Cari Blog Ini

Minggu, 20 Januari 2013

MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS KARAKTER TERPUJI


MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS KARAKTER TERPUJI (1)
Oleh : Drs. Nur Kholiq,M.Pd
A. Pendahuluan

Dewasa ini perhatian pemerintah dicurahkan untuk menjadikan sekolah-sekolah memiliki kualitas yang lebih baik. Kualitas tersebut tidak saja tertuju pada kemampuan yang bersifat kognitif, tetapi lebih dari itu adalah pada kualitas yang bersifat afektif dan psikomotorik yang berupa aspek sikap dan perilaku. Untuk memenuhi kepentingan tersebut, pemerintah Republik Indonesia, melalui Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pada tanggal 11 Mei tahun 2010; telah mencanangkan gerakan nasional pendidikan karakter. Melalui gerakan tersebut pemerintah berusaha mengembalikan pendidikan pada khiththahnya, yang meliputi ketiga asepeknya, yitu kognitif, afektif, dan psikomotorik secara konsisten.
Para pembuat kebijakan di bidang pendidikan, demikian juga dengan masyarakat secara keseluruhan, menginginkan anak-anak yang telah selesai dari suatu jenjang pendidikan tertentu tidak hanya memperoleh kebanggan dalam pretasi akademiknya, tetapi lebih dari itu adalah prestasi dalam sikap dan perilakunya. Selama ini, kekurangan dan sekaligus merupakan kelemahan dari para lulusan adalah belum atau tidak tercapainya tuntutan yang kedua. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, sudah pada tempat dan waktunya, apabila sekolah-sekolah mengupayakan dan melakukan pembudayaan karakter di lingkungannya.
Pemerintah sekarang memang sedang giat-giatnya berbicara pentingnya pembentukan karakter. Akan tetepi, menurut Komaruddin Hidayat (2010), tanpa budaya sekolah yang bagus akan sulit melakukan pendidikan karakter bagi anak-anak didik kita. Jika budaya sekolah sudah mapan, siapa pun yang masuk dan bergabung ke sekolah itu hampir secara otomatis akan mengikuti tradisi yang telah ada. Contoh yang paling nyata adalah budaya bersih dan hidup tertib di Singapura. Tidak hanya sebatas school culture, di sana bahkan sudah tumbuh city culture, yang antara lain ditandai hidup bersih, budaya antri, dan disiplin. Orang Indonesia yang tidak terbiasa hidup bersih dan disiplin berlalu lintas, begitu masuk Singapura tiba-tiba menjadi berubah, menyesuaikan dengan kultur yang ada. Budaya sekolah, atau lebih luas lagi budaya pendidikan, dengan demikian menjadi pijakan yang kuat bagi pembentukan karakter siswa.
Sebuah budaya mengasumsikan kehidupan yang berjalan natural, tidak lagi dirasakan sebagai beban. Karena itu, merancang budaya sekolah mesti memikirkan dan menyiapkan pula kehidupan seni dan olahraga serta ruang kebebasan kreasi anak. Dengan demikian, proses pendidikan dan beban kurikulum sekolah tidak dirasakan sebagai beban, melainkan tantangan layaknya dalam sebuah permainan olahraga yang penuh semangat, tetapi tetap ada wasit ataupun peraturan baku.Wasit yang baik adalah kesadaran menjaga mutu permainan yang datang dari para pemain sendiri, yaitu semua warga sekolahnya.
Masa-masa sekolah adalah sebuah formative years, masa pembentukan karakter yang sangat menentukan fondasi moral-intelektual seseorang seumur hidupnya. Anak-anak yang sukses di bangku kuliah akan sangat ditentukan bagaimana kualitas dan kebiasaan belajar serta hidupnya di usia sebelumnya. Siapa saja anak-anak yang akan sukses di sebuah perguruan tinggi sudah mulai terbaca dengan mengamati asal-usul sekolahnya dan hasil seleksi masuknya. Dalam hal karakter, perguruan tinggi hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah terbentuk sebelumnya. Perguruan tinggi memang berhasil mewisuda mahasiswanya sebagai seorang sarjana, namun saya ragu, benarkah sistem perkuliahan yang ada mampu membentuk karakter seseorang?, demikian dinyatakan Komaruddin Hidayat (2010). Pembangunan sekolah terberat justru terletak pada membangun kultur sekolah ini, karena selain membutuhkan dana yang tidak sedikit, juga membutuhkan daya tahan kesabaran, keuletan, persisistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan di sekolah yaitu kepala sekolah, guru, orang tua, masyarakat, dan pemerintah.


B. Apa itu Budaya Sekolah?

Pandangan tentang apa itu budaya sekolah sudah sejak beberapa tahun silam dilontarkan. Pada tahun 1932 misalnya, Willard Waller (Peterson dan Deal, 2009: 8) menyatakan bahwa setiap sekolah memunyai budayanya sendiri, yang berupa serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan kebiasaan, yang telah membentuk perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Sementara itu, Short dan Greer (1997) mendefinisikan budaya sekolah sebagai keyakinan, kebijakan, norma, dan kebiasaan di dalam sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat, dan dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah. Budaya sekolah, dengan demikian, merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya pada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya.
Para orang tua/wali dan siswa selalu dapat mendeteksi secara tepat semangat yang ada di sekolah. Para orang tua/wali memasukan anak-anak mereka ke suatu sekolah pada umumnya karena mempertimbangkan dan memperhatikan budaya yang telah tertanam di sekolah-sekolah terseut. Para siswa pun dapat dengan cepat merasakan budaya sekolahnya karena mereka menjadi bagian dari lingkungan sekolah tersebut. Mereka pun mengetahui dan dapat membedakan mana yang baik dan buruk, sesuai dengan nilai, norma, dan kebiasaan yang telah berlaku di lingkungan sekolahnya.
Para guru dan karyawan ketika memasuki wilayah sekolah, pun segera akan menyesuaikan diri. Mereka dengan sadar dan spontan mengikuti nilai, norma, kebiasaan, harapan, dan cara-cara yang berlaku di sekolah. Pada saat memulai pembelajaran, para guru pun mulai melakukan kegiatan dengan serangkaian kegiatan seperti berdoa, menyapa keadaan siswa, menanyakan dan mendengarkan apa saja yang menjadi harapan para siswa, dan seterusnya.
Pada awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan yang sifatnya formal. Serangkaian nilai, norma, dan aturan ditentukan dan ditetapkan pihak sekolah sebagai panduan bagi warga sekolah dalam berikir, bersikap, dan bertindak. Dalam perkembangannya, secara perlahan budaya sekolah ini akan tertanam melalui jaringan kultural yang informal, karena sudah menjadi trade mark sekolah yang bersangkutan. Siapa pun yang masuk ke dalam wilayah sekolah, mereka akan dan harus menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di dalamnya. Kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa pada umumnya banyak berperan dalam jaringan ini.
Hampir semua sekolah memiliki serangkaian atau seperangkat keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang menjadi ciri khasnya dan senantiasa disosialisasikan dan ditransmisikan melalui berbagai media. Dengan berjalannya waktu, proses tersebut telah membentuk suatu iklim budaya tertentu dalam lingkungan sekolah. Iklim tersebut secara langsung menggambarkan perasaan-perasaan, dan pengalaman-pengalaman moral yang ada di sekolah. Budaya sekolah sekali lagi menunjukkan kompleksitas unsur keyakinan, nilai, norma, kebiasaan, bahasa, dan tujuan-tujuan apa pun yang lebih baik. Budaya sekolah berada pada unsur yang lebih dalam dari sekolah.
Selama ini, sekolah telah mengembangkan dan membangun suatu kepribadian yang unik bagi para warganya. Kepribadian ini, atau budaya ini, dimanifestasikan dalam bentuk sikap mental, norma-norma sosial, dan pola perilaku warga sekolah. Contoh berpikir yang sederhana tentang budaya sekolah ini dapat dilihat pada cara mereka melakukan sesuatu. Budaya ini memengaruhi semua hal yang terjadi sekolah. Budaya ini memengaruhi dan membebtuk cara-cara kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Di Sekolah Madania, Parung, Bogor, Jawa Barat, misalnya, para siswa sejak SMP sampai SMU memiliki tradisi membaca buku-buku bahasa Inggris dan melakukan riset kepustakaan melalui internet lalu dituliskan dalam sebuah paper singkat.Tradisi baca tulis dalam bahasa Inggris ini telah membudaya sehingga beberapa alumni Madania yang sudah kuliah baik di dalam maupun di luar negeri ketika ada tugas riset dan menulis makalah tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan (Komaruddin Hidayat, 2010).
Berikut ini adalah beberapa aspek dari keyakinan, nilai, dan harapan sosial yang mestinya dimiliki oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan ;
1)        Apakah mereka berpikir tentang „perbaikan‟ sebagai sesuatu yang penting?
2)        Apakah mereka mau bekerja secara kolaboratif?
3)        Seberapa kuat tingkat „kepercayaan‟ yang tumbuh di antara kepala sekolah, para guru, dan karyawan?
4)        Apakah mereka menyadari bahwa lingkungan sekolah bertanggung jawab terhadap pembelajaran dan keberhasilan para siswa?
5)        Bagaimana memotivasi mereka untuk senantiasa bekerja keras?
6)        Bagaimana perasaan mereka ketika melihat para siswa tidak dalam performa yang baik?
7)        Bagaimana dukungan mereka terhadap inovasi yang dilakukan sekolah?
8)        Apakah mereka yakin bahwa semua siswa dapat belajar dengan baik dan nyaman di lingkungan sekolah?
9)        Apakah mereka yakin bahwa bekerja secara kolaboratif dan kerjasama tim merupakan sesuatu yang baik?
10)    Apakah mereka yakin bahwa standar-standar yang ditentukan pihak sekolah sudah memenuhi syarat?
11)    Apakah mereka menggunakan data-data yang ada untuk kepentingan pembelajaran dan keberhasilan sekolah dan siswa?
12)    Apakah mereka melihat kegiatan keseharian mereka sebagai panggilan kerja atau ibadah?

Setiap aspek dari sekolah dapat dibentuk dan dicetak oleh nilai-nilai simbolik tertentu. Meskipun tidak semua aspek budaya dapat dengan mudah dibentuk oleh seorang pemimpin, kepemimpinan dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap munculnya pola budaya. Kepemimpinan secara reflektif akan membantu memperkuat pola-pola budaya yang positif dan mengubah sesuatu yang bersifat negatif.
Budaya merupakan jaringan yang kuat, yang meliputi keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang memengaruhi setiap sudut kehidupan sekolah. Budaya sekolah menyebabkan seseorang memberikan perhatian yang khusus, menyebabkan mereka mengidentifikasikan dirinya dengan sekolah (komitmen), memberikan motivasi kepada mereka untuk bekerja keras, dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan sekolah.
Budaya sekolah telah meningkatkan bahkan mempertajam perhatian dan perilaku sehari-hari warga sekolah terhadap apa yang penting dan bernilai bagi sekolah. Perhatian tersebut dapat dilihat pada semua kegiatan yang menjadi program dan prioritas sekolah. Apabila yang perlu diperkuat adalah berkaitan dengan prestasi akademik siswa misalnya, sekolah secara penuh mengarahkan perhatiannya pada hal tersebut. Sekolah dengan sendirinya merencanakan dan mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peningkatan kualitas akademik tersebut. Sekolah akan memfokuskan waktu, tenaga, dan sumberdaya berkaitan dengan kurikulum dan strategi pembelajaran yang akan membantu semua siswa untuk meningkatkan prestasinya. Demikian juga, apabila program prioritas tersebut diarahkan bagi terwujudnya karakter terpuji, semua kegiatan pendukung seperti pembelajaran (teaching), pemodelan (modeling), dan penguatan lingkungan (reinforcing), akan tertuju pada titik tersebut.
Budaya sekolah akan membangun komitmen dan identifikasi diri dengan nilai-nilai, norma-norna, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Pada suatu sekolah misalnya, setiap guru secara sadar datang pada jam 06.30 dan pulang pada jam 16.00. Kehadiran guru yang demikian sebagai bentuk komitmen mereka terhadap budaya yang telah berlaku di sekolah yang bersangkutan. Kebiasaan yang berlaku tersebut telah mengikat dan menjadi bagian dari hidupnya sehingga tidak dirasakan sebagai beban. Budaya sekolah, dengan demikian, telah membangun komiten terhadap semua warganya.
Budaya sekolah telah pula memperkuat dan memperjelas motivasi. Apabila sekolah memberikan penghargaan terhadap setiap keberhasilan, usaha, dan memberikan komitmennya, semua karyawan dan siswanya akan termotivasi untuk bekerja keras, inovatif, dan mendukung perubahan. Di SD Muhammadiyah Condong Catur Yogyakarta misalnya, setiap guru, karyawan, dan siswa yang berprestasi, sekecil apa pun, akan selalu diumumkan pada saat upacara hari Senin. Cara yang dilakukan ini ternyata telah memotivasi setiap guru, karyawan, dan siswa untuk meraih prestasi-prestasi tertentu.
Akhirnya, budaya sekolah juga akan mempertinggi tingkat efektivitas dan produktivitas. Guru dan siswa akhirnya terbiasa dengan bekerja keras, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pencapaian yang baik, dan memperhatikan pemecahan masalah, serta fokus terhadap pembelajaran bagi semua siswa. Pada sekolah-sekolah ini, budaya sekolah berhasil memperkuat pemecahan masalah secara kolaboratif, perencanaan, dan pengambilan keputusan.
Menurut Nusyam (2011), setidaknya ada tiga budaya yang perlu dikembangkan di sekolah, yaitu kultur akademik, kultur budaya, dan kultur demokratis. Ketiga kultur ini harus menjadi prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah.
Pertama, kultur akademik. Kultur akademik memiliki ciri pada setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini didukung dengan dasar akademik yang kuat. Artinya merujuk pada teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang teruji, bukan pada popularitas semata atau sangkaan yang tidak memiliki dasar empirik yang kuat. Ini berbeda dengan kultur politik atau dunia entertain. Dengan demikian, kepala sekolah, guru, dan siswa selalu berpegang pada pijakan teoretik dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam kesehariannya. Kultur akademik tercermin pada kedisiplinan dalam bertindak, kearifan dalam bersikap, serta kepiawaian dalam berpikir dan berargumentasi.
Kedua, kultur budaya. Kultur budaya tercermin pada pengembangan sekolah yang memelihara, membangun, dan mengembangkan budaya bangsa yang positif dalam kerangka pembangunan manusia seutuhnya. Sekolah akan menjadi benteng pertahanan terkikisnya budaya akibat gencarnya serangan budaya asing yang tidak relevan seperti budaya hedonisme, individualisme, dan materialisme. Jika dunia luar melalui entertainment dan advertisement sangat gencar menawarkan konsumerisme dan materialisme semata, sekolah secara konsisten dan persisten menanamkan nilai-nilai transendental rela berkorban dan ihlas beramal. Di sisi lain sekolah terus mengembangkan seni tradisi yang berakar pada budaya nusantara yang dikreasi untuk dikemas dengan modernitas dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Ketiga, kultur demokratis. Kultur demokratis menampilkan corak berkehidupan yang mengakomodasi perbedaan untuk secara bersama membangun kemajuan. Kultur ini jauh dari pola tindakan disksriminatif dan otoritarianisme serta sikap mengabdi atasan secara membabi buta. Warga sekolah selalu bertindak objektif, transparan, dan bertanggungjawab.

C. Budaya Sekolah Berbasis Karakter Terpuji

Meski tidak sepenuhnya benar, mendidik anak itu dapat disamakan dengan menyemai benih tanaman. Seseorang yang ingin menanam jenis tanaman tertentu yang benih atau bibitnya berasal dari suatu tempat, maka orang tersebut perlu menganalisis dan mengondisikan tanah serta cuaca yang cocok dengan tanaman tersebut. Logika yang demikian tampaknya berlaku juga dalam dunia pendidikan meskipun bibit pohon tidak persis sama dengan anak manusia. Banyak anak yang memiliki bakat hebat, tetapi karena kondisi sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal, bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya, anak dengan kepandaian dan bakat yang sedang-sedang saja, tetapi karena lingkungan sekolahnya baik, anak tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses. Berdasarkan argumen di atas, kemudian muncul formula bahwa apa yang disebut school culture sangat vital perannya bagi sebuah proses pendidikan, demikian menurut Komaruddin Hidayat (2010).
Banyak nilai yang dapat dan harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah laksana taman atau lahan yang subur tempat menyemaikan dan menanam benih-benih nilai tersebut. Pemerintah sendiri telah membuat grand design pendidian karakter dengan menempatkan empat nilai utama yang harus ditanamkan di sekolah. Keempat nilai tersebut adalah: (1) Jujur dan bertanggung jawab (cerminan dari olah hati); (2) Cerdas (cerminan dari olah pikir); (3) Sehat dan bersih (cerminan dari olah raga); dan (4) Peduli dan kreatif (cerminan dari olah rasa).
Sementara itu, Lickona (2004) menyebutkan adanya sepuluh nilai utama yang bisa ditanamkan oleh pihak sekolah . Kesepuluh nilai itu adalah sebagai berikut ;
1. Kebijaksanaan/Bijaksana (wisdom):
a.       Keputusan yang baik; kemampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal (good judgment).
b.      Memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana caranya mempraktikkan nilai-nilai kebaikan.
c.       Memiliki kemampuan untuk menentukan skala prioritas dalam hidup (ability to set priorities).

2. Keadilan atau adil (justice):
a. Kejujuran (fairness, mengikuti aturan).
b. Rasa hormat (respect).
c. Bertanggungjawab (responsibility).
d. Tulus (honesty).
e. Kesopanan (Courtesy/civility).
f. Toleransi (tolerance).

3. Daya tahan (fortitude):
a. Keberanian (courage).
b. Elastisitas, daya lenting (resilience).
c. Kesabaran (patience).
d. Kegigihan, ketabahan hati (perseverance).
e. Daya tahan, kesabaran (endurance).
f. Percaya-diri (self-confidence).

4. Kontrol-diri (self-control):
a. Disiplin-diri (self-discipline).
b. Kemampuan untuk mengelola emosi dan dorongan diri.
c. Kemampuan untuk menunda kesenangan (to delay gratification) atau tidak cepat puas diri.
d. Kemampuan untuk melawan atau tahan terhadap godaan (to resist temptation).
e. Moderat (moderation).
f. Kemampuan menjaga kecenderungan seksnya (sexual self-control).

5. Cinta (love):
a. Mengenali pikiran, perasaan, dan sikap orang lain (empathy).
b. Memiliki rasa iba (compassion).
c. Ramah dan penuh kasih sayang (kindness).
d. Murah hati (generosity).
e. Mudah menolong atau membantu (service).
f. Setia (loyalty).
g. Cinta tanah air (patriotism).
h. Pemaaf (forgiveness).

6. Sikap positif (positive attitude):
a. Penuh harapan (hope).
b. Bersemangat (enthusiasm).
c. Lentur, dapat berubah dengan mudah (flexibility).
d. Memiliki rasa humor (sense of humor).


7. Kerja Keras (hard works):
a. Memiliki prakarsa (initiative).
b. Tekun atau rajin (diligence).
c. Penetapan atau perencanaan yang matang (good-setting).
d. Kecerdikan atau kecerdasan (resourcefulness).

8. Kepribadian yang utuh (integritiy):
a. Mengikuti prinsip-prinsip moral (adhering to moral principle).
b. Kesetiaan terhadap kata-hati (faithfulness to a correctly formed conscience).
c. Menjaga perkataan atau satunya kata dan perbuatan (keeping one's word).
d. Konsisten secara etik (ethical consistency).
e. Tulus atau Ihlas (being honest with oneself).

9. Perasaan berterima kasih (gratitude):
a. Kebiasaan berterima kasih (the habit of being thankfull; appreciating one's blessings).
b. Kemampuan menghargai orang lain (acknowledging one's debts to others).
c. Tidak suka komplain (not complaining) atau tidak mudah menuduh.

10. Kerendah hati (humility):
a. Sadar-diri atau tahu diri (self-awarness).
b. Mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab (willingness to mistakes and responsibility to them).
c. Keinginan untuk menjadi lebih baik (the desire to become a better person).

Selanjutnya Lickona (1998:53) menyebutkan adanya sebelas prinsip yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai karakter tersebut di atas, yaitu sebagai berikut ;
1.      Memromosikan nilai-nilai pritoritas atau inti (seperti sifat peduli, tulus (honesty), jujur (fairness), bertanggung jawab, terbuka, rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain) dan mendukung implementasi nilai-nilai tersebut sebagai dasar bagi karakter yang baik.
2.      Mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang meliputi aspek pemikiran, perasaan, dan perilaku.
3.      Menggunakan pendekatan yang komprehensif, mendalam, dan proaktif terhadap implementasi dan pengembangan karakter.
4.      Menciptakan komunitas sekolah yang peduli.
5.      Memberikan peluang kepada para siswa untuk melakukan tindakan moral.
6.      Menyusun kurikulum yang bermakna dan menghargai semua siswa, mengembangkan karakter mereka, dan membantunya untuk mencapai keberhasilan.
7.      Berusaha keras untuk memelihara motivasi diri para siswa.
8.      Melibatkan semua warga sekolah sebagai komunitas belajar dan moral yang bersama-sama bertanggung jawab terhadap implementasi dan pengembangan karakter, dan berusaha untuk mentaati nilai-nilai prioritas atau inti yang sama yang akan menjadi teladan bagi para siswa.
9.      Memelihara kepemimpinan moral secara bersama-sama dan mendukung inisiatif pendidikan karakter.
10.  Melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai patner dalam usaha membangun karakter.
11.  Menekankan karakter sekolah dan menempatkan komponen sekolah (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berfungsi sebagai guru dan teladan bagi pembentukan karakter, hingga sampai kepada para siswa dalam mewujudkan karakter yang baik.


Bersambung ....

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons