituhu, rila, sabar, narima, temen, lan budi luhur), menaati sabda Allah, menjauhi semua larangan-Nya, dan akhirnya memasuki Taman Kemulian Abadi, kembali bertunggal dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Kebahagiaan yang tiada taranya apabila setiap hamba dapat kembali ke hadirat Tuhan secara pratitis. Asal dari Allah yang suci kembali kepada Allah juga dengan kesucian. 

5. Pembentukan Pekerti Bangsa
            Menginghat betapa agung dan mulianya kandungan makna tembang “Ilir-ilir” karya Sunan Kalidjaga tersebut sekiranya dapat dipakai sebagai sumber pembentukan pekerti bangsa. Sebagaimana telah disampaikan dalam bab pendahuluan di atas bahwa kondisi dan situasi pekerti bangsa Indonesia sekarang berada di titik nadir: sikap hidup pragmatis, brutal, mudah emosional, pembohong, dan selalu berkeluh kesah. Oleh karenanya, pekerti bangsa yang demikian rendah itu perlu dibenahi, dibentuk kembali, dengan cara meneladan kearifan Sunan Kalidjaga dan mengaplikasikan dalam tindakan (laku) apa yang menjadi wejangannya yang tersirat dan yang tersurat dalam tembang “Ilir-ilir”.
Kata pekerti berarti ‘perangai’; ‘tabiat’; ‘akhlak’’ ‘watak’ (KBBI, 2001:843). Arti kata perangai ialah:
  1. ‘sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan perbuatan’, ‘watak’;
  2. ‘cara berbuat’, ‘tingkah laku’, ‘kelakuan’; dan
  3. ‘cara khas seseorang dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena’ (KBBI, 2001: 855).
Atas dasar pemahaman makna pekerti tersebut bahwa ‘perangai’ ‘tabiat’ ‘akhlak’ ‘watak’ bangsa yang kurang baik, haruslah diolah, dididik, dan dilatih (digulawenthah) agar menjadi watak budi pekerti luhur, mulia, beradab, dan bermatabat.
Dari mana memulai dan bagaimana caranya? Secara jelas Kanjeng Sunan Kalidjaga telah memberi teladan dalam sejarah kehidupannya. Sebelum Beliau bertemu dengan Sunan Bonang, perangainya boleh dibilang kurang baik dan sesat. Namun, setelah pertemuannya dengan Sunan Bonang itu Raden Sahid mau dan mampu mengubah watak atau perangainya menjadi wali yang saleh: temen, sabar, narima, rila, dan budi luhur. Agar bangsa Indonesia memiliki pekerti yang luhur dan mulia, setiap orang harus berkemauan dan berkemampuan mengolah pekertinya yang didahului dengan mengerti akan hal ajaran keutamaan, lalu melaksanakan ajaran keutamaan itu, dan kemudian diikuti dengan senantiasa mendekat kepada Tuhan Yang Maha Esa (laku hidup: mangerti, makarti, pakarti, mastuti ing Widhi).

Melalui tembang “Ilir-ilir” Kanjeng Sunan Kalidjaga memberi wejangan bahwa yang pertama dilakukan adalah menggugah atau membangunkan jiwa manusia agar sadar akan tugas dan kewajiban sebagai kafilah di bumi (Ilir-ilir ilir-ilir). Jiwa yang telah sadar berarti mengerti akan tugas dan kewajiban hidupnya untuk memayu hayuning bawana. Untuk melaksanakan tindak kerja memayu hayuning bawana itu manusia harus memahami benar falsafah hidup petani dalam menanam padi (Tandure wis sumilir/ Tak ijo royo-royo/ tak sengguh penganten anyar). Petani hanya dapat menuai padi setelah dia bermandikan keringat, membajak dan menggaru sawahnya, serta menyebar benih, selanjutnya menjaga agar benih yang telah disebar itu selamat, tidak mengeluh maupun susah tertimpa hujan dan terik matahari, dengan sabar menantikan padi itu semburat, menguning, dan masak. Hasil pengorbanan petani adalah panen padi yang memberi manfaat (Mertowardojo, 1960: 24).

Perumpamaan falsafah hidup petani dalam tembang “Ilir-ilir” dapat digunakan sebagai cara mengolah pekerti bangsa agar menjadi bangsa yang berbudi mulia, beradab, dan bermartabat. Memang sebagian dari kodrat pekerti manusia itu cenderung pada kejahatan. Akan tetapi, terlaksannya hingga menjadi perbuatan itu juga bergantung pada angan-angannya. Apabila angan-angannya dapat mengendalikan diri, perbuatkan yang menuju ke arah kejahatan dapat dicegahnya. Andaikata pekerti manusia itu sebagai sawah ladang petani, maka angan-angan itu sebagai peranti untuk mengolahnya. Sebagai bajaknya adalah rila, garunya temen, pupuknya sabar lan narima, dan air yang digunakan menyiraminya adalah eling, pracaya, dan mituhu. Sarana pemeliharaannya agar tanaman padi dapat semburat menguning hingga panen, tidak dimakan hama, adalah dengan menyingkiri Paliwara (larangan Tuhan). Oleh karena itu, “Cah angon cah angon/ penekna blimbing kuwi/ Lunyu-lunyu peneken kanggo masuh dodotira”. Meskipun mengolah pekerti itu susahnya bukan main, licin, tetaplah kerjakan untuk dapat menyucikan diri kita.
Kebersahajaan petani dapat dicontohnya meski hanya dengan dodot (kain) yang telah sobek kecil-kecil di pinggirnya. Kain yang tidak lagi utuh dan baru itu dapat dijahit dan dijerumat lagi serta dicucinya hingga bersih untuk dapat digunakan menghadap atasan nanti sewaktu-waktu dipanggil (Dodotira kumitir bedhah pinggire/dondomana, jlumatana,/kanggo seba mengko sore). Oleh karena itu, pekerti bangsa harus dapat dibiasakan dengan hidup bersahaja, berhemat, dan tidak foya-foya dengan harta yang dimilikinya. Manfaatkan waktu dan kesempatan dengan sebaik-baiknya guna berbuat kebajikan, kasih sayang kepada sesama makhluk (Mumpung gedhe rembulane/ Mumpung jembar kalangane). Apabila falsafah tembang “Ilir-ilir” dapat dilaksanakan sebagai sumber kearifan pembentukan pekerti bangsa yang beradab, bermartabat, dan berbudi luhur sehingga kelak bangsa Indonesia mencapai puncak kejayaan dunia, tentu semua akan merasa senang, bangga, dan bahagia (Ya suraka … surak … hore…). Jadi, tembang “Ilir-ilir” sebagai sumber kearifan dalam pembentukan pekerti bangsa agar dapat menjadi bangsa yang berbudi luhur, beradab, dan bermartabat itu dapat terlaksana apabila ada kemauan dan kemampaun melaksanakan secara sungguh-sungguh.

6. Simpulan
            Tembang “Ilir-ilir” yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Kalidjaga pada seputar abad XV—XVI Masehi itu tidak hanya sekadar tembang dolanan yang menyenangkan dan menghibur, tetapi juga berisi petuah atau wejangan hidup untuk senantiasa mengolah budi pekerti agar mencapai kesempurnaan. Pengolahan budi pekerti bangsa, juga pekerti diri manusia sendiri, disimbolkan dengan dengan kehidupan petani. Hal ini mengingat masyarakat Jawa adalah masyarakat agraris yang hidup bersahaja dan penuh kesabaran mengolah sawah ladangnya hingga mencapai panen padi yang bermanfaat bagi orang banyak. Pekerti bangsa itu ibarat sawah dan ladang petani yang harus diolah, seperti dibajak, diluku, disebari benih, diairi, dipupuk, disiangi, dan dijaga agar tanaman padi itu tumbuh subur dan padi dapat dipanen beguna bagi masyarakat. Demikian halnya dengan pekerti bangsa haruslah diolah setiap harinya untuk senantiasa dapat melaksanakan delapan watak keutamaan: eling, pracaya, mituhu, rila, narima, sabar, temen, dan budi luhur. Pengolahan delapan watak keutamaan ini ibarat jamu yang pahit rasanya, yang hanya dapat diminum oleh mereka yang teguh budinya dan yang percaya bahwa jamu itu dapat meyembuhkan penyakit. Oleh karena itu, mudah dan sukarnya menetapi makna ajaran delapan watak keutamaan itu hanya bergantung pada yang menjalaninya, apakah berdasarkan keteguhan hati ataukah hanya seenaknya saja.

DAFTAR PUSTAKA

Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius.
Basral, Akmal Nasery. 2010. Sang Pencerah. Jakarta: Mizan Pustaka.
Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalidjaga. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
de Jong, S. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Harto, Mas. 2003. Petualangan Si Gun 2. Cetakan kedua 2007. Depok: Gema Insani.
Idrus, H.A. 1995, Kitab Asrar Walisanga. Jakarta: Bahagia.
Mertowardojo, Soenarto. 1954. Sasangka Jati. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
---------- 1960. Bawa Raos Ing Salebiting Raos. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
---------- 1964. Taman Kamulyan Langgeng. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
Mulyani, Intan. 2005. Nyeni Tuh Kayak Gini, Lho!. Bandung: DAR Mizan.
Mulyono, Sri. 1978. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung.
Nadia, Asma. 2002. Derai Sunyi. Bandung: DAR Mizan.
Nadjib, Emha Ainun, dan Haydar Yahya, Ahmad Fuad Effendy. 1999. Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia. Jakarta: Hamas.
Paradise, Gendhis. 2009. Ensklopedia Seni dan Budaya Nusantara. Jakarta: Kawan Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsi-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purwadi. 2005. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
---------- 2009. “Kisah Sunan Kalidjaga” dalam Sejarah Walisanga. Yogyakarta: Ragam Media.
Santosa, Puji. 1993. AKidung Rumeksa Ing Wengi@ dalam Jaya Basa Nomor 20B23 Tahun ke-47, tanggal 17, 24, 31 Januari dan 7 Februari 1993: 18.
---------- 2009. “Dua Kidung dalam Perbandingan” dalam Pangsura: Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara. Bilangan 28. Jilid 15. Januari—Juni 2009: 39—55. Hersri. 2003. Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press.
---------- 2004. Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera.
Soehadha, M. 2008. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sudaryanto, et al., 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa dan Yayasan Kantil.
Sulaiman, Tasirun. 2009. Wisdom of Gontor. Bandung: Mizania.
Damarjati. 1993. Nawangsari. Yogyakarta: Media Widya Mandala.
Sylado, Remy. 2008. Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Surakarta: Tiga Serangkai.
Tim Media Pusindo. 2008. Kumpulan Lagu Daerah: Persembahan untuk Indonesiaku. Jakarta: Niaga Swadaya.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka.
Utomo, Sutrisno Sastra. 2007. Kamus Lengkap Jawa—Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Wiratmoko, Y.B. 2000. Cerita Rakyat dari Ngawi (Jawa Timur). Jakarta: Grasindo.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons