Pembelajaran Sastra Lisan Jawa di Sekolah sebagai Alternatif Pembentukan Karakter
Oleh : Anas Ahmadi, M.Pd
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya
Oleh : Anas Ahmadi, M.Pd
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya
PENDAHULUAN
Saat ini, pamor bahasa Jawa mulai menggeliat lagi. Padahal, jika kita merunut ke belakang, sekitar tahun 2004-an, muncul wacana penghilangan bahasa Jawa sebagai muatan lokal di SMP. Hal tersebut semakin menguat dengan wacana yang menyatakan bahwa Jurusan/Prodi Bahasa Jawa akan ditutup. Hal tersebut disebabkan peminat bahasa Jawa semakin berkurang. Mengapa demikian? Karena wacana yang merebak di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa pengangkatan CPNS dari guru bahasa Jawa akan ditutup seiring dengan dihilangkannya mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Wacana tersebut tidak hanya berimbas pada masyarakat umum, tetapi dosen pengajar di Jurusan Bahasa Jawa juga sempat kelabakan dan bingung sebab mereka akan dipindah ke jurusan lain.
Namun, kebingungan dan ketakutan itu tidak berlalu lama sebab saat ini kondisinya sudah berubah. Kini, pemerintah membuka lagi lowongan CPNS untuk guru bahasa Jawa. Mata pelajaran bahasa Jawa dimunculkan lagi. Bahkan, di Surabaya ada sekolah yang memiliki hari wajib berbahasa Jawa. Mengapa demikian? Saat ini sedang mengemuka konsepsi berpikir global, bertindak lokal (act local, think global). Karena itu, optimalisasi kelokalan sangatlah diperlukan agar masyarakat (Jawa) Indonesia mampu bersaing di kancah global.
Jika ditilik lebih jauh, bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah menduduki peringkat ke-12 dunia dengan 75,6 juta penutur (Kisyani, 2009:4). Karena itu, seharusnya kita bangga menggunakan bahasa Jawa. Bahkan, dalam ceramah di hari pendidikan nasional di salah satu televisi swasta, tanggal 20 Mei 2010, Emha Ainun Najib mengungkapkan dengan lantang bahwa bahasa Jawa layak diusulkan menjadi bahasa PBB. Mengapa demikian? Karena bahasa Jawa merupakan bahasa yang kompleks dan mempunyai banyak khasanah kosakata.
Bertolak dari itu, pemantapan bahasa Jawa sangat diperlukan. Salah satu di antaranya adalah menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Hal itu sejalan dengan pandangan Alwi (2000:69) yang mengungkapkan bahwa bahasa Jawa bisa digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Jika hal tersebut berjalan dengan baik, bahasa Jawa bisa menjadi medium pengetahuan semesta dan pengetahuan budaya (Muadz, 2000:77). Dengan begitu, pemantapan bahasa Jawa memiliki dua sisi yang sangat bagus, yakni pengetahuan dan pemeliharaan kebudayaan lokal (local culture) Goodenough, 1981:97) dan pengetahuan lokal (local knowledge) (Geertz, 2003).
Saat ini, pamor bahasa Jawa mulai menggeliat lagi. Padahal, jika kita merunut ke belakang, sekitar tahun 2004-an, muncul wacana penghilangan bahasa Jawa sebagai muatan lokal di SMP. Hal tersebut semakin menguat dengan wacana yang menyatakan bahwa Jurusan/Prodi Bahasa Jawa akan ditutup. Hal tersebut disebabkan peminat bahasa Jawa semakin berkurang. Mengapa demikian? Karena wacana yang merebak di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa pengangkatan CPNS dari guru bahasa Jawa akan ditutup seiring dengan dihilangkannya mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Wacana tersebut tidak hanya berimbas pada masyarakat umum, tetapi dosen pengajar di Jurusan Bahasa Jawa juga sempat kelabakan dan bingung sebab mereka akan dipindah ke jurusan lain.
Namun, kebingungan dan ketakutan itu tidak berlalu lama sebab saat ini kondisinya sudah berubah. Kini, pemerintah membuka lagi lowongan CPNS untuk guru bahasa Jawa. Mata pelajaran bahasa Jawa dimunculkan lagi. Bahkan, di Surabaya ada sekolah yang memiliki hari wajib berbahasa Jawa. Mengapa demikian? Saat ini sedang mengemuka konsepsi berpikir global, bertindak lokal (act local, think global). Karena itu, optimalisasi kelokalan sangatlah diperlukan agar masyarakat (Jawa) Indonesia mampu bersaing di kancah global.
Jika ditilik lebih jauh, bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah menduduki peringkat ke-12 dunia dengan 75,6 juta penutur (Kisyani, 2009:4). Karena itu, seharusnya kita bangga menggunakan bahasa Jawa. Bahkan, dalam ceramah di hari pendidikan nasional di salah satu televisi swasta, tanggal 20 Mei 2010, Emha Ainun Najib mengungkapkan dengan lantang bahwa bahasa Jawa layak diusulkan menjadi bahasa PBB. Mengapa demikian? Karena bahasa Jawa merupakan bahasa yang kompleks dan mempunyai banyak khasanah kosakata.
Bertolak dari itu, pemantapan bahasa Jawa sangat diperlukan. Salah satu di antaranya adalah menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Hal itu sejalan dengan pandangan Alwi (2000:69) yang mengungkapkan bahwa bahasa Jawa bisa digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Jika hal tersebut berjalan dengan baik, bahasa Jawa bisa menjadi medium pengetahuan semesta dan pengetahuan budaya (Muadz, 2000:77). Dengan begitu, pemantapan bahasa Jawa memiliki dua sisi yang sangat bagus, yakni pengetahuan dan pemeliharaan kebudayaan lokal (local culture) Goodenough, 1981:97) dan pengetahuan lokal (local knowledge) (Geertz, 2003).
Penanganan yang serius terhadap bahasa Jawa memang mulai digalakkan sebab saat ini masyarakat Indonesia kecenderungan (1) lebih tertarik menggunakan bahasa asing (terutama bahasa Inggris) daripada menggunakan bahasa daerah; (2) pesatnya pengetahuan dan teknologi semakin mengikis identitas kedaerahan; (3) penggunaan bahasa Jawa di kalangan anak-anak kecil mulai tergantikan dengan bahasa nasional dan/atau bahasa asing; dan (4) kurangnya minat dan perhatian di kalangan generasi muda sekarang ini terhadap kebudayaan daerahnya merupakan hambatan yang belum dapat diatasi dalam rangka mewujudkan bahasa Jawa dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia sebagai alat pendukung kebudayaan daerah (Taha, 2000:34). Sejalan dengan pandangan Thomas & Wareing (1999:185), pemikiran yang stigmatis terhadap bahasa tersebut akan memengaruhi pola budaya (pattern of culture) masyarakat. Karena itu, jika dibiarkan, pemikiran yang stigmatis terhadap bahasa Jawa semakin lama akan mengikis eksistensi budaya Jawa di masa yang akan datang.
Sebenarnya, pemantapan terhadap bahasa Jawa dalam rangka pelestarian bahasa daerah yang mulai terkikis sudah sangat bagus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat, mulai dari pemerintah, peneliti, dan masyarakat. Namun, ada satu celah kecil yang belum terbidik dengan optimal dan hampir terlupakan, yaitu sastra lisan Jawa. Karena itu, tidak salah jika Hutomo (1991) menyatakan mutiara yang terlupakan untuk penyebutan terhadap sastra lisan Jawa yang mulai dilupakan dan terlupakan oleh masyarakat Jawa. Bertolak dari fenomena itu, dalam tulisan ini difokuskan pada pembelajaran sastra lisan Jawa di sekolah sebagai alternatif pendidikan karakter (character education).
PEMBAHASAN
Sastra Lisan Jawa Masa Kini
Sebenarnya, pemantapan terhadap bahasa Jawa dalam rangka pelestarian bahasa daerah yang mulai terkikis sudah sangat bagus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat, mulai dari pemerintah, peneliti, dan masyarakat. Namun, ada satu celah kecil yang belum terbidik dengan optimal dan hampir terlupakan, yaitu sastra lisan Jawa. Karena itu, tidak salah jika Hutomo (1991) menyatakan mutiara yang terlupakan untuk penyebutan terhadap sastra lisan Jawa yang mulai dilupakan dan terlupakan oleh masyarakat Jawa. Bertolak dari fenomena itu, dalam tulisan ini difokuskan pada pembelajaran sastra lisan Jawa di sekolah sebagai alternatif pendidikan karakter (character education).
PEMBAHASAN
Sastra Lisan Jawa Masa Kini
Sastra lisan pada hakikatnya ialah sastra yang diperdengarkan (Bartlett, 1965:244--245). Karena itu, ciri penanda sastra lisan, yakni (1) anonim, (2) materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi khas bagi masyarakatnya, (3) memunyai bentuk tertentu dan varian, (4) berkaitan dengan kepercayaan, dan (5) hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan (Hutomo, 1986:1). Saat ini, pembicaraan sastra lisan mulai mengemuka seiring dengan munculnya konsepsi tentang kearifan lokal (local wisdom) (Ahmadi, 2010:17) yang berusaha menggali dunia lokal agar tidak hilang dan tergerus oleh arus modernisme yang pragmatis.
Sejak lama, sastra lisan Jawa telah menyedot perhatian orang. Karena itu, sastra lisan dipandang memeliki keunikan. Dilihat dari aspek bentuk maupun kandungan makna, sastra lisan memiliki perbedaan dengan sastra tulis. Peranan sastra lisan dalam pembentukan budaya masyarakat Jawa sangat menonjol. Karena sastra lisan jawa merupakan warisan leluhur, di dalamnya tertanam pesan leluhur yang istimewa (Endraswara, 2005:14). Dengan demikian, kekuatan sastra lisan Jawa memang benar-benar memberikan efek filosofis yang mendalam bagi masyarakat Jawa (sebagai masyarakat kolektif).
Di era modernisme sekarang ini, sastra lisan Jawa mengalami dua hal besar. Pertama, pergeseran masyarakat pendukung. Jika dulu, banyak yang menyukai sastra lisan Jawa, tetapi sekarang berkurang seiring dengan kepesatan teknologi (TV, internet, dan HP), budaya lokal (local culture), pengetahuan lokal (local knowledge), dan kearifan lokal (local wisdom) mulai ditinggalkan Dunia yang kini serba virtual dan digital menggiring manusia ke arah budaya massa (populer culture) yang akan membuat individu menjadi manusia superior (Ahmadi, 2010:460). Penganut ketradisionalan kini akan dianggap sebagai individu-individu yang inferior. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan, generasi muda di masa depan tidak mengenal lagi pantun (parikan), peribahasa (bebasan), ataupun cerita rakyat (crito rakyat). Mereka hanya kenal dengan tokoh modern, misal Harry Potter, Superman, Transformer yang kesemuanya berbau asing. Mereka tidak kenal dengan tokoh Bawang Merah dan Bawang Putih, Sarip Tambak Oso, Nyi Roro Kidul.
Kedua, sastra lisan Jawa mengalami tranformasi. Pentransformasian sastra lisan tersebut dilakukan oleh para pencerita/tukang cerita dan atau masyarakat dengan cara mengganbungkan ketradisionalan dengan kemodernan, misal penceritaan sastra lisan menggunakan media panggung boneka. Dengan begitu, diharapkan anak-anak yang mendengarkan sastra lisan tidak jenuh sebab ada media tambahan, yakni boneka. Selain itu, sastra lisan juga dibukukan agar tidak punah. Dalam konteks ini, sastra lisan tersebut disebut dengan istilah sastra lisan sekunder.
Terobosan-terobosan yang mengusung sastra lisan Jawa kini diperkuat oleh berbagai pihak dengan harapan sastra lisan Jawa tetap eksis di masa datang. Terobosan tersebut, yakni perlombaan sastra lisan Jawa di sekolah dan/atau di kampus Jurusan Bahasa Jawa; kongres Bahasa Jawa; dan pemberian penghargaan pada anak-anak muda/orang yang berprestasi di bidang kesastralisanan Jawa. Dengan begitu, pandangan Koentjaraningrat (1992:118) tentang sastra daerah Jawa adalah kesusastraan terbesar dan terpanjang di bandingkan dengan sastra daerah lainnya.
Pembelajaran Sastra Lisan Jawa di Sekolah sebagai Alternatif Pembentukan Karakter
Pantun (Parikan)
Istilah parikan memang asli Jawa. Parikan identik dengan pantun dalam bahasa Indonesia. Karena genre ini memuat banyak pari, kemudian disebut dengan parikan (artinya; memuat banyak pari). Di dalamnya terkandung sampiran dan isi (Endraswara, 2005:59). Parikan tersebut merepresentasikan pendidikan karakter di dalamnya. Pendidikan karakter yang muncul dalam parikan adalah salah satu alternatif pembentukan pendidikan karakter pada anak-anak di sekolah.
Berkait dengan pendidikan karakter, Hidayatullah (2010:13) memaparkan bahwa pendidikan karakter berkait dengan kualitas atau kekuatan mental seseorang yang berbeda dengan orang lain. Lebih jauh, Baedhowi mengungkapkan bahwa pendidikan karakter secara universal, antara lain (1) kedamaian (peace), (2) menghargai (respect), (3) kerja sama (cooperation), (4) kebebasan (freedom), (5) kebahagiaan (happines), (6) jujur (honesty), (7) kerendahan hati (huminity), (8) kasih sayang (love), (9) tanggung jawab (responsibility), dan (10) kesederhanaan (simplicity), (11) toeleransi (tolerance), dan (12) persatuan (unity) (Baedhowi, 2010:3). Berikut dipaparkan contoh parikan yang didalamnya merepresentasikan pendidikan karakter (Daryanto, 1999:143—144).
Manuk tuhu menclok pager
Yen sinau mesthi pinter
Ngasah arit nganthi landhep
Dadi murid kudu sing sregep
Jemek-jemek gulo jawa
Aja sok ngenyek karo kanca
Parikan Manuk tuhu menclok pager, Yen sinau mesthi pinter (burung Tuhu hinggap di pagar, jika belajar, pasti pintar) merepresentasikan pendidikan karakter kegigihan dalam belajar. Jika belajar, pastilah pintar. Filosofi tersebut sangat dalam sebab saat ini kebanyakan murid-murid lebih suka nge-game daripada belajar. Mereka –para murid-- lebih disibukkan dengan dunia maya (facebook-an, chatting-an, BBM-an) yang sekarang sedang menjadi trend di Indonesia. Jika tidak mengikuti trend seperti itu, mereka dianggap jadul/ketinggalan zaman, kuper. Parikan Ngasah arit nganthi landhe, Dadi murid kudu sing sregep (Mengasah sabit sampai tajam, Jadi murid harus rajin). Parikan tersebut merepresentasikan pendidikan karakter yang berkait dengan kerajinan/keuletan dalam menimba ilmu di sekolah. Parikan Jemek-jemek gulo jawa, Aja sok ngenyek karo kanca (becek-becek gula jawa, jangan menghina sesama teman) merepresentasikan pendidikan karakter toeleransi dengan sesama teman. Dengan begitu, sesama teman mereka tidak mudah bermusuhan/bertengkar satu sama lain. Selain itu, pendidikan karakter rasa persatuan dengan sesama teman pun muncul dalam parikan tersebut.
Pepatah (Bebhasan)
Pepatah (bebhasan) merupakan perumpamaan/ungkapan-ungkapan rakyat yang memiliki nilai filosofis. Bebhasan tersebut dituturkan oleh orang tua sebagai
- wejangan luhur yang diberikan kepada anak-anaknya berkait dengan masalah duniawi atau ukhrowi dan
- sindiran/kritikan terhadap orang yang akan/telah melakukan perbuatan yang dianggap melanggar etika masyarakat. Melalui bebhasan, diharapkan orang yang melanggar tersebut tidak merasa terlalu dihakimi.
Sluman slumun slamet
Tandang tanduke tansah ngati-ati
Sepi ing pamrih rame ing gawe
Tumandang gawe tanpa duwek melik
Pager mangan tanduran
Dipercaya malah ngrusak
Becik ketitik ala ketara
Becik ala bakal ketara ing mburine
Esuk dele, sore tempe
Ora teteg atine
Tandang tanduke tansah ngati-ati
Sepi ing pamrih rame ing gawe
Tumandang gawe tanpa duwek melik
Pager mangan tanduran
Dipercaya malah ngrusak
Becik ketitik ala ketara
Becik ala bakal ketara ing mburine
Esuk dele, sore tempe
Ora teteg atine
Bebhasan-bebhasan tersebut merepresentasikan pendidikan karakter sebagai berikut. Bebhasan Sluman slumun slamet, Tandang tanduke tansah ngati-ati (sluman slumun slamet, tindak tanduknya selalu berhati-hati) merepresentasikan pendidikan karakter keberhati-hatian dalam melakukan segala tindakan. Hal tersebut sangatlah perlu dilakukan agar kita tidak melanggar etika di masyarakat. Bebhasan Sepi ing pamrih rame ing gawe, Tumandang gawe tanpa duwek melik (sepi di pamrih, ramai di pekerjaan, bekerja tanpa mengharapkan imbalan yang besar) merepresentasikan pendidikan karakter kerendahhatian. Meskipun kita telah bekerja dengan sekuat tenaga dan maksimal, tetapi tidak tidak mengharapkan imbalan yang besar. Bebhasan Pager mangan tanduran, Dipercaya malah ngrusak (pagar makan tanaman, dipercaya malah merusak) merepresentaskan pendidikan karakter tanggung jawab. Jadi, ketika kita diserahi tanggung jawab untuk menjaga sesuatu kita tidak boleh merusaknya. Bebhasan Becik ketitik ala ketara, Becik ala bakal ketara ing mburine (Bagus tampak dan jelek kelihatan, bagus jelek akan terlihat/terbongkar suatu saat) merepresentasikan pendidikan karakter menjunjung kebenaran dan kebaikan sebab kebenaran dan kebaikan atau keburukan pasti akan kelihatan kelak. Bebhasan Esuk dele, sore tempe, Ora teteg atine (pagi kedelai, sore tempe, orang yang plin-plan) merepresentasikan pendidikan karakter kejujuran. Karakter kejujuran saat ini sangatlah diperlukan agar kelak ke depan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang penuh dengan manusia-manusia yang jujur, bukan penipu, pembual, pembohong, atau pengorup. Selain itu, di zaman sekarang banyak orang-orang yang memliki intelektualitas tinggi, tetapi mereka tidak memiliki kejujuran. Jika dibiarkan demikian, bangsa dan negara mudah hancur. Karena itu, dibutuhkan orang-orang yang berintelektualitas tinggi dan memiliki kejujuran yang tinggi pula.
Cerita rakyat (Crito Rakyat)
Cerita rakyat pada hakikatnya berkait dengan cerita yang diperdengarkan/dilisankan oleh sang penutur. Cerita rakyat dalam pandangan Danandjaja (1997:50) merupakan genre sastra lisan yang paling banyak dikaji. Faktor penyebab banyaknya pengajian terhadap cerita rakyat, antara lain (1) data yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan data genre sastra lisan yang lain, misal teka-teki, ungkapan rakyat, puisi rakyat, pantun rakyat; cerita rakyat masih lebih eksis di kalangan masyakat masa kini (meskipun sekarang mengalami penurunan); dan (3) teori-teori sastra lisan yang dimunculkan oleh para teoretisi cenderung mengarah pada cerita rakyat.
Seiring dengan perkembangan dunia penelitian dan zaman, cerita rakyat hampir sama dengan sastra lisan lainnya, menjadi sastra lisan sekunder (dibukukan/ditulis). Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar cerita rakyat tidak punah seiring dengan meninggalnya para penutur aktif sastra lisan.
Menghargai (respect)
Representasi pendidikan karakter yang berkait dengan rasa menghargai tampak dominan pada cerita “Asal Usul Cianjur” (Jawa Barat). Dalam cerita tersebut diksahkan seorang laki-laki kaya raya yang kikir. Ia sangat tidak menghargai orang miskin yang ada di sekitarnya.
“Tuan, berilah hambamu sedekah, walau hanya sesuap nasi,” ungkap seorang nenek tua.
“Apa! sedekah, kau kira untuk menanak nasi tidak perelu jerih payah?”
“Berilah hambamu ini sedikit saja dari harta tuan yang melimpah,”
“Tidak! cepat pergi dari sini . kalau tidak, aku akan suruh tukang pukul untuk menghajarmu!” (Rahimsyah, tt:52).
Bertolak dari kutipan tersebut tampak secara implisit bahwa orang yang kaya raya tersebut tidak menghargai si miskin. Karena itu, filosofinya, secara catharsis, kita harus menghargai orang-orang, meskipun orang tersebut orang miskin. Kebanyakan, masyarakat sekarang sangat menghargai orang kaya, sedangkan orang miskin sangat tidak dihargai. Hal tersebut tidak lepas dari pepatah lama, ada gula ada semut, di mana ada susuatu yang yang manis/menguntungkan, orang akan datang berduyun-duyun ke sana. Namun, sebaliknya, jika ada sesuatu yang tidak menguntungkan, orang akan berusaha untuh menjauhinya.
Dalam cerita Nyi Roro Kidul (Jawa Barat) dikisahkan bahwa seorang perempuan putri raja, Dewi Suwido namanya, memiliki wajah yang buruk. Selain itu, ia mengidap penyakit lepra, penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat sebab penyakit tersebut menular dna menimbulkan bau busuk. Karena mengidap penyakit tersebut, Dewi Suwido tidak disukai orang lain. Bahkan, mereka tidak mau menjumpai putri tersebut.
“Ah, Nak. Kamu mengidap penyakit lepra. Penyakit itu adalah penyakit yang berbahaya dan dihantui. Kau akan kuasingkan dari istana” (Hidayat, 2000:40).
Berdasarkan pada kutipan tersebut tampak bahwa seorang ayah sama sekali tidak menghargai anaknya. Ia rela membuang anaknya gara-gara anaknya terkena penyakit lepra. Padahal, seburuk-buruknya anak, tetap harus klita anggap anak. Kita tidak boleh membuangnya sebab anak adalah anugerah dari Tuhan. Fenomena tidak menghargai yang dimunculkan dalam cerita tersebut mempunyai filosofi bahwa kita harus menghargai siapa saja, meskipun orang tersebut mempunyai kecacatan/keburukan.
Dalam cerita “Situ Bagendit” (Jawa Barat) dikisahkan tentang seorang perempuan janda yang sangat kikir. Sebagai orang yang sangat kaya raya, sudah selayaknya ia membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Namun, ia malah menghina orang-orang yang membutuhkan pertolongan Ia juga tidak menghargai orang lain, terutama orang miskin. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut.
Hai mau apa kau pengemis busuk! Pergi kau dari rumahku ! dengan gusar Nyi Endit membentak (Hidayat, 2000:43).
Binatang! Hai pengawalku, ayo kepruk dan cincang pengemis busuk itu!” teriak Nyi Endit (Hidayat, 2000:43).
Nyi Bagendit tidak hanya mencaki-maki pengemis yang meminta sedekah kepadanya. Nyi Bagendit juga menyuruh para pengawalnya untuk menghajar pengemis tersebut. Rasa belas kasihan ataupun rasa mengharagai sama sekali tidak tebersit dalam benak Nyi Endit. Karakter yang tidak menghargai tersebut hampir sama dengan kisah “Asal-usul Cianjur” dan “Nyi Roro Kidul”. Fenomena tersebut tidak jauh berbeda dengan cerita “Batu Raden” (Jawa Tengah). Dalam cerita tersebut dikisahkna tentang seorang perempuan anak adipati yang mencintai seorang pembantu. Namun, keluarga adipati sangat tidak setuju jika si putri menikah dengan anak pembantu tersebut.
“Dia hanya anak pembantu! Sedangkan dirimu putri seorang adipati. Kau tak boleh menikah dengannya, anakku!” kata sang adipati (Hidayat, 2000:33).
Sang adipati sama sekali tidak menghargai percintaan yang sedang melanda putrinya. Padahal, putrinya, sangat mencintai Suta, anak pembantu. Karena itu, dalam konteks ini, rasa menghargai sebenarnya harus dijalin dengan kuat, bukannya malah melarang sang putri menikah dengan Suta. Dengan begitu, pendidikan karakter yang berkait dengan rasa saling menghargai perlu ditingkatkan agar tidak menyakiti perasaan orang lain.
Jujur (honesty)
Representasi pendidikan karakter yang berkait dengan kejujuran tampak dominan dalam cerita “Asal-usul Industri Kretek” (Jawa Tengah). Dalam cerita rakyat tersebut berkisah tentang seorang pelukis kerajaan yang dituduh melarikan putri kerajaan. Karena pelukis tersebut tidak melarikan si putri, ia berkata dengan jujur bahwa dirinya tidak melarikan tuan putri.
Ketika mendengar peristiwa tersebut, Ki Ageng Luwih hanya dapat memohon ampun dan menegaskan ketidaktahuannya karena memang sudah sekian lama tidak sempat menghadap sang prabu. Akan tetapi, jawaban itu tidak didengar oleh sang patih. Kemudian, terjadilah perdebatan sengit dan berkembang menjadi perang yang seru. Karena kekuatan Ki Patih berlebih, pada akhirnya Ki Ageng Luwih terpaksa menyerak kalah dan bersedia dihadapkan ke istana Majapahit. Di hadapan persidangan tersebut, Ki Ageng Luwih tetap bertahan pada pendiriannya bahwa dirinya memang tidak mengetahui sama sekali tentang kisah hilangnya Dewi Nawangsekar (Yudiono & Kismarmiati, 2001:9).
Tanggung jawab (responsibility)
Representasi pendidikan karakter yang berkait dengan tanggung jawab (responsibility) tampak dominan dalam cerita “Kasada” (Jawa Timur). Cerita tersebut berkisah tentang Jaka Seger yang berjanji akan mengorbankan anak yang bungsu jika mereka bisa mempunyai anak. Janji tersebut dimunculkan oleh Jaka Seger sebab ia belum mempunyai anak setelah menikah selama belasan tahun dengan Rara Anteng. Tatkala ia mempunyai anak yang berjumlah sepuluh, ia pun teringat akan janjinya untuk mengorbankan sang anak. Namun, sebagai orang tua ia juga mempunyai tanggung jawab untuk menceritakan hal tersebut kepada anaknya. Karena itu, ia menceritakan kepada anaknya bahwa dulu dirinya pernah berjanji akan mengorbankan anak yang terakhir jika dikaruniai anak.
“Dia benar-benar menagih janji sumpah kita!” kata Ki Seger pelan. Matanya kosong menatap puncak gunung Bromo yang menggelegak mengeluarkan lava panas.
Ucapan Ki Seger menumbuhkan rasa ingin tahu anak-anaknya. Karena tak punya pilihan lagi, maka Ki Seger terpaksa membeberkan rahasia yang selama ini terselubung.
Sebagai seorang ayah, Jaka Seger berrtanggung jawab pada kehidupan anak dan istrinya. Namun, sebagai seorang pemimpin masyarakat, ia juga mempunyai tanggung jawab kepada masyarakatnya. Dengan demikian, Jaka Seger harus bertanggung jawab pada keduanya, keluarga dan masyarakat. Namun, dalam rangka pemenuhan janji yang berkait dengan pengorbanan sang anak, ia mengalami dilema. Di sisi lain, jika anak tidak dikorbankan, Gunung Bromo akan meletus sebagai bentuk kemarahan para dewa yang menagih janji Jaka Seger. Di sisi lain, yang harus dikorbankan adalah anaknya sendiri yang paling dicintainya. Tanggung jawab yang dipikul oleh Jaka Seger. Tetapi, dia tetap bertanggung jawab. Ia mengatakan pada anaknya bahwa sang anak harus dikorbankan ke Gunung Bromo.
Dalam cerita “Roro Jongrang” (Jawa Barat) dikisahkan bahwa Roro Jongrangtidak menyukai laki-laki yang bernama Jaka Bandung sebab laki-laki tersebut telah membunuh ayah Roro Jongrang. Namun, Roro Jongrang tidak mampu menolaknya. Akhirnya, ia memberi satu permintaan kepada Jaka bandung. Ia meminta Jaka bandung membuat seribu candi dalam waktu semalam. Ia berpikir bahwa Jaka Bandung tidak mungkin menyanggupi hal tersebut. Namun, ternyata Jaka Bandung menyanggupinya. Dalam pengerjaan membuat candi, Jaka Bandung hampir menyelesaikan seribu candi dalam satu malam. Melihat hal tersebut, Roro Jongrang takut. Karena itu, dia mencari cara agar Jaka Bandung tidak mampu menyelesaikan pembuatan seribu candi.
Roro Jonggrang menjadi kecut hatinya. Ia khawatir Joko bandung akan mampu menyelesaikan syarat yang dimintanya. Dengan demikian ia akan menjadi istri lelaki yang dibencinya, lelaki pembunuh orang tuanya. Roro Jonggrang kemudian membangunkan gadis-gadis desa di kerajaan Prambanan. Mereka diperintahkan menyalakan obor dan memukul-mukulkan alu pada lesung. Maka terdengarlah suara yang riuh dan suasana yang terang, sehingga ayam jantan pun berkokok sahut-menyahut. Mendengar suara itu, para makhluk halus itu segera meninggalkan pekerjaannya. Disangkanya hari telah pagi dan matahari akan segera terbit (Hidayat, 2000: 11).
Berdasarkan kutipan tersebut tampak secara implisit bahwa si Roro Jongrang tidak bertanggung jawab terhadap janji yang diberikan kepada Jaka Bandung. Semula, ia berjanji bahwa dirinya mau menikah dengan Jaka Bandung jika Jaka Bandung mampu membangun seribu candi untuk dirinya. Namun, ketika Jaka Bandung akan menyelesaikan seribu candi, Roro Jongrang mencari cara untuk menggagalkan pembuatan seribu candi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Roro Jongrang tidak bertanggung jawab sama sekali.
Pembelajaran Sastra Lisan Jawa di Sekolah sebagai Alternatif Pembentukan Karakter: Menatap (Tantangan) Esok
Pembelajaran sastra lisan Jawa di sekolah merupakan alternatif terobosan baru pengenalan sastra lisan untuk anak-anak zaman sekarang. Anak-anak sekarang yang mulai pudar mentalitas lokalitasnya, haruslah sesegera mungkin dikuatkan lagi mentalitas lokalitasnya. Dengan begitu, kesadaran akan budaya lokal tetap akan terjaga. Melalui pembelajaran sastra lisan di sekolah,diharapkan pendidikan karakter yang ada di dalamnya bisa digunakan untuk membentuk karakter siswa/siswi agar menjadi manusia yang cerdas dan beretika.
Berkait dengan hal tersebut, dalam perjalanan pembelajaran sastra lisan Jawa di sekolah, terdapat beberapa tantangan yang harus dilalui. Pertama, dari pihak guru, saat ini jarang ditemukan guru yang menyukai sastra, terutama sastra lisan. Hal ini ditegaskan oleh Taufiq Ismail bahwa kita adalah bangsa yang rabun sastra sebab masyarakat Indonesia kurang begitu menyukai masalah kesastraan (Ismail, 2000:673). Begitu pula dengan sastra daerah, sastra lisan Jawa, tidak begitu banyak orang yang memahaminya. Padahal, Jawa adalah daerah yang sangat kaya akan sastra lisan. Guru yang kurang optimal dalam bidang kesastralisanan Jawa secara tidak langsung akan meminggirkan sastra lisan sebab mereka tidak mengajarkan sastra lisan Jawa di sekolah dengan optimal. Karena itu, guru-guru bahasa Jawa diharapkan mendapatkan input yang berkait dengan sastra lisan Jawa, misal sarasehan, seminar, dan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi.
Kedua, peserta didik, saat ini peserta didik lebih berminat dengan suatu yang modern, mereka kurang suka dengan ketradisionalan, salah satunya sastra lisan. Dengan demikian, sastra lisan Jawa haruslah dioptimalkan agar tidak ketinggalan zaman, salah satu caranya dengan penghibridasian sastra lisan Jawa dengan media yang lain.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan di muka dapat disimpulkan bahwa sastra lisan Jawa sangatlah penting dalam kaitannya dengan pembentukan karakter pada anak siswa/siswi di sekolah. Karena itu, diharapkan, ada sinergi antara guru, murid, masyarakat, dan penentu kebijakan dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra lisan di sekolah. Jika sastra lisan Jawa diajarkan di sekolah, anak-anak akan mengenal secara implisit/eksplisit representasi pendidikan karakter yang ada di sekolah. Dengan demikian, akan terbentuk karakter yang cerdas, beretika, dan beriman.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Anas. 2010a.” Legenda Kera Sakti dari Cina: Kajian Psikoanalisis C. G. Jung”. Jurnal Sastra dan Seni (JSS) 1 (1) 15—20.
__________. 2010b. “Revitalisasi Bahasa dan Sastra Lisan Madura di Pulau Raas”. Makalah disajikan pada Seminar Internasional “Austronesian Languages and Literatures: Discovering the Linguistic Potential of the Austronesian Languages for the Linguistic Advancement and for the Maintenance of the Language” di Udayana, Denpasar, Bali tanggal 19—20 Juli
Bartlet, F.C. (1965) Some Experiment on the Introduction of the Folklore. Dalam: A Dundes (ed). The Study of Folklore. Englewood, N.J.: Prentice Hall. 243—258.
Alwi, Hasan. 2000. “Pelestarian Bahasa Daerah. Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII”. Jakarta: Depdiknas.
Danandjaja, J. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Daryanto. 1999. Basa Jawa Pepak. Surabaya: Apollo.
Endraswara, E. 2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Geertz, C. 2003. Pengetahuan Lokal. Terjemahan. Merapi: Yogyakarta.
Hidayat, K. 2000. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Pustaka Agung: Surabaya.
Hutomo, S.S. 1989. “ Perkembangan Cerita Rakyat Sampai saat ini dan Usaha-usaha untuk Menumbuhkannya”. Jurnal Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan 20 (10):1—10.
__________. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.
Ismail, T. 2000. Tentang Cara menjadi bangsa yang Rabun dan Lumpuh Menulis Pula sehingga Jelas di Dunia Kita Pakar Terkemuka Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdiknas
Goodenough, W.H. 1981. Culture, Language, and Society. Benjamin Publising Company: California.
Kisyani. 2009. “Bahasa Daerah di Indonesia: Meretas Jalan untuk Bertahan Hidup dan/atau Berkembang”. Di sampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Linguistik pada Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa tanggal 26 Februari.
Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Rahimsyah. Tt. Cerita Rakyat Jawa Barat. Mitra Cendekia: Surabaya.
Muadz, H. 2000. “Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar dan sebagai Mata Pelajaran dalam Sistem Pendidikan”. Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdiknas.
Thaha, Z. 2000 “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Era Globalisasi”. Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdiknas.
Thomas, L. & Wareing, S. 1999. Language, Society, and Power. Roudledge: London.
Yudiono, K.S. & Kismarmiati. 2001. Cerita Rakyat dari Kudus. Jakarta: Grasindo.
0 comments:
Posting Komentar