MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS KARAKTER TERPUJI (1)
Oleh : Drs. Nur Kholiq,M.Pd
A. Pendahuluan
Dewasa
ini perhatian pemerintah dicurahkan untuk menjadikan sekolah-sekolah memiliki
kualitas yang lebih baik. Kualitas tersebut tidak saja tertuju pada kemampuan
yang bersifat kognitif, tetapi lebih dari itu adalah pada kualitas yang
bersifat afektif dan psikomotorik yang berupa aspek sikap dan perilaku. Untuk
memenuhi kepentingan tersebut, pemerintah Republik Indonesia, melalui Presiden
Susilo Bambang Yudoyono, pada tanggal 11 Mei tahun 2010; telah mencanangkan
gerakan nasional pendidikan karakter. Melalui gerakan tersebut pemerintah
berusaha mengembalikan pendidikan pada khiththahnya, yang meliputi ketiga
asepeknya, yitu kognitif, afektif, dan psikomotorik secara konsisten.
Para
pembuat kebijakan di bidang pendidikan, demikian juga dengan masyarakat secara
keseluruhan, menginginkan anak-anak yang telah selesai dari suatu jenjang
pendidikan tertentu tidak hanya memperoleh kebanggan dalam pretasi akademiknya,
tetapi lebih dari itu adalah prestasi dalam sikap dan perilakunya. Selama ini,
kekurangan dan sekaligus merupakan kelemahan dari para lulusan adalah belum
atau tidak tercapainya tuntutan yang kedua. Untuk memenuhi tuntutan tersebut,
sudah pada tempat dan waktunya, apabila sekolah-sekolah mengupayakan dan
melakukan pembudayaan karakter di lingkungannya.
Pemerintah
sekarang memang sedang giat-giatnya berbicara pentingnya pembentukan karakter.
Akan tetepi, menurut Komaruddin Hidayat (2010), tanpa budaya sekolah yang bagus
akan sulit melakukan pendidikan karakter bagi anak-anak didik kita. Jika budaya
sekolah sudah mapan, siapa pun yang masuk dan bergabung ke sekolah itu hampir
secara otomatis akan mengikuti tradisi yang telah ada. Contoh yang paling nyata
adalah budaya bersih dan hidup tertib di Singapura. Tidak hanya sebatas school
culture, di sana bahkan sudah tumbuh city culture, yang antara lain
ditandai hidup bersih, budaya antri, dan disiplin. Orang Indonesia yang tidak
terbiasa hidup bersih dan disiplin berlalu lintas, begitu masuk Singapura
tiba-tiba menjadi berubah, menyesuaikan dengan kultur yang ada. Budaya sekolah,
atau lebih luas lagi budaya pendidikan, dengan demikian menjadi pijakan yang
kuat bagi pembentukan karakter siswa.
Sebuah
budaya mengasumsikan kehidupan yang berjalan natural, tidak lagi dirasakan
sebagai beban. Karena itu, merancang budaya sekolah mesti memikirkan dan
menyiapkan pula kehidupan seni dan olahraga serta ruang kebebasan kreasi anak.
Dengan demikian, proses pendidikan dan beban kurikulum sekolah tidak dirasakan
sebagai beban, melainkan tantangan layaknya dalam sebuah permainan olahraga
yang penuh semangat, tetapi tetap ada wasit ataupun peraturan baku.Wasit yang
baik adalah kesadaran menjaga mutu permainan yang datang dari para pemain
sendiri, yaitu semua warga sekolahnya.
Masa-masa
sekolah adalah sebuah formative years, masa pembentukan karakter yang
sangat menentukan fondasi moral-intelektual seseorang seumur hidupnya.
Anak-anak yang sukses di bangku kuliah akan sangat ditentukan bagaimana
kualitas dan kebiasaan belajar serta hidupnya di usia sebelumnya. Siapa saja
anak-anak yang akan sukses di sebuah perguruan tinggi sudah mulai terbaca
dengan mengamati asal-usul sekolahnya dan hasil seleksi masuknya. Dalam hal
karakter, perguruan tinggi hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Perguruan tinggi memang berhasil mewisuda mahasiswanya sebagai
seorang sarjana, namun saya ragu, benarkah sistem perkuliahan yang ada mampu
membentuk karakter seseorang?, demikian dinyatakan Komaruddin Hidayat (2010).
Pembangunan sekolah terberat justru terletak pada membangun kultur sekolah ini,
karena selain membutuhkan dana yang tidak sedikit, juga membutuhkan daya tahan
kesabaran, keuletan, persisistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku
kepentingan di sekolah yaitu kepala sekolah, guru, orang tua, masyarakat, dan
pemerintah.
B. Apa itu Budaya Sekolah?
Pandangan
tentang apa itu budaya sekolah sudah sejak beberapa tahun silam dilontarkan.
Pada tahun 1932 misalnya, Willard Waller (Peterson dan Deal, 2009: 8)
menyatakan bahwa setiap sekolah memunyai budayanya sendiri, yang berupa
serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan kebiasaan, yang telah membentuk
perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Sementara itu, Short
dan Greer (1997) mendefinisikan budaya sekolah sebagai keyakinan, kebijakan,
norma, dan kebiasaan di dalam sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat, dan
dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah. Budaya sekolah, dengan
demikian, merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan
keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang
lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh
tidak hanya pada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya.
Para
orang tua/wali dan siswa selalu dapat mendeteksi secara tepat semangat yang ada
di sekolah. Para orang tua/wali memasukan anak-anak mereka ke suatu sekolah
pada umumnya karena mempertimbangkan dan memperhatikan budaya yang telah
tertanam di sekolah-sekolah terseut. Para siswa pun dapat dengan cepat
merasakan budaya sekolahnya karena mereka menjadi bagian dari lingkungan
sekolah tersebut. Mereka pun mengetahui dan dapat membedakan mana yang baik dan
buruk, sesuai dengan nilai, norma, dan kebiasaan yang telah berlaku di
lingkungan sekolahnya.
Para
guru dan karyawan ketika memasuki wilayah sekolah, pun segera akan menyesuaikan
diri. Mereka dengan sadar dan spontan mengikuti nilai, norma, kebiasaan,
harapan, dan cara-cara yang berlaku di sekolah. Pada saat memulai pembelajaran,
para guru pun mulai melakukan kegiatan dengan serangkaian kegiatan seperti
berdoa, menyapa keadaan siswa, menanyakan dan mendengarkan apa saja yang
menjadi harapan para siswa, dan seterusnya.
Pada
awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan yang sifatnya formal.
Serangkaian nilai, norma, dan aturan ditentukan dan ditetapkan pihak sekolah
sebagai panduan bagi warga sekolah dalam berikir, bersikap, dan bertindak.
Dalam perkembangannya, secara perlahan budaya sekolah ini akan tertanam melalui
jaringan kultural yang informal, karena sudah menjadi trade mark sekolah
yang bersangkutan. Siapa pun yang masuk ke dalam wilayah sekolah, mereka akan
dan harus menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di dalamnya. Kepala
sekolah, guru, karyawan, dan siswa pada umumnya banyak berperan dalam jaringan
ini.
Hampir
semua sekolah memiliki serangkaian atau seperangkat keyakinan, nilai, norma,
dan kebiasaan yang menjadi ciri khasnya dan senantiasa disosialisasikan dan
ditransmisikan melalui berbagai media. Dengan berjalannya waktu, proses
tersebut telah membentuk suatu iklim budaya tertentu dalam lingkungan sekolah.
Iklim tersebut secara langsung menggambarkan perasaan-perasaan, dan
pengalaman-pengalaman moral yang ada di sekolah. Budaya sekolah sekali lagi
menunjukkan kompleksitas unsur keyakinan, nilai, norma, kebiasaan, bahasa, dan
tujuan-tujuan apa pun yang lebih baik. Budaya sekolah berada pada unsur yang
lebih dalam dari sekolah.
Selama
ini, sekolah telah mengembangkan dan membangun suatu kepribadian yang unik bagi
para warganya. Kepribadian ini, atau budaya ini, dimanifestasikan dalam bentuk
sikap mental, norma-norma sosial, dan pola perilaku warga sekolah. Contoh
berpikir yang sederhana tentang budaya sekolah ini dapat dilihat pada cara
mereka melakukan sesuatu. Budaya ini memengaruhi semua hal yang terjadi
sekolah. Budaya ini memengaruhi dan membebtuk cara-cara kepala sekolah, guru,
siswa, dan karyawan dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Di Sekolah Madania,
Parung, Bogor, Jawa Barat, misalnya, para siswa sejak SMP sampai SMU memiliki
tradisi membaca buku-buku bahasa Inggris dan melakukan riset kepustakaan
melalui internet lalu dituliskan dalam sebuah paper singkat.Tradisi baca tulis
dalam bahasa Inggris ini telah membudaya sehingga beberapa alumni Madania yang
sudah kuliah baik di dalam maupun di luar negeri ketika ada tugas riset dan
menulis makalah tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan (Komaruddin
Hidayat, 2010).
Berikut
ini adalah beberapa aspek dari keyakinan, nilai, dan harapan sosial yang
mestinya dimiliki oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan ;
1)
Apakah mereka
berpikir tentang „perbaikan‟ sebagai sesuatu yang penting?
2)
Apakah mereka mau
bekerja secara kolaboratif?
3)
Seberapa kuat
tingkat „kepercayaan‟ yang tumbuh di antara kepala sekolah, para guru, dan
karyawan?
4)
Apakah mereka
menyadari bahwa lingkungan sekolah bertanggung jawab terhadap pembelajaran dan
keberhasilan para siswa?
5)
Bagaimana
memotivasi mereka untuk senantiasa bekerja keras?
6)
Bagaimana
perasaan mereka ketika melihat para siswa tidak dalam performa yang baik?
7)
Bagaimana
dukungan mereka terhadap inovasi yang dilakukan sekolah?
8)
Apakah mereka
yakin bahwa semua siswa dapat belajar dengan baik dan nyaman di lingkungan
sekolah?
9)
Apakah mereka
yakin bahwa bekerja secara kolaboratif dan kerjasama tim merupakan sesuatu yang
baik?
10)
Apakah mereka
yakin bahwa standar-standar yang ditentukan pihak sekolah sudah memenuhi
syarat?
11)
Apakah mereka
menggunakan data-data yang ada untuk kepentingan pembelajaran dan keberhasilan
sekolah dan siswa?
12) Apakah mereka melihat kegiatan keseharian mereka
sebagai panggilan kerja atau ibadah?
Setiap
aspek dari sekolah dapat dibentuk dan dicetak oleh nilai-nilai simbolik
tertentu. Meskipun tidak semua aspek budaya dapat dengan mudah dibentuk oleh
seorang pemimpin, kepemimpinan dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap
munculnya pola budaya. Kepemimpinan secara reflektif akan membantu memperkuat
pola-pola budaya yang positif dan mengubah sesuatu yang bersifat negatif.
Budaya
merupakan jaringan yang kuat, yang meliputi keyakinan, nilai, norma, dan
kebiasaan yang memengaruhi setiap sudut kehidupan sekolah. Budaya sekolah
menyebabkan seseorang memberikan perhatian yang khusus, menyebabkan mereka
mengidentifikasikan dirinya dengan sekolah (komitmen), memberikan motivasi
kepada mereka untuk bekerja keras, dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan
yang diinginkan sekolah.
Budaya
sekolah telah meningkatkan bahkan mempertajam perhatian dan perilaku
sehari-hari warga sekolah terhadap apa yang penting dan bernilai bagi sekolah.
Perhatian tersebut dapat dilihat pada semua kegiatan yang menjadi program dan
prioritas sekolah. Apabila yang perlu diperkuat adalah berkaitan dengan
prestasi akademik siswa misalnya, sekolah secara penuh mengarahkan perhatiannya
pada hal tersebut. Sekolah dengan sendirinya merencanakan dan mempersiapkan
segala sesuatu yang berkaitan dengan peningkatan kualitas akademik tersebut.
Sekolah akan memfokuskan waktu, tenaga, dan sumberdaya berkaitan dengan kurikulum
dan strategi pembelajaran yang akan membantu semua siswa untuk meningkatkan
prestasinya. Demikian juga, apabila program prioritas tersebut diarahkan bagi
terwujudnya karakter terpuji, semua kegiatan pendukung seperti pembelajaran (teaching),
pemodelan (modeling), dan penguatan lingkungan (reinforcing),
akan tertuju pada titik tersebut.
Budaya
sekolah akan membangun komitmen dan identifikasi diri dengan nilai-nilai,
norma-norna, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Pada suatu sekolah misalnya,
setiap guru secara sadar datang pada jam 06.30 dan pulang pada jam 16.00.
Kehadiran guru yang demikian sebagai bentuk komitmen mereka terhadap budaya
yang telah berlaku di sekolah yang bersangkutan. Kebiasaan yang berlaku
tersebut telah mengikat dan menjadi bagian dari hidupnya sehingga tidak
dirasakan sebagai beban. Budaya sekolah, dengan demikian, telah membangun
komiten terhadap semua warganya.
Budaya
sekolah telah pula memperkuat dan memperjelas motivasi. Apabila sekolah
memberikan penghargaan terhadap setiap keberhasilan, usaha, dan memberikan
komitmennya, semua karyawan dan siswanya akan termotivasi untuk bekerja keras,
inovatif, dan mendukung perubahan. Di SD Muhammadiyah Condong Catur Yogyakarta
misalnya, setiap guru, karyawan, dan siswa yang berprestasi, sekecil apa pun,
akan selalu diumumkan pada saat upacara hari Senin. Cara yang dilakukan ini
ternyata telah memotivasi setiap guru, karyawan, dan siswa untuk meraih
prestasi-prestasi tertentu.
Akhirnya,
budaya sekolah juga akan mempertinggi tingkat efektivitas dan produktivitas.
Guru dan siswa akhirnya terbiasa dengan bekerja keras, memiliki komitmen yang
tinggi terhadap pencapaian yang baik, dan memperhatikan pemecahan masalah,
serta fokus terhadap pembelajaran bagi semua siswa. Pada sekolah-sekolah ini, budaya
sekolah berhasil memperkuat pemecahan masalah secara kolaboratif, perencanaan,
dan pengambilan keputusan.
Menurut
Nusyam (2011), setidaknya ada tiga budaya yang perlu dikembangkan di sekolah,
yaitu kultur akademik, kultur budaya, dan kultur demokratis. Ketiga kultur ini
harus menjadi prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah.
Pertama, kultur akademik. Kultur akademik memiliki ciri pada
setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini didukung dengan dasar akademik
yang kuat. Artinya merujuk pada teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang
teruji, bukan pada popularitas semata atau sangkaan yang tidak memiliki dasar
empirik yang kuat. Ini berbeda dengan kultur politik atau dunia entertain.
Dengan demikian, kepala sekolah, guru, dan siswa selalu berpegang pada pijakan
teoretik dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam kesehariannya. Kultur
akademik tercermin pada kedisiplinan dalam bertindak, kearifan dalam bersikap,
serta kepiawaian dalam berpikir dan berargumentasi.
Kedua, kultur budaya. Kultur budaya tercermin pada
pengembangan sekolah yang memelihara, membangun, dan mengembangkan budaya
bangsa yang positif dalam kerangka pembangunan manusia seutuhnya. Sekolah akan
menjadi benteng pertahanan terkikisnya budaya akibat gencarnya serangan budaya
asing yang tidak relevan seperti budaya hedonisme, individualisme, dan
materialisme. Jika dunia luar melalui entertainment dan advertisement
sangat gencar menawarkan konsumerisme dan materialisme semata, sekolah
secara konsisten dan persisten menanamkan nilai-nilai transendental rela
berkorban dan ihlas beramal. Di sisi lain sekolah terus mengembangkan seni
tradisi yang berakar pada budaya nusantara yang dikreasi untuk dikemas dengan
modernitas dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Ketiga, kultur demokratis. Kultur demokratis menampilkan
corak berkehidupan yang mengakomodasi perbedaan untuk secara bersama membangun
kemajuan. Kultur ini jauh dari pola tindakan disksriminatif dan otoritarianisme
serta sikap mengabdi atasan secara membabi buta. Warga sekolah selalu bertindak
objektif, transparan, dan bertanggungjawab.
C. Budaya Sekolah Berbasis
Karakter Terpuji
Meski
tidak sepenuhnya benar, mendidik anak itu dapat disamakan dengan menyemai benih
tanaman. Seseorang yang ingin menanam jenis tanaman tertentu yang benih atau
bibitnya berasal dari suatu tempat, maka orang tersebut perlu menganalisis dan
mengondisikan tanah serta cuaca yang cocok dengan tanaman tersebut. Logika yang
demikian tampaknya berlaku juga dalam dunia pendidikan meskipun bibit pohon tidak
persis sama dengan anak manusia. Banyak anak yang memiliki bakat hebat, tetapi
karena kondisi sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal,
bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya, anak dengan kepandaian dan bakat
yang sedang-sedang saja, tetapi karena lingkungan sekolahnya baik, anak
tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses. Berdasarkan argumen di
atas, kemudian muncul formula bahwa apa yang disebut school culture sangat
vital perannya bagi sebuah proses pendidikan, demikian menurut Komaruddin
Hidayat (2010).
Banyak
nilai yang dapat dan harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah laksana taman
atau lahan yang subur tempat menyemaikan dan menanam benih-benih nilai
tersebut. Pemerintah sendiri telah membuat grand design pendidian
karakter dengan menempatkan empat nilai utama yang harus ditanamkan di sekolah.
Keempat nilai tersebut adalah: (1) Jujur dan bertanggung jawab (cerminan dari
olah hati); (2) Cerdas (cerminan dari olah pikir); (3) Sehat dan bersih
(cerminan dari olah raga); dan (4) Peduli dan kreatif (cerminan dari olah
rasa).
Sementara
itu, Lickona (2004) menyebutkan adanya sepuluh nilai utama yang bisa ditanamkan
oleh pihak sekolah . Kesepuluh nilai itu adalah sebagai berikut ;
1. Kebijaksanaan/Bijaksana (wisdom):
a. Keputusan yang baik; kemampuan untuk membuat keputusan
yang masuk akal (good judgment).
b. Memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana
caranya mempraktikkan nilai-nilai kebaikan.
c. Memiliki kemampuan untuk menentukan skala prioritas
dalam hidup (ability to set priorities).
2. Keadilan atau adil (justice):
a.
Kejujuran (fairness, mengikuti aturan).
b.
Rasa hormat (respect).
c.
Bertanggungjawab (responsibility).
d.
Tulus (honesty).
e.
Kesopanan (Courtesy/civility).
f.
Toleransi (tolerance).
3. Daya tahan (fortitude):
a.
Keberanian (courage).
b.
Elastisitas, daya lenting (resilience).
c.
Kesabaran (patience).
d.
Kegigihan, ketabahan hati (perseverance).
e.
Daya tahan, kesabaran (endurance).
f.
Percaya-diri (self-confidence).
4. Kontrol-diri (self-control):
a. Disiplin-diri (self-discipline).
b. Kemampuan untuk mengelola
emosi dan dorongan diri.
c. Kemampuan untuk menunda
kesenangan (to delay gratification) atau tidak cepat puas diri.
d. Kemampuan untuk melawan atau
tahan terhadap godaan (to resist temptation).
e. Moderat (moderation).
f. Kemampuan menjaga
kecenderungan seksnya (sexual self-control).
5. Cinta (love):
a.
Mengenali pikiran, perasaan, dan sikap orang lain (empathy).
b.
Memiliki rasa iba (compassion).
c.
Ramah dan penuh kasih sayang (kindness).
d.
Murah hati (generosity).
e.
Mudah menolong atau membantu (service).
f.
Setia (loyalty).
g.
Cinta tanah air (patriotism).
h.
Pemaaf (forgiveness).
6. Sikap positif (positive
attitude):
a. Penuh harapan (hope).
b. Bersemangat (enthusiasm).
c. Lentur, dapat berubah dengan mudah (flexibility).
d. Memiliki rasa humor (sense of humor).
7. Kerja Keras (hard works):
a.
Memiliki prakarsa (initiative).
b.
Tekun atau rajin (diligence).
c.
Penetapan atau perencanaan yang matang (good-setting).
d.
Kecerdikan atau kecerdasan (resourcefulness).
8. Kepribadian yang utuh (integritiy):
a. Mengikuti prinsip-prinsip moral (adhering to
moral principle).
b. Kesetiaan terhadap kata-hati (faithfulness to a
correctly formed conscience).
c. Menjaga perkataan atau satunya kata dan perbuatan (keeping
one's word).
d. Konsisten secara etik (ethical consistency).
e. Tulus atau Ihlas (being honest with oneself).
9. Perasaan berterima kasih (gratitude):
a. Kebiasaan berterima kasih (the
habit of being thankfull; appreciating one's blessings).
b. Kemampuan menghargai orang
lain (acknowledging one's debts to others).
c. Tidak suka komplain (not
complaining) atau tidak mudah menuduh.
10. Kerendah hati (humility):
a. Sadar-diri atau tahu diri (self-awarness).
b. Mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab (willingness
to mistakes and responsibility to them).
c. Keinginan untuk menjadi lebih baik (the desire
to become a better person).
Selanjutnya
Lickona (1998:53) menyebutkan adanya sebelas prinsip yang efektif dalam
menanamkan nilai-nilai karakter tersebut di atas, yaitu sebagai berikut ;
1. Memromosikan nilai-nilai pritoritas atau inti (seperti
sifat peduli, tulus (honesty), jujur (fairness), bertanggung
jawab, terbuka, rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain) dan mendukung
implementasi nilai-nilai tersebut sebagai dasar bagi karakter yang baik.
2. Mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang
meliputi aspek pemikiran, perasaan, dan perilaku.
3. Menggunakan pendekatan yang komprehensif, mendalam,
dan proaktif terhadap implementasi dan pengembangan karakter.
4. Menciptakan komunitas sekolah yang peduli.
5. Memberikan peluang kepada para siswa untuk melakukan
tindakan moral.
6. Menyusun kurikulum yang bermakna dan menghargai semua
siswa, mengembangkan karakter mereka, dan membantunya untuk mencapai
keberhasilan.
7. Berusaha keras untuk memelihara motivasi diri para
siswa.
8. Melibatkan semua warga sekolah sebagai komunitas
belajar dan moral yang bersama-sama bertanggung jawab terhadap implementasi dan
pengembangan karakter, dan berusaha untuk mentaati nilai-nilai prioritas atau
inti yang sama yang akan menjadi teladan bagi para siswa.
9. Memelihara kepemimpinan moral secara bersama-sama dan
mendukung inisiatif pendidikan karakter.
10. Melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai
patner dalam usaha membangun karakter.
11. Menekankan karakter sekolah dan menempatkan komponen
sekolah (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berfungsi sebagai guru dan teladan
bagi pembentukan karakter, hingga sampai kepada para siswa dalam mewujudkan
karakter yang baik.
Bersambung ....
0 comments:
Posting Komentar