Cari Blog Ini

Minggu, 26 Februari 2012

Membangun Karakter Bangsa Lewat Sejarah (Refleksi 65 Tahun Pengajaran Sejarah di Indonesia)


Membangun Karakter Bangsa Lewat Sejarah
(Refleksi 65 Tahun Pengajaran Sejarah di Indonesia)
Oleh: Abdul Syukur
Dosen Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Abstraksi

Pada tahun 2010 Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia menetapkan pembangunan karakter bangsa menjadi program pendidikan nasional untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan akibat krisis multidimensi yang masih berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan hasil penelitian awal ternyata pembangunan karakter bangsa bukan merupakan program baru karena sudah dicanangkan sejak tahun 1945. Saat itu pemerintah membutuhkan sebuah definisi baru tentang identitas nasional yang mempunyai karakter sebagai bangsa merdeka dan berdaulat. Karakter ini menggantikan karakter lama yang dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda, yakni bangsa terjajah dan tidak berdaulat. Proses pergantian karakter ini dilakukan dengan memanfaatkan pengajaran sejarah Namun kepercayaan yang tinggi terhadap pengajaran sejarah sebagai media pembangun karakter bangsa semakin menurun, terutama setelah runtuhnya pemerintah Orde Baru pada 21 Mei 1998. Semangat reformasi mendorong cara baru dalam memandang masa lalu yang mengkritisi cara pandang lama sehingga menggoyahkan kredibiltas pengajaran sejarah di sekolah.
Tulisan ini bermaksud melakukan refleksi terhadap bentuk karakter bangsa yang dihasilkan pengajaran sejarah dari tahun 1945 hingga tahun 2010. Karakter bangsa apakah yang terbentuk melalui pengajaran sejarah selama 65 tahun? Untuk memahaminya, maka harus dilakukan studi banding terhadap kebijakan pemerintah menempatkan pengajaran sejarah dalam strategi pembangunannya.

Para pendiri negara Republik Indonesia mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan pengajaran sejarah dalam membangun karakter bangsa merdeka. Hal ini dapat dibuktikan dengan penerbitan UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia yang diterbitkan pertama kali pada 2 April 1950 oleh pemerintah negara bagian Republik Indonesia dan diberlakukan kembali pada 12 Maret 1954 sebagai UU No. 12 tahun 1954 oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penjelasan umum ditegaskan bahwa pendidikan dan pengajaran yang akan dibangun bersifat nasional, yakni berdasarkan kebudayaan nasional Indonesia. Pendidikan jang bersifat nasional dan bersandarkan kebudajaan sendiri itu, harus dengan keinsjafan bermaksud menjadi perisai terhadap bahaya cultural bondage, jang pernah dialami bangsa kita dalam zaman colonial jang tak kita ingini kembali lagi itu. Karena itu dalam pendidikan dan pengdjaran di Republik Indonesia diutamakan sifat nasional dalam arti, bahwa pendidikan jang demikian pengadjaran sedjarah akan mendjadi pengadjaran jang penting sekali (penebalan dari penulis).
Perhatian yang besar terhadap pengajaran sejarah tidak hanya diperlihatkan oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Atas inisiatif pribadi, mereka menerbitkan buku-buku pengajaran sejarah, termasuk di antaranya para guru sejarah yang tidak puas dengan buku-buku pelajaran sejarah yang dterbitkan oleh Kementerian Pendidikan. Buku-buku mereka berawal dari diktat untuk keperluan pengajaran sejarah di kelas dan hanya membahas secara garis besar saja dari sejarah bangsa Indonesia. Kecenderungan ini dapat dilihat dari judul buku seperti Ichtisar Sedjarah Indonesia, Inti-sari Sedjarah Indonesia atau Pokok-pokok Sedjarah Indonesia. Di samping itu terbit pula buku-buku pengajaran sejarah yang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah seperti Zaman Dahulu, Sekarang dan Jang Akan Datang: Buku Peldajarn Ilmu untuk sekolah dasar karya M. Kasim dan Oejeng S. Gana yang terdiri dari tiga jilid atau tulisan Soendoro, Sedjarah Indonesia untuk sekolah lanjutan.
Banyaknya jumlah dan jenis buku sejarah itu memunculkan kekacauan di bidang pelajaran sejarah di sekolah-sekolah maupun di kalangan masyarakat umum. Kekacauan tersebut terutama timbul karena buku-buku sejarah itu pada umumnya menggunakan smber yang sama, yaitu karya Dr.F.W. Stapel yang diterbitkan pada tahun 1939. Karena itu, timbul permasalahan: apakah sejarah Indonesia dan sejarah Hindia Belanda pada dasarnya sama –apakah sejarah Indonesia hanya merupakan antithesis sejarah Hindia Belanda?
Jelaslah bahwa kekacauan itu tidak mendukung pemupukan semangat kebangsaan di bidang pendidikan.1
Kementerian pendidikan tidak berdaya untuk melarang penerbitan buku-buku pengajaran sejarah yang rendah mutunya dan tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan di sekolah. Ada dua langkah penting yang dilakukan kementerian untuk mengatasi kekacauan pengajaran sejarah. Pertama, membenahi materi pengajaran sejarah untuk para calon guru sekolah dasar maupun lanjutan. Ini merupakan suatu langkah yang cukup tepat karena para guru akan menyebarkan pemahaman sejarah yang sesuai dengan semangat kebangsaan (juga kepentingan politik pemerintah) kepada para murid. Pada saat itu, para calon guru diharuskan mengikuti pendidikan di Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru yang dikelola oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia). Di antara materi pengajaran yang diajarkan adalah pengajaran sejarah. Untuk keperluan itulah kementerian pendidikan menerbitkan buku Sedjarah Nasional secara berseri yang terdiri dari 20 jilid. Buku ini menggunakan sejarah Indonesia sebagai alat bagi pendidikan nasional dan bertujuan untuk mendidik para calon guru untuk membebaskan diri dari dunia feodal.2 Pengarang buku ini menjadikan feodalisme sebagai musuh utama yang harus dihapuskan melalui pengajaran sejarah. Menurutnya ada empat alasan menghapus dunia feudal: alam feudal masih merajalela di Indonesia, feodalisme sebagai system dimodernisasikan pemerintah kolonial Hindia Belanda, feodalisme menghambat demokrasi, dan feodalisme mengadakan persekutuan dengan kolonialisme modern.
Manusia demokratis hanya mungkin tercipta apabila feodalisme dalam bentuk-bentuknya sudah lenyap. Maka oleh sebab itu, teranglah bahwa pelajaran sejarah mempunyai fungsi istimewa dalam soal ini….
Sekolah Guru (SG) adalah suatu bentuk pendidikan yang semata-mata menuju kearah pembentukan guru-rakyat yang sadar tentang tugasnya sebagai paedagoog-patriot. Semestinya fungsi pelajaran sejarah di SG ialah: memberikan pengertian tentang pasang surut alam feudal di Indonesia (dan di dunia) sehingga pelajar dapat mengatasi kesukaran-kesukaran di dalam pribadinya yang timbul karena adanya alam feudal di samping alam modern, sehingga pelajar dapat menunaikan kewajibannya sebagai guru nasional dengan sempurna.3
Secara tegas buku ini mengritisi pengajaran sejarah politik dan sejarah perang, dan mengajnurkan penekanan aspek sosial dalam sejarah nasional. Menurutnya bahwa penghambat utama perjuangan bangsa Indonesia adalah agrar-feodalismus-kolonialismus. Langkah kedua yang dilakukan kementerian pendidikan adalah menyusun buku sejarah nasional. Untuk keperluan inilah kementerian pendidikan membentuk Panitia Sejarah Nasional pada tahun 1951. Keanggotaan panitia ini terdiri dari para sejarawan Indonesia dan Beanda yang bekerja di Unversitas Indonesia dan Dinas Purbakala. Namun panitia gagal menyelesaikan tugasnya. Usaha menyusun buku sejarah nasional dilanjutkan lagi setelah terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 1955, yakni dengan menyelenggarakan seminar sejarah nasional. Penggagasnya adalah Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto. Ia terinspirasi penyelenggaraan Seminar Ilmu dan Kebudayaan pada tanggal 25-30 Juni 1956. Gagasannyao dibahas oleh kementerian pendidikan bersama tiga perguruan tinggi di Pulau Jawa yaitu Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, dan Universitas Airlangga di Surabaya.
Karena itu semua maka saja pinta perhatian dari Universitas agar dengan djalan seminar dapat dibahas sedalam dalamnja peladjaran sedjarah, terutama sedjarah nasional (babad, sedjarah umum, sedjarah kebudajaan, sedjarah ekonomi, sedjarah pergerakan, sedjarah revolusi).”4
Sarino tidak sempat melaksanakan gagasannya karena jabatannya sebagai Menteri PPK digantikan oleh Prof. Dr. Prijono, ketua panitia penyusunan buku sejarah nasional tahun 1951. Ia merealisasikan gagasan Sarino mengadakan Seminar Sejarah Nasional.
“Initiatief itu saja oper, bukan hanja oleh karena saja harus mendjaga continuiteit politk Pemerintah, akan tetapi oleh karena idĆ©e jang menimbulkan initiatief itu saja setudjui 100%. Saja memang sependapat dengan Sdr. Sarino Mangunpranoto, bahwa peladjaran Sedjarah Nasional jang dasar2nja dan tjara2nya akan Saudara2 letakkan dalam Seminar ini, adalah salah suatu alat jang terpenting untuk menumbuhkan atau mempertebal nasionalisme dan patriotism, tjinta kepada bangsa dan tjinta kepada tanah-air.”5
Prijono dan Sarino mengeluhkan kualitas buku-buku sejarah Indonesia, khususnya yang digunakan sebagai materi pengajaran sejarah di sekolah-sekolah. Menurut penilaian Ketua Panitia Sejarah Nasional Prof. Dr. Sardjito bahwa buku sejarah di sekolah-sekolah pada umumnya bersifat kronologis dan bercorak geografis-politis karena hanya berisi peperangan dan bentrokan dari negara-negara tetangga atau golongan-golongan suku bangsa satu sama yang lain.6 Secara khusus Sarino mengungkapkan pengalaman pribadi yang mendorongnya untuk menggagas seminar sejarah. .
“Saja membatja buku2 tentang sedjarah mengenai pertumbuhan bangsa Indonesia, bermatjam matjam tjorak dan ragamnja. Ada jang berbentuk sekumpulan dari pada tahun ke tahun dan nama2 orang. Ada jang berbentuk dokumentasi menurut wadjarnja. Ada jang berbentuk fantasi dan romatiek dari penulisnja.7
Keluhan serupa dikemukakan pula oleh Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku tuan rumah seminar.
Kita tahu bahwa sedjarah Indonesia jang disusun sampai sekarang pada umumnja masih mempergunakan buku2 dan tulisan-tulisan jang berasal dari penulis-penulis pendjajah Belanda, padahal disamping kita harus mengakui bahwa diantara mereka ada jang berusaha menulisnja setjara objektief, akan tetapi pada umumnja pendjadjah Belanda itu mentjiptakan sedjarah Indonesia tidak lepas dari maksud politiknja, sehingga sedjarah Indonesia dibikin sedemikian rupa agar dapat menguntungkan bagi tudjuan politik mereka.8
Tudingan bahwa pengajaran sejarah pada masa kolonial bermuatan kepentingan politik dipertegas oleh Ketua Panitia Seminar Sejarah Nasional Prof. Dr. Sardjito.
Kita semua mengetahui betapa besarnja peranan dan pengetahuan perihal sedjarah terhadap pertumbuhan djiwa kita…
Didalam djaman kolonial, Belanda menginsjafi benar2 hal ini, dari itu disekolah2 rakjat tidak diperbolehkan adanja peladjaran sedjarah, sedang disekolah menengah mata peladjaran sedjarah jang diberikan itu bertjorak sedjarah negeri Belanda…….
Dengan ini benih2 jang meratjuni djiwa kita, dapat bertumbuh subur, sampai kita dapat perasaan minderwaardigheids-complex, perasaan kurang harga diri, merasa takut, lemah, dan kurang pinter bila kita menghadapi bangsa lain.
Komplex jang djelek ini sebegitu mendalam melekatnja didalam djiwa kita, sampai sering-sering masih terlihat djuga di djaman merdeka sekarang ini, meskipun djiwa kita sudah ditjutji oleh revolusi jang hebat, jang mulai 12 tahun jang lampau.
Sardjito memberikan contoh pengaruh negatif pengajaran sejarah bercorak sejarah negeri Belanda tersebut yakni banyaknya generas muda Indonesia yang mendewa-dewakan pahlawan-pahlawan Belanda, dan tidak menghagai pahlawan bangsanya sendiri seperti Imam Bonjol dari Pulau Sumatera dan Pangeran Dipenogoro dari Pulau Jawa. Ia memaklumi fenomena ini “karena dibuku sedjarah itu pahlawan2 kita memang ditjap sebagai opstandeling, pemberontak.”9
Djadi pengalaman jang sangat pahit ini kita pakai sebagai tjermin dan kita akan mentjari djalan untuk dapat menjalurkan perkembangan djiwa pemuda kita kearah kebudajaan nasional Indonesia, dengan berpengangan pada sedjarah Indonesia jang bertjorak nasional.
Oleh karena itu Seminar Sedjarah ini dimaksudkan sebagai langkah pertama untuk mendapatan bahan2 guna sedjarah Indonesia baru, jang bercorak nasional dan jang setjara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. 10
Berdasarkan penjelasan Sardjito tersebut bahwa tujuan penyelenggaraan seminar adalah memperkuat sejarah yang bercorak nasional dan bersifat ilmiah. Pemanfaatan sejarah sebagai alat indoktrinasi oleh pemerintah pendudukan telah menghilangkan sifat ilmiah sejarah yang bercorak nasional karena sejarah yang bercorak nasional hanyalah sebuah antitesa sejarah yang bercorak Belanda. Antitesa ini dilakukan akibat tekanan pemerintah pendudukan dan kekurangan tenaga ahli di bidang sejarah. Pada umumnya mereka yang terlibat dalam kegiatan perumusan sejarah yang bercorak nasional tidak mempunyai latar belakang pendidikan sejarah. Mereka umumnya mendapatkan pengetahuan sejarah di sekolah menengah AMS Jurusan Sastra Timur seperti Muhammad Yamin, Prijono, dan Sanusi Pane. Di antara mereka, Yamin adalah perumus utama landasan filosofis sejarah yang bersifat nasional. Ia menjadi pembicara utama dalam Seminar Sejarah Nasional yang pertama pada tahun 1957.
Dalam malakahnya, Yamin mengartikan filsafah sejarah nasional adalah kebulatan pikiran filosofi terhadap sejarah nasional Indonesia. Keberadaanya sangat diperlukan agar penulisan sejarah Indonesia mempunyai sendi yang berdasarkan alam pikiran bangsa Indonesia untuk menyusun kemabli sejarahnya setelah kemerdekaan nasional tercapai pada tahun 1945. Oleh karena itu filsafah sejarah Indonesia berkaitan dengan filsafat nasional Pancasila.11
Pemusatan fikiran kepada segala kedjadian sedjarah Indonesia dalam hubungan umum, sehingga terbentuklah filsafah-sedjarah nasional jang mempunjai empat tiang atau empat sila jang mendukung filsafah-sedjarah nasional itu.
Adapun sila jang empat itu ialah: 1. Kebenaran, 2. Sedjarah Indonesia, 3. Tafsiran syntehese, 4. Nasionalisme Indonesia.12
Melalui filsafah sejarah nasional, bangsa Indonesia akan menemukan kebenaran yang tersembunyi dalam dunia kebatinan di belakang kejadian-kejadian sejarah pada masa lalu sebagai kelahiran masyarakat manusia. Dalam menjelaskan sila kedua filsafa sejarah nasional, Yamin mengingatkan bahwa yang menjadi obyek filsafah sejarah ialah sejarah Indonesia. Namun obyek filsafah sejarah ini harus ditafsirkan melalui penafsiran synthese yakni mengkombinasikan lima tafsiran sejarah (theologies, ekonomis, geografis, racial, dan rohani).
“Apabila kelima-lima tafsiran diatas kita laksanakan satu-persatu dengan terpisah satu dari jang lain kepada masyarakat pada jaman jang lampau, maka kita mendapat sedjarah menuut irisan-pandjang. Sedjarah jang dihasilkan jalah sedjarah terpetjah-petjah dan tidak dapat member lukisan sedjarah dalam keseluruhannja. Tafsiran jang dilakukan sebenarnja jalah analisa masyarakat. Oleh sebab itu kita harus mendapat lukisan sedjarah menurut irisan-budjur…..
Tafsiran-synthetis mendjamin penulisan-sedjarah jang sempurna dan historiografi jang demikian memang djauh lebih sulit dari penulisan sedjarah jang berdasarkan suatu matjam tafsiran sadja.13
Menurut Yamin bahwa penafsiran sintesis dalam sejarah Indonesia berfokus pada nasionalisme yang menjadi sila terakhir filsafat sejarah nasional. Konsepsinya dipilih oleh kementerian pendidikan untuk menyusun materi pengajaran sejarah yang bersifat doktriner, terutama setelah diberlakukannya Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Seluruh kementerian berusaha menyesuaikan program kerjanya dengan doktrin demokrasi terpimpin yang dikembangkan Soekarno dan diberlakukan selama tahun 1960-an. Kementerian pendidikan segera mengganti kurikulum pendidikannya dengan yang baru, yang dinamakannya sebagai Kurikulum Pancawardhana. Dalam kurikulum ini, pengajaran sejarah masuk dalam wardhana yang pertama, yakni mengembangkan rasa cinta tanah air. Ciri utama pengajaran sejarah dalam kurikulum Pancawardana adalah bersifat Proklamasisentris dan berestalogi masyarakat sosialis Indonesia.14 Untuk memastikan kesamaan pemahaman terhadap sejarah, pemerintah mendoktrin para calon guru sejarah melalui kegiatan Kursus Kader Revolusi.15 Kegiatan ini dihentikan setelah setelah krisis politik pada tahun 1965 akibat kudeta Gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung Djamsuri. Krisis ini mencapai klimaknya dengan diberhentikannya Presiden Soekarno oleh Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) pada tahun 1968.
Soekarno digantikan Jenderal Soeharto yang memimpin operasi penghancuran Gerakan 30 September. Masa pemerintahannya disebut Orde Baru dan mempunyai kebijakan yang sangat berbeda (baca: bertolak belakang) dengan pemerintahan sebelumnya. Desoekarnoisasi dilancarkan di seluruh bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemerintah Orde Baru mengganti kurikulum Pancawardhana maupun kurikulum gaya baru 1964 dengan kurikulun gaya baru yang disempurnakan pada tahun 1968. Pengajaran sejarah mendapat perhatian khusus karena pemerintah Orde Baru sangat membutuhkan legitimasi sejarah. Oleh karena itu, Orde Baru berusaha mendominasi penjelasan sejarah terhadap krisis politik antara tahun 1965-1968, dan melanjutkan rencana penyusunan buku sejarah nasional. Untuk keperluan itulah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sjarif Thajeb membentuk Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah Nasional Indonesia pada 4 April 1970. Panitia dipimpin Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo, guru besar sejarah dari Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Ia lahir pada 15 Februari 1921 di Wonogiri dan mengawali karirnya sebagai guru di Sekolah Schakel, Muntilan Jawa Tengah. Pendidikan Ilmu Sejarah diperolehnya dari Universitas Indonesia pada tahun 1956, Universitas Yale, Amerika Serikat pada tahun 1964, dan Universitas Amsterdam, Belanda pada tahun 1966. Dia juga salah satu pembicara utama Seminar Sejarah Nasional pertama tahun 1957
Di samping membentuk panitia, kementerian pendidikan juga memberikan bantuan dana penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional yang kedua pada bulan Agustus 1970 di Yogyakarta. Seminar dibagi dalam enam panel diskusi. Pertama, bidang prasejarah Indonesia yang dibahas 9 makalah; Kedua, bidang sejarah kuna Indonesia yang dibahas 5 makalah; Ketiga, sejarah Indonesia periode tahun 1500 hingga 1800 yang dibahas 10 makalah; Keempat, sejarah Indonesia periode tahun 1800 hingga 1900 yang dibahas 15 makalah; Kelima, sejarah Indonesia periode tahun 1900 – 1942 yang dibahas 11 makalah; Keenam, sejarah Indonesia sesudah tahun 1942 yang dibahas 14 makalah.16 Berdasarkan enam panel diskusi inilah draft buku Sejarah Nasional Indonesia disusun menjadi enam jilid. Setiap jilidnya membahas satu periode penting dalam sejarah Indonesia, yakni jaman prasejarah Indonesia dalam jilid pertama, jaman kuna Indonesia dalam jlid kedua, jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dalam jilid ketiga, sejarah Indonesia pada abad ke-19 dalam jilid keempat, jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda dalam jilid kelima, dan jaman Jepang dan jaman Republik Indonesia dalam jilid keenam. Dengan memperhatikan setia jilidnya dapat disimpulkan bahwa buku SNI ini disusun secara kronologi mulai dari sebelum masehi hingga tahun 1974.
Hasil kerja panitia 1970 mendapat sambutan positif dari pemerintah sebagaimana disampaikan Menteri P dan K Sjarif Thajeb dalam kata sambutannya untuk edisi pertama buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI).
Buku standard Sejarah Nasional Indonesia pada hakekatnya merupakan “babon” sejarah Indonesia, yang disusun oleh sejarawan Indonesia, berdasarkan penelitian ilmiah dan orientasi nasional. Team sejarawan Indonesia, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo telah bekerja dengan penuh ketekunan dan dedikasi. Hasil pekerjaannya sangat berguna bagi dunia pendidikan pada khususnya dan bagi pengetahuan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mempergunakan fakta-fakta ilmiah yang obyektif, dan orientasi yang sesuai dengan kepentingan nasional. Karena itu kita sekarang tidak lagi menggunakan bahan-bahan dan versi asing dalam Sejarah Indonesia. 17
Keputusan pemerintah ini sesuai dengan tujuan panitia sebagaimana diungkapkan Ketua Panitia 1970, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam prakata editor umum untuk edisi pertama.
Salah satu sebab yang mendorong panitia untuk menerima tugas penulisan sejarah ialah karena buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah dasar dan menengah sangat rendah mutunya. Beberapa kali usaha untuk memperbaikinya telah gagal, antara lain karena tidak ada buku babon atau pedoman yang dapat memberi kerangkanya. Diharapkan agar tulisan ini akan dapat dipergunakan sebagai kerangka penulisan buku sekolah itu.18
Edisi pertama SNI terbit pada tahun 1975 dengan editor umum Sartono Kartodirdjo. Pada saat bersamaan pemerintah menerbitkan tiga jilid buku pelajaran sejarah Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pemerintah juga menerbitkan tiga jilid sejarah Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) pada tahun 1976 yang mengacu pada SNI. Posisi SNI sangat penting dalam penyusunan materi pengajaran hingga saat ini karena masih dijadikan sebagai sumber utama. Kecenderungan itu dapat terlihat dari periodisasi yang digunakan maupun penjelasan terhadap masa lalu.
Keberhasilan pemerintah Orde Baru menerbitkan SNI telah menyeragamkan pemahaman sejarah bangsa Indonesia terhadap masa lalunya sehingga dapat memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa. Dominasinya terus berlanjut hinga sekarang, meskipun pemerintahan Orde Baru telah berakhit pada 21 Mei 1998. Desakan agar pemerintah melakukan reformasi materi pengajaran sejarah sempat bergulir. Kementerian Pendidikan di bawah pemerintahan Presiden B.J. Habibie merespon desakan ini dengan menerbitkan suplemen kurikulum 1999. Materi pengajarannya agak berbeda dengan tiga kurikulum sebelumnya (1975, 1984 dan 1994), terutama menyangkut penjelasan terhadap peristiwa kudeta gerakan 30 September pada tahun 1965. Masa berlaku suplemen kurikulum 1999 berakhir setelah kementeian pendidikan dalam pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri menggantinya dengan kurikulum 2004. Materi pengajaran sejarah dalam kurikulum 2004 bukan hanya agak berbeda, tetapi sangat berbeda dengan tiga kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini ingin menghilangkan karakter antikomunis dalam materi pengajaran sejarah yang dibangun pemerintah Orde Baru. Upaya ini dihentikan oleh kementerian pendidikan dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan memberlakukan kurikulum 2006 dan mengembalikan materi pengajaran sejarah pada kurikulum 1975, 1984 dan 1994. Sayangnya, kurikulum 2006 tidak dapat mengembalikan kredibilitas pengajaran sejarah yang terbentuk selama Orde Baru dan mengalami kehancuran setelah berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998.

Kesimpulan

Pemerintahan reformasi, terutama pada masa Presiden Yudhoyono, menempatkan kedudukan pengajaran sejarah pada titik yang terendah bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kecenderungan ini dapat terlihat dari ketiadaan upaya sistematis untuk mengembalikan kredibilitas pengajaran sejarah sebagaimana yang pernah dilakukan pemerintahan sebelumnya. Sebagai contoh yang dilakukan Presiden Soekarno. Melalui kementerian pendidikannya, Soekarno melakukan upaya sistematis untuk menemukan krediblitas pengajaran sejarah yang mengalami kekacauan, seperti membenahi materi pengajaran sejarah untuk para calon, membentuk panitia penyusunan buku sejarah nasional tahun 1951, memberlakukan kembali UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia yang menempatkan pengajaran sejarah sebagai elemen terpenting dalam pendidikan nasional, dan menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional pertama pada tahun 1957 yang memberikan landasan filosofis bagi pengajaran sejarah dan membentuk panitia penyusunan buku.
Meski diakui pula bahwa Soekarno pun melakukan upaya sistematis untuk merusak pengajaran sejarah melalui kurikulum Pancawadhana yang menempatkan pengajaran sejarah sebagai alat indoktrinasi sehingga materi pengajaran sejarah bercorak ultranasionalis. Mereka yang menentang kebijakan ini mendapatkan momentum untuk menghancurkannya setelah Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1968. Namun krisis kredibilitas pengajaran sejarah pata segera diperbaki oleh Presiden Soeharto. Ia berhasil menuntaskan pekerjaan rumah warisan pemerintahan sebelumnya: menyusun buku sejarah nasional dan menyeragamkan materi pengajaran sejarah di seluruh Indonesia. Keberhasilannya memperkokoh kredibilitas pengajaran sejarah. Namun keberhasilan ini harus dibayar mahal, yakni terpuruknya kredibilitas pengajaran sejarah setelah pemerintahannya berakhir secara dramatis pada tahun 1998.
Presiden B.J. Habibie berusaha memperbaikinya, tetapi kekurangan waktu karena memerintah dalam waktu singkat yakni Mei 1998 – Oktober 1999. Upaya mengembalikan kredibilitas pengajaran sejarah ini dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, tetapi dihancurkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah yang sekarang cenderung berpandangan bahwa pengajaran sejarah tidak penting dan hanya menjadi beban kurikulum pendidikan nasional sehingga jumlah jam pelajaran dikurangi. Bahkan pemerintah tidak mempercayai bahwa pengajaran sejarah dapat membantu pengembangan karakter bangsa. Sikapnya sangat berbeda dengan founding fahters yang sangat yakin dengan kemampuan pengajaran sejarah untuk membentuk karakter bangsa. Dengan keyakinan itu mereka dapat mengembangkan karakter bangsa yang merdeka dan berdaulat, menumbuhkan kebanggaan terhadap masa lalu sehingga menghilangkan perasaan imperior sebagai bangsa terjajah, membebaskan bangsa Indonesia dari karakter feodalisme, dan membangun fondasi demokrasi.





CATATAN KAKI :

1.        Mohammad Ali, “Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J. Resink, G. McT. Kahin, 1995, Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia, hal 2. 
2.        Ibid.,1-2.
3.        Mohammad Ali, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: LKIS, hal 353. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1961 dan diperbaiki pada cetakan kedua yang terbit setahun kemudian. Ada tiga bagian pembahasan namun Bab IV huruf H (355-361) sangat penting dalam tulisan ini karena memberikan informasi yang cukup lengkap menyangkut penjelasan tentang pengajaran sejarah Balai Pendidikan Guru. 
4.        Sarino Mangunpranoto, “Sambutan Seminar Sedjarah” dalam Abdurrahman Surjomihardho, 1976, Seminar Sejarah Nasional Pertama 14-18 Desember 1957 Yogyakarta: Himpunan Lengkap Kertas Kerja, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Proyek Pengembangan Pusat Dokumentasi dan Informasi Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Kemanusiaan, h. 9-10.
5.        Prijono, Pidato Pembukaan Seminar di Jogjakarta dalam ibid, h. 6 
6.        Sardjitito, “Pengantar Kata Oleh Ketua Panitia Seminar Sedjarah,” dalam ibid., h. 3.
7.        Sarino Mangunpranoto, “Sambutan Seminar Sedjarah” dalam ibid, h. 9-10.
8.        Sri Sultan Hamengkubuwono IX, “Sambutan Seri Paduka Sultan Hamengkubuwono IX Kepala Daerah Istimewa Jogjajakarta”, dalam ibid., h. 12. 
9.        Sardjitito, “Pengantar Kata Oleh Ketua Panitia Seminar Sedjarah,” dalam ibid., h. 3.
10.    Ibid. 
11.    Muhammad Yamin, “Tjatur-Sila Chalduniah”, dalam Abdurrahman Surjomihardjo, 1976, h. 204-205
12.    Ibid., h. 217.
13.    Ibid., h. 220-221. 
14.    H.A.J. Klooster, 1985, IndonesiĆ«rs Schrijven Hun Geschiedenis: De Ontwikkeling van de Indonessche Gschiedbeoefening in theory en praktijk 1900-1980, Doodrect-Holland / Cinnaminson – U.S.A, hal. 175
15.    Abdurrahman Surjomihardjo, “Pendidikan Sejarah pada zaman Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia” dalam Sri Sutjiatiningsih, 1995, Pengajaran Sejarah: Kumpulan Makalah Simposium, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, hal 93-94 
16.    Abdurrachman Surjomihardjo, 1976, h. III-IV. 
17.    Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Sjarif Thayeb tanggal 5 Maret 1975 ini dimunculkan kembali dalam edisi keempat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid I (Jakarta: Balai Pustaka), h. vii.
18.     Prakata Editor Umum Sartono yang ditulis pada tahun 1974 ini diterbitkan kembali dalam SNI edisi ke-4 yang terbit pada tahun 1984. Lihat ibid, h. xiii.  

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons