Cari Blog Ini

Minggu, 26 Februari 2012

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH


MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
DALAM  PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH
Oleh : DRA. ERLINA WIYANARTI , M.Pd

A. Pengantar

Setelah Anda mempelajari dan mengkaji hal metodologi pembelajaran sejarah , maka selanjutnya Anda akan di ajak untuk memahami salah satu model pembelejaran sejarah . Simaklah uraian materi berikut ini !
” Guru yang bermutu memungkinkan peserta didiknya untuk tidak hanya dapat mencapai standar nilai akademik secara nasional , tetapi juga mendapat pengetahuan dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidup mereka ”
Bangsa – bangsa yang pada masa lalu dibangun sebagian besar akibat penindasan bangsa lain , pada era global ini harus mempertahankan identitas - nasional dalam lingkungan yang kolaboratif . Dan menurut Collingwood ( 1956) pembentuk identitas nasional suatu bangsa tiada lain adalah sejarah . Bahkan dikatakan bahwa pengetahuan sejarah selain sangat fundamental dalam pembentukan identitas nasional juga sumber inpirasi yang sarat makna dalam pengembangan kesadaran sejarah para generasi muda . Soedjatmoko ( 1995) mengatakan bahwa kesadaran sejarah merupakan orentasi intelektual dan sikap jiwa yang perlu untuk memahami secara tepat faham kepribadian nasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesadaran sejarah akan mampu membimbing manusia kepada pengertian mengenai diri sendiri sebagai bangsa. Memahami betapa pentingnya kesadaran sejarah , maka pengembangan pendidikan sejarah merupakan tuntutan untuk melahirkan generasi bijaksana yang mampu menyelesaikan permasalahan bangsa dengan bijaksana .
Sejarah itu penting dan menentukan , tetapi tidak final . Dalam sejarah di tunjukan bahwa kebenaran tentang peristiwa – peristiwa yang sudah terjadi , oleh karenanya sejarah itu hendaknya dijadikan pelajaran serta peringatan bagi manusia yang beriman dan ahli fikir . Melalui pelajaran dan peringatan tersebut seseorang tidak akan kehilangan arah dan tujuan hidupnya dalam menyongsong berbagai tantangan masa depan . Memahami hakekat sejarah tersebut , mengutip pendapat Ismaun ( 2005) , kita hendaknya tidak hanya belajar tentang sejarah , melainkan juga belajar dari sejarah , karena sejarah menyimpan pengalaman berharga yang dapat memberikan kearifan . Oleh karena itu penting sejarah dipelajari agar seseorang dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang telah terjadi di masa lalu , seperti yang diungkapkan dalam ungkapan – ungkapan bijak antara lain ” Manusia hendaknya tidak terjatuh dua kali pada lubang yang sama ! ” , ” Histiroria Vitae Magistra ! Sejarah adalah guru kehidupan ! ”. Bahkan ada ungkapan penegasan bahwa sejarah penting dipelajari karena sejarah itu tempat suatu bangsa berangkat !
Mempelajari sejarah tidak ada artinya bila tidak disertai pemahaman akan nilai yang terkandung , fungsi dan manfaatnya . Menurut Ismaun (2005 ) melalui berbagai kajian yang dalam terhadap berbagai pendapat dan pengalaman orang – orang bijak di masa lalu , sekalipun nilai – nilai dalam sejarah itu hanya berupa pengalaman – pengalaman manusia, tapi tidak bisa dibantah bahwasanya manusia itu pada umumnya gemar menggunakan pengalaman – pengalaman itu sebagai pedoman atau contoh untuk memperbaiki kehidupannya . Sedangkan fungsi sejarah pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan pengertian atau pemahaman yang mendalam dan lebih baik tentang masa lampau dan juga masa sekarang dalam inter relasinya dengan masa datang . Sedangkan kegunaan atau manfaat sejarah ada empat yakni yang bersifat edukatif yakni bahwa pelajaran sejarah membawa kebijaksanaan dan kearifan ; kedua , yang bersifat inspiratif artinya memberi ilham ; ketiga, bersifat instruktif, yaitu membantu kegiatan menyampaikan pengetahuan atau ketrampilan , dan keempat , bersifat rekreatif , yakni memberikan kesenangan estetis berupa kisah – kisah nyata yang di alami manusia .
Pendidikan sejarah di era global dewasa ini menghadapi tantangan dan dituntut kontribusinya untuk lebih menumbuhkan kesadaran sejarah , baik pada posisinya sebagai anggota masyarakat maupun warga negara, serta mempertebal semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air tanpa mengabaikan rasa kebersamaan dalam kehidupan antar bangsa di dunia . Pendidikan sejarah dapat meningkatkan kesadaran sejarah guna membangun kepribadian dan sikap mental peserta didik , serta membangkitkan kesadaran akan suatu dimensi yang paling mendasar dari keberadaan manusia , yakni kontinuitas . Kontinuitas pada dasarnya adalah gerakan peralihan secara terus menerus dari masa lampu ke masa kini dan masa depan . Selain itu pendidikan sejarah di tuntut pula untuk memperhatikan pengembangan ketrampilan berfikir dalam proses pembelajarannya . Melalui pendidikan sejarah peserta didik diajak menelaah keterkaitan kehidupan yang di alami diri, masyarakat dan bangsanya , sehingga mereka tumbuh menjadi generasi muda yang memiliki kesadaran sejarah , mendapatkan inspirasi ataupun hikmah dari kisah – kisah pahlawan , maupun tragedi nasional , yang pada akhirnya memdorong terbentuknya pola berfikir ke arah berfikir secara rasional – kritis –empiris , dan yang tidak kalah pentingnya ialah pembelajaran sejarah yang mengembangkan sikap mau menghargai nilai – nilai kemanusiaan .
Tujuan pendidikan sejarah menurut Bourdillon ( 1994) idealnya adalah membantu peserta didik meraih kemampuan sebagai berikut : (1) memahami masa lalu dalam konteks masa kini, (2) membangkitkan minat terhadap masa lalu yang bermakna, (3) membantu memahami identitas diri, keluarga , masyarakat dan bangsanya , (4) membantu memahami akar budaya dan inter relasinya dengan berbagai aspek kehidupan nyata , (5) memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang negara dan budaya bangsa lain di berbagai belahan dunia , (6) melatih berinkuiri dan memecahkan masalah , (7) memperkenalkan pola berfikir ilmiah dari para ilmuwan sejarah sejarah , dan (8) mempersiapkan peserta didik untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi .Pokok – pokok pemikiran tentang tujuan pendidikan sejarah tersebut di atas juga terkandung di dalam rumusan tujuan pendidikan sejarah di Indonesia. Hal senada dikemukakan juga dalam rumusan tujuan pendidikan sejarah di Indonesia , yang menyatakan bahwa pendidikan sejarah bertujuan untuk menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu, dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan , memahami , dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu , masa kini , dan masa depan ditengah – tengah perubahan dunia ( Depdiknas,2003).
Selama ini pendidikan sejarah di identikan sebagai pembelajaran yang membosankan di kelas . Baik strategi , metode maupun teknik pembelajaran lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis guru yang monoton , dan meminimalkan partisipasi peserta didik . Guru di posisikan sebagai satu – satunya dan pokok sumber informasi , peserta didik tertinggal sebagai objek penderita manakala guru sebagai segala sumber dan pengelola informasi hanya mengajar dengan metode ceramah dan tanya jawab yang konvensional. Sehingga pembelajaran sejarah disamping membosankan , juga hanya menjadi wahana pengembangan ketrampilan berfikir tingkat rendah dan tidak memberi peluang kemampuan berinkuiri maupun memecahkan masalah . Memahami kenyataan umum pembelajaran sejarah di lapangan tersebut , yang menjadi penyebab utama adalah guru . Untuk itu para guru sejarah di lapangan di tantang untuk memiliki motivasi , keinginan , antusiasme dan kreatifitas mengembangkan dan meningkatkan kompetensi mengajar melalui pengayaan dan penguasaan berbagai model dan strategi pembelajaran sejarah .
Berdasarkan pemahaman akan pengertian , nilai , fungsi dan tujuan sejarah serta kondisi pendidikan sejarah di lapangan tersebut di atas , maka diperlukan pengkajian dan latihan penguasaan model – model pembelajaran bagi para guru sejarah . Model – model pembelajaran yang di kembangkan idealnya adalah yang bisa meningkatkankan minat belajar dan menumbuhkan kesadaran sejarah peserta didik dan sekaligus merasakan manfaat belajar sejarah . Oleh karena itu model pembelajaran yang dikembangkan di arahkan untuk menumbuhkan motivasi ,minat, kreativitas melalui partisipasi aktif yang pada akhirnya mendorong tumbuhnya kemampuan yang bersifat inovatif dari para peserta didik .
Proses penguasaan berbagai model pembelajaran sejarah oleh para guru harus melalui latihan, pengalaman dan uji coba yang terus menerus dengan semangat dan tulus. Dengan kata lain proses tersebut harus dijalani dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sekalipun demikian langkah awal harus segera di mulai , tak ada langkah seribu jika tak ada langkah pertama ! Dan untuk itu mari kita mulai dengan memahami berbagai model - model pembelajaran sejarah , dan pilihan model mana yang akan di gunakan di dalam kelas Anda , terserah kepada Anda sebagai guru sejarah yang arif , kreatif , inovatif dan bijaksana .

B.Pengertian Model Pembelajaran

Pembelajaran secara luas dapat dimaknai sebagai proses keterlibatan ( engagement ) totalitas diri peserta didik dan kehidupannya secara terarah , terkendali kearah penyempurnaan , pembudayaan , pemberdayaan totalitas diri dan kehidupannya melalui proses learning to know, learning to belief , learning to do , dan to be serta learning to life together (Gredler, 1994; Delors, 1996 ) . Sedangkan model pembelajaran dipahami sebagai suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial, dan untuk menentukan perangkat – perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku – buku , film , komputer , kurikulum , dan lain – lain ( Joyce ,1992 ;Dahlan 99 ) . Selanjutnya Joyce mengatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai . Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak ( 1996) yang berpendapat bahwa model pembelajaran jika dirancang dengan baik akan memberikan kerangka dan arahan bagi guru untuk mengajar . Dengan demikian model pembelajaran sejarah dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar sejarah , untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu . Adapun fungsinya adalah sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan pengajar sejarah dalam merencanakan aktivitas belajar – mengajar.
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi , metode . Jika model pembeajaran diartikan sebagai suatu pedoman ataupun kerangka acuan berfirkir , maka strategi di maknai sebagai pola kegiatan pembelajaran yang berurutan yang diterapkan dari waktu ke waktu yang di arahkan untuk mencapai suatu hasil belajar peserta didik yang diinginkan . Model pembelajaran menurut Dahlan ( 1990) memiliki empat ciri khusus yakni :
(1) Rasional teoritik logis yang utuh dan menyeluruh yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya .
Sebagai contoh manakala seorang guru mendisain dan melaksanakan model pembelajaran berbasis masalah , maka di rancang ada kelompok – kelompok kecil peserta didik bekerja sama memecahkan masalah yang telah disepakati oleh mereka dengan bimbingan guru . Ketika guru sedang menerapkan model tersebut , tidak jarang peserta didik menggunakan bermacam – macam ketrampilan , prosedur pemecahan masalah dan berfikir kritis. Sehingga mengantisipasi akan munculnya fenomena tersebut dalam proses pembelajaran , maka guru yang bersangkutan menggunakan landasan teori konstruktivis sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaannya .
(2) Landasan pemikiran tentang sintax ( pola urutan ) .
Berkaitan dengan contoh tersebut di atas , sintax ( pola urutan ) yang di tempuh oleh guru mengacu pada klasifikasi yang berlandaskan tujuan pembelajaran . Melalui model pembelajaran berbasis masalah , diharapkan peserta didik mampu menemukan , memecahkan masalah hingga mengambil kesimpulan secara mandiri dengan di fasilitasi oleh guru . Tujuan pembelajaran tersebut bisa optimal dicapai dalam pola urutan yang dirancang berlandaskan pemahaman bahwa peserta didik akan mampu mencapai tujuan tersebut secara mandiri , jika di beri ruang yang seluas luasnya dalam membangun / mengkonstruk ketrampilan tersebut. Pada model pembelajaran tersebut guru bertugas memandu peserta didik menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap – tahap kegiatan ; guru memberi contoh mengenai penggunaan ketrampilan dan stategi yang dibutuhkan agar tugas- tugas tersebut dapat di selesaikan . Guru berkewajiban menciptakan iklim kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh peserta didik .
(3) Perilaku ( kinerja ) mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil .
Serangkaian kegiatan pembelajaran di rancang oleh guru secara menyeluruh mulai dari tahap awal hingga penutup. Pola urutan dari suatu model pembelajaran tertentu akan menunjukan / memunculkan dengan jelas kegiatan – kegiatan yang harus di lakukan baik oleh guru maupun peserta didik , agar tujuan pembelajaran di capai dengan optimal . Namun demikian apa pun model yang dilaksanakan , pada umumnya pola urutan suatu model pembelajaran mengandung komponen – komponen yang sama , yakni tahap pembukaan /awal , yang di ikuti dengan tahap kegiatan pembelajaran , dan akan di akhiri dengan tahap akhir yakni menutup pembelajaran . Berkenaan dengan contoh tersebut di atas maka urutan kegiatan pembelejaran akan ditempuh melalui aktivitas awal dimana guru berupaya menarik perhatian dan memotivasi peserta didik agar terlibat dalam proses pembelajaran berbasis masalah , tahap berikutnya guru menfasilitasi aktivitas peserta didik menemukan masalah hingga mampu menyimpulkan , dan tahap terakhir adalah guru dan peserta didik menutup pembelajaran , dimana terkandung kegiatan pada tahap tersebut merangkum pokok- pokok pembelajaran .
(4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat di capai
dengan sukses.
Tiap – tiap model pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda. Untuk model pembelajaran berbasis masalah lingkungan kelas yang demokratis dan koopertif harus menjadi syarat utama bagi tumbuhnya keterbukaan dan kebebasan dalam mengkomunikasikan pemikiran – pemikiran para peserta didik , dan dengan itu pula di ciptakan iklim yang kondusif untuk pengembangan ketrampilan bekerjasama. Guru yang otoriter akan sangat kontra produktif dalam pelaksanaan model tersebut .
Arends (2001) mengatakan bahwa tidak ada satu model pembelajaran yang paling baik diantara lainnya , karena masing – masing model pembelajaran dapat dirasakan baik jika telah di ujicobakan untuk mengajarkan materi tertentu . Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi yang cermat dan bijak di dalam memilih model pembelajaran sejarah yang cocok untuk mengajarkan suatu materi tertentu. Yang paling paham model pembelajaran sejarah yang paling baik, efektif dan tepat adalah para guru sejarah di kelas sebagai ujung tombak dari pengembang kurikulum
Memahami guru sejarah dalam KTSP diberikan otonomi yang luas untuk merancang dan mengembangkan desain pembelajaran , maka pemilihan model pembelajaran menjadi semakin nyata sangat terkait dengan kompetensi dan kualifikasi guru sejarah yang bersangkutan . Dengan demikian merupakan hal yang penting bagi para pengajar untuk mempelajari dan menambah wawasan tentang model pembelajaran yang telah diketahui . Karena dengan menguasai beberapa model pembelajaran maka para guru sejarah akan merasakan adanya kemudahan di dalam pelaksanaan pembelajaran di kelasnya .
Teori – teori belajar moderen yang melandasi model pembelajaran adalah antara lain teori belajar konstruktivisme , teori perkembangan kognitif Piaget , teori belajar John Dewey , teori pemrosesan informasi , teori belajar bermakna David Ausubel, teori penemuan Jerome Bruner , dan teori pembelajaran sosial Vigotsky .
Teori konstruktivisme ( Suparno , 1997) pada intinya memandang bahwa peserta didik harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks , mengecek informasi baru dengan aturan – aturan lama , dan merevisinya manakala aturan – aturan itu tidak lagi sesuai . Satu prinsip yang harus Anda pahami adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa , namun memberikan ruangan yang seluas – luasnya kepada para peserta didik membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya . Guru dapat memberi tangga kepada siswa untuk mencapai pemahaman dan kemampuan yang lebih tinggi. Teori tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari kerja Piaget, Vigotsky, Bruner dan lain – lain.
Teori perkembangan Kognitif dari Piaget (Monk dkk,1994) pada esensinya mengatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman pengalaman dan interaksi - interaksi mereka . Diapun mengatakan bahwa pengalaman – pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan memiliki peranan penting di dalam perkembangan kognitif seseorang ,Sementara pergaulan dengan teman sebaya akan membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya membuat pemikiran menjadi lebih logis . Temuan lain adalah bahwa perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Implikasi dalam proses pembelajaran adalah para guru pada saat memperkenalkan informassi sebaiknya melibatkan peserta didik menggunakan konsep – konsep yang telah mereka miliki , dan memberikan waktu yang cukup untuk menemukan ide- ide dengan menggunakan pola berpikir mereka .
Teori Dewey (Gredler,1994) pada intinya mengemukakan bahwa belajar itu sesungguhnya merupakan konstelasi dari berbagai pengalaman yang dimiliki oleh seseorang . Oleh karenanya memberi seluas- luasnya kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman merupakan esensi dari belajar . Bekerja adalah bentuk belajar yang sekaligus memperkaya pengalaman mereka . Pemikiran Dewey dikenal dengan ungkapan ”learning by doing ” , dan untuk itu dia menganjurkan agar isi pelajaran hendaknya di mulai dari pengalaman peserta didik , dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran . Dengan demikian ”bekerja ” memiliki makna yang penting dalam memberikan pengalaman , dan pengalaman memimpin peserta didik berfikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar . Para guru di anjurkan untuk merancang pembelajaran yang di dalamnya melibatkan pengalaman peserta didik melalui aktivitas ”bekerja” untuk memperoleh pengalaman yang baru .
Teori pemrosesan informasi (Gredler,1994) pada intinya berbicara tentang bagaimana pemrosesan , penyimpanan , dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak . Tidak jarang para peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami suatu pengetahuan tertentu , dan yang salah satu penyebabnya adalah pengetahuan baru yang diterimanya tidak terjadi hubungan dengan pengetahuan yang sebelumnya . Dalam hal tersebut betapa pentingnya pengetahuan awal , yakni sekumpulan pengetahuan dari pengalaman individu yang diperoleh sepanjang perjalanan hidup mereka , dan apa yang dia bawa kepada suatu pengalaman yang baru , bagi seseorang di dalam membangun pemahaman yang baru , bahkan dikatakan bahwa pengetahuan awal menjadi syarat utama dan menjadi sangat penting bagi peserta didik untuk memilikinya .
Inti dari teori belajar bermakna dari Ausubel (Dahlan ,1990) adalah bahwa belajar akan bermakna jika merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep – konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif peserta didik . Dengan demikian jika dalam teori Piaget , Dewey maupun pemrosesan informasi dikatakan yang paling penting itu adalah pengalaman atau pengetahuan awal , maka Ausubel lebih jelas lagi yakni pentingnya konsep – konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik . Dengan kata lain belajar itu berrmakna jika para guru mampu membangun pemahaman baru peserta didik yang di dasari oleh konsep – konsep yang sudah ada dalam struktur berfikir peserta didiknya .
Bruner dalam Dahlan ( 1990) menemukan bahwa belajar penemuan ( discovery learning ) dapat diartikan atau disepadankan dengan proses pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia , dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik . Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya , menghasilkan pengetahuan yang benar – benar bermakna. Bruner menyarankan kepada para guru untuk memberi kesempatan yang seluas – luasnya kepada peserta didiknya untuk berpartisipasi secara aktif dengan konsep – konsep dan prinsip – prinsip , serta memperoleh pengalaman , dan melakukan eksperimen –eksperimen , dan yang pada akhirnya mereka mampu menemukan prinsip – prinsip itu sendiri .
Vigotsky (1978) sependapat dengan Piaget , bahwa peserta didik membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan mereka sendiri melalui bahasa. Vigotsky percaya bahwa aspek sosial dalam proses pembelajaran dapat mempengaruhi perkembangan proses mental , pengembangan konsep , penalaran logis dan pengambilan keputusan . Lebih lanjut dikemukakan bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika peserta didik bekerja atau menangani tugas – tugas yang belum dipelajari , namun masih dalam jangkauan mereka atau masih dalam zone of personal development. Selain itu Vigotsky juga menganjurkan perlunya guru memberikan batuan kepada peserta didik selama tahap – tahap ( scafffolding ) awal perkembangan dan mengurangi bantuan tersebut , dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar segera setelah mereka dapat melakukannya.
Berdasarkan pengkajian terhadap teori – teori tersebut dapat di amati benang merahnya , yakni bahwa teori belajar manapun memberi porsi perhatian yang besar akan pentingnya memberi kesempatan tumbuhnya kemandirian peserta didik dan akhirnya mereka mampu meraih pengetahuan , pemahaman dan ketrampilan yang layak yang mereka perlukan dalam menjalani kehidupannya .

C. Kriteria Model Pembelajaran Inovatif dan Konstruktif .

Menurut Nieven ( 1999) ciri – ciri suatu model pembelajaran yang baik adalah sahih ( valid ) , praktis dan efektif . Merujuk pada pemikiran tersebut di atas maka kesahihan model pembelajaran sejarah berkaitan dengan pertanyaan apakah model yang dikembangkan di dasarkan pada rasional teoritik yang kuat , dan apakah terdapat konsistensi internal . Menurut Trianto ( 2007) untuk melihat tingkat kelayakan suatu model pembelajaran di lihat dari aspek kesahihan di perlukan seorang ahli untuk menguji kesahihannya . Sedangkan hal praktis dan efektivitas berkaitan dengan pertanyaan apakah model pembelejaran sejarah yang dikembangkan dapat di terapkan ; apakah kenyataan menunjukan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan, dan apakah operasional model pembelajaran yang dikembangkan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Dan untuk menguji kelayakan aspek kepraktisan dan efektivitas tersebut diperlukan suatu perangkat pembelajaran dengan topik tertentu untuk melaksanakannya . Dan tentu saja diperlukan instrumen penelitian yang sesuai dengan tujuan yang di harapkan.
D. Model Dan Strategi Pembelajaran Sejarah

Pemilihlan model pembelajaran disamping mempertimbangkan hal – hal yang bersifat metodik , juga harus memperhatikan karakter dari ilmu maupun kajian yang menjadi sumber materi pembelajaran . Sumber materi pembelajaran sejarah adalah sejarah baik pada kedudukannya sebagai ilmu , peristiwa maupun kisah . Pembelajaran sejarah yang sesuai dengan karakteristik sejarah adalah pembelajaran yang mengandung kemampuan sebagai berikut :
a.       Mengajak peserta didik berfikir kesejarahan dengan cara berfikir imajinatif yakni membayangkan sesuatu peristiwa yang pernah ada dan benar – benar terjadi .
b.      Melatih intelektual peserta didik sehingga mampu menarik generalisasi – generalisasi dalam sejarah dengan menggunakan belajar inkuiri dan belajar kooperatif .
c.       Membimbing peserta memahami konsep – konsep secara induktif maupun deduktif .
d.      Menunjukan realita – realita yang hidup di masyarakat dengan menanamkan kesadaran kesejarahan dan perspektif.
e.       Membimbing peserta didik menemukan dan merasakan fungsi dan manfaat belajar sejarah di dalam praktik kehidupan sosial sehari – hari baik secara individu maupun kelompok .
Berdasarkan pengkajian terhadap karakter dari pembelajaran sejarah tersebut maka model – model pembelajaran yang sudah di bahas di bagian sebelumnya , pada prinsispnya bisa di gunakan . Dalam memutuskan pilihan yang akan di ambil para guru harus memahami karakter dari masing – masing model pembelajaran , serta mempertimbangkan, utamanya , fokus tujuan dan materi pembelajaran sejarah yang akan di laksanakan . Jika model pembelajaran sudah di pilih maka tahap berikutnya guru harus menentukan strategi pembelajaran yang akan dikembangkan.
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis – garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan . Dikaitkan dengan pembelajaran , strategi bisa diartikan sebagai pola –pola umum kegiatan guru – peserta didik termasuk perencanaan , cara dan taktik yang digunakan dalam wujud pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah digariskan sebelumnya . Dengan demikian strategi pembelajaran sejarah merupakan keseluruhan rangkaian upaya guru sejarah yang di rancang secara sistematis agar peserta didik belajar atau meraih tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya . Merujuk kepada pemikiran Djamarah dan Zain ( 2002) dan Hamalik ( 2004) ada lima kegiatan utama dalam merancang strategi pembelajaran sejarah , yakni :
1.      mengidentifikasi kemampuan kondisi awal peserta didik , serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian peserta didik sebagaimana diharapkan .
2.      memilih sistem pendekatan pembelajaran sejarah berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat .
3.      memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik mengajar sejarah yang dianggap paling cocok dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam memunaikan tugasnya .
4.      menetapkan norma – norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan agar dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan
5.      evaluasi baik proses maupun hasil belajar sejarah , yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik untuk penyempurnaan sistem pembelajaran secara keseluruhan .

Perlu Anda pahami bahwa bentuk – bentuk strategi pembelajaran sangatlah beragam . Dan untuk memilihnya menurut Costa dalam Isjoni ( 2007) ada lima hal yang harus dipertimbangkan , yaitu (1) perbedaan pola berfikir peserta didik ,(2) perbedaan gaya belajar peserta didik,(3) motif belajar peserta didik ,(4) perbedaan tujuan pembelajaran, dan (5) perbedaan masalah yang harus dipecahkan . Selanjutnya di katakan pula bahwa kelima aspek tersebut bisa menimbulkan perbedaan dalam efektivitas pelaksanaan suatu strategi pembelajaran . Oleh karena itu Anda sebelum memutuskan memilih amati terlebih dahulu lima aspek tersebut .
Dari berbagai strategi pembelajaran yang pernah di kemukakan oleh para pakar , ada beberapa bentuk yang perlu diperhatikan oleh para guru sejarah , antara lain :
a.       Strategi Pembelajaran sejarah yang bersifat direktif/ekspositori/ langsung ( metode ceramah , tanya jawab, curah pendapat dll )
b.      Strategi Pembelajaran sejarah yang bersifat diskoveri/mediatf/inkuiri ( metode inkuiri,diskusi , pemecahan masalah , penelitian , kajian gambar , kajian dokumen , kajian buku teks , kajian peta , analogi dll)
c.       Strategi Pembelajaran sejarah kolaboratif/kooperatif ( metode diskusi kelompok , bermain peran , sosiodrama, simulasi )
d.      Strategi Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan

Contextual Teaching Learning bisa digunakan dalam metode pembelajaran apapun yang menurut guru cocok dengan kebutuhan peserta didik , tujuan , materi dan media pembelajaran yang telah dirancang .
a. Strategi Pembelajaran sejarah yang bersifat direktif/ekspositori/ langsung ciri utamanya adalah guru sangat dominan karena harus berperan sebagai sumber informasi yang pokok , dimana guru harus mengemukakan evidensi – evidensi , konsep – konsep dan generalisasi , sementara peserta didik cukup menerima informasi tersebut tanpa dilibatkan secara aktif . Sekalipun pembelajaran di kembangkan dengan metode tanya – jawab , tetapi pada umumnya tanya jawab yang di gunakan adalah dengan pendekatan komunikasi dua arah yang bertitik tumpu pada arahan yang ketat dari guru.
b. Strategi Pembelajaran sejarah yang bersifat diskoveri/mediatif/inkuiri memiliki karakter pendekatan pembelajaran berbasis peserta didik . Dari berbagai metode yang di kembangkan dari strategi tersebut jelas sekali bahwa sasaran utamanya adalah aktivitas peserta didik dengan segala potensi multi intelektual dan ketrampilan yang di miliki dan yang akan di raihnya . Mulai dari ketrampilan berfikir kritis, ketrampilan menemukan masalah , memecahkan masalah hingga ketrampilan mengambil keputusan , baik secara individu maupun kelompok . Dan guru berperan sebagai konsultan maupun fasilitator yang arif (dalam arti sesuatu yang berurusan dengan pengananan pengetahuan , pemilihan pengetahuan untuk menetapkan hal – hal yang revan) , dan bijaksana ( penerapannya untuk nilai dari pengalaman langsung peserta didik ) .
c. Strategi Pembelajaran sejarah kolaboratif/kooperatif memiliki ciri utama latihan bekerjasama. Dari berbagai metode yang dikembangkan tampak yang menjadi tujuan pokok dari strategi tersebut adalah melatih dan memberikan pengalaman bagaimana melakukan kerjasama dan merasakan manfaat kebersamaan terutama pada saat memecahkan masalah bersama. Dan dari strategi tersebut diharapkan peserta didik mampu dan biasa melakukan kerjasama dalam hal – hal positif dalam kehidupan sehari – hari. Bahkan menurut Bourdillon ( 1999 ) penerapan strategi tersebut dalam pembelajaran sejarah tidak sebatas sebagai wahana pembelajaran kerjasama , tapi juga memiliki manfaat mendidik warga negara yang bertanggung jawab , rasional , partisipatif dalam pengambilan keputusan baik sebagai warga masyarakat maupun warga bangsa.
Strategi pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran sejarah akan di bahas lebih rinci dalam bagian berikut ini.

E. Strategi Pembelajaran Kontekstual Dalam Pembelajaran Sejarah .

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam implementasinya antara lain mengandung sinyal adanya penggunaan strategi pembelajaran dengan menekankan pada aspek kinerja peserta didik yang dikenal dengan CTL ( Contextual Teaching and Learning ) atau pembelajaran kontekstual . Mata pelajaran Sejarah sebagai bagian dari KTSP memiliki kewajiban untuk menjadi wahana bagi pengembangan strategi pembelajaran kontekstual tersebut . Dan untuk kepentingan pemahaman , pengkajian dan penerapan strategi pembelajaran tersebut , maka pada bagian berikut akan dibahas tentang selintas epistimologis CTL ( bagaimana pengetahuan tentang CTL di bangun ) dan implemantasi strategi pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran Sejarah.
Kata konteks berasal dari kata kerja Latin contexere yang berarti ” menjalin bersama ”. Kata ” konteks ” merujuk pada ” keseluruhan situasi , latar belakang , atau lingkungan ” yang berhubungan dengan diri , yang terjalin bersamanya ( Webster’s New World Dictionary , 1968) . Jadi pembelajaran kontektual sebagai suatu sistem adalah sebuah proses pembelajaran yang bertujuan membimbing peserta didik melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka secara utuh menyeluruh , baik dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.
Munculnya gagasan pembelajaran kontekstual bukan merupakan suatu konsep yang baru. Penerapan pembelajaran tersebut di kelas Amerika pertama – tama di usulkan oleh John Dewey pada tahun 1916. Dewey ( 1652 – 1952) sangat dipengaruhi oleh kemajuan industri di negeri Inggris . Akibat industrialisasi berbondong –bondong keluarga pindah ke perkotaan , dengan membawa semangat kerjasama , rasa tolong menolong , keinginan untuk menyelidiki barang sesuatu yang baru , rasa kemasyarakatan dan tanggung jawab hidup, dan hal tersebut menurut Dewey harus terus di pupuk, sekalipun alat - alat pertukangan di gantikan oleh mesin – mesin . Sekolah dalam pandangan Dewey haruslah dapat menggantikan faktor – faktor pendidikan dalam keluarga , yang turut lenyap dengan hilangnya industri – industri rumah , yaitu pekerjaan yang ikut membentuk watak manusia. Oleh karena itu dia menamakan sekolahnya sekolah kerja ” Do- School” (Said dan Affan,1987).
Sekolah – sekolah yang mengembangkan dasar –dasar pendidikan Dewey tidak mempergunakan pemikiran tradisional . Jika dasar pemikiran pendidikan tradisional adalah mendidik otak - ibarat sisi abstrak dari pengetahuan , kumpulan informasi - maka Dewey mendidik tubuh – ibarat kenyataan hidup , masalah – masalah realita . Dewey ( 1966) mengatakan bahwa pemisahan gagasan dari tindakan dan pikiran dari tubuh menyalahi kesaling –terkaitan antara segala sesuatu . Dia memberi contoh bahwa sebuah dokar tidaklah terlihat sebagai dokar sebelum semua bagiannya terpasang ; hubungan khas antara bagian – bagiannya itulah menjadikannya sebuah dokar . Demikian pula di sekolah – sekolah yang mempraktekan dasar – dasar pemikiranya tidak menggunakan alat – alat tradisional , tetapi mereka bertukang , di ajari memasak atau menpraktekan jenis – jenis pekerjaan yang kelak di butuhkan peserta didik untuk hidup di masyarakatnya. Sehingga di menganjurkan sekolah hendaknya mencerminkan keadaan kenyataan masyarakatnya. Yang paling utama dari prinsip pendidikan Dewey adalah kegiatan pembelajaran di lakukan secara mandiri /individu dan memperhatikan hubungan atau konteks pembelajaran dengan realita di masyarakat .
Pemikiran Dewey tersebut sangat jelas merujuk kepada filsafat pendidikan holistis- pragmatis , dan itu pula yang sedang trend di Amerika saat itu . Nilai sesuatu pengetahuan berdasar kepada guna pengetahuan tersebut dalam masyarakat . Karena itu yang hendaknya di ajarkan di sekolah adalah yang segera dapat dipakai dalam masyarakat dan penghidupan sehari – hari . Jadi dari paparan tersebut pentingnya konteks antara pembelajaran dengan kenyataan di masyarakat sudah menjadi perhatian pakar pendidikan di Amerika sejak awal abad ke-20.
Akhir Abad ke-20 muncul pemikiran - pemikiran segar tentang pendidikan, termasuk pendidikan sejarah . Pendidikan tradisional lebih menekankan penguasaan dan manipulasi isi dengan wujud implementasi para peserta didik menghapalkan fakta , angka, nama , tanggal , tempat , dan kejadian; mempelajari mata pelajaran sejarah sebagai ilmu ataupun kajian yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya ; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar kesadaran sejarah dan ketrampilan berfikir . Para guru beranggapan bahwa jika peserta didik berkonsentrasi hanya untuk menguasai isi pelajaran sejarah , mereka pasti memperoleh informasi mendasar tentang sejarah yang mereka pelajari , sehingga memandang keseluruhan sebagai tidak lebih dari jumlah bagian – bagiannya yang terpisah dan berdiri sendiri , dan anggapan tersebut menunjukan kuatnya pengaruh paradigma berfikir ala Descartesia dan Newton . Anggapan tersebut mulai berubah dalam dekade akhir tahun 1980-an . Dan penemuan ilmiah terbaru memberi tahu bahwa justru hubungan antara bagian – bagian tersebutlah yaitu konteksnya – yang memberikan makna . Makna yang berasal dari hubungan –hubungan tersebut membuat gabungan dari semua bagian itu melampaui sekedar jumlah dari bagian – bagiannya. Misalnya air yang mendukung kehidupan manusia , mempunyai makna yang melebihi gabungan bagian – bagiannya , yaitu oksigen dan hidrogen ( Johnson , 2007) . Seperti halnya makna memahami hubungan/ koteks antara suku – suku bangsa di Indonesia - yang mendukung kehidupan bangsa Indonesia- mempunyai makna yang melebihi sekedar memahami jumlah /gabungan suku – suku bangsa yang ada di Indonesia. Dengan kata lain memahami konteks jauh lebih bermakna dari pada mempelajari sesuatu yang banyak secara terpisah- pisah tanpa ada kaitannya .
Dipengaruhi oleh esensi pandangan tersebut - bahwa kenyataan ada dalam hubungan ; kesatuan melibihi jumlah dari bagian – bagian ; dan makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya sehingga konteks memberi makna kepada isi , maka munculah keyakinan para pakar pendidikan bahwa semakin banyak keterkaitan yang ditemukan peserta didik dalam suatu konteks yang luas , semakin bermaknalah isinya bagi mereka . Dan keyakinan tersebut di dukung oleh temuan – temuan empiris melahirka gagasan tentang pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual atau CTL dapat dimaknai sebagai sebuah strategi pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan melibatkan para peserta didik dalam aktivitas penting dengan kehidupan nyata yang hadapi oleh para peserta didik . Dengan mangaitkan keduanya , peserta didik melihat makna di dalam tugas sekolahnya . Yang dimaksud tugas sekolah misalnya menyusun proyek atau menemukan permasalahan yang menarik , ketika mereka membuat pilihan dan menerima tanggung jawab , mencari informasi dan menarik kesimpulan ; ketika mereka secara aktif memilih , menyusun , mengatur , menyentuh , merencanakan , menyelidiki , mempertanyakan , dan membuat keputusan , mereka mengaitkan isi akademis dengan konteks dalam situasi kehidupan , dan dengan cara itu mereka menemukan makan. Penemuan makna adalah ciri utama dari pembelajaran kontekstual ( Johnson, 2007).
Jika pembelajaran kontekstual sebagai suatu strategi , maka tentu bisa di kembangkan untuk berbagai mata pelajaran termasuk pembelajaran sejarah . Untuk melihat bagaimana implementasi strategi kontekstual dalam pembelajaran sejarah , Anda di persilahkan menyimak paparan berikut ini .
Sebelum sampai pada pengkajian prosedur , Anda sebaiknya mengetahui bahwa CTL sebagai suatu sistem mengandung tiga prinsip utama yakni kesalingbergantungan yang dimaknai sebagai keterkaitan , saling melengkapi, komunitas; deferensiasi yang sering diidentikan dengan istilah kebhinekaan , variasi, keberagaman disparitas ; dan oraganisasi diri atau pengaturan diri yang terwujud dalam istilah manifestasi diri , prinsip dalam keberadaan , otonomi , dan pertahanan diri . Membuat keterkaitan – keterkaitan yang bermakna . Tiga prinsip itulah yang menjadi payung bagi komponen /unsur dalam pembelajaran kontekstual . Adapun komponen yang di maksud menurut Johnson ( 2007 ) adalah seperti yang teruang dalam paparan berikut ini :
1.      Melakukan kegiatan yang berarti
2.      Melakukan pembelajaran yang di atur sendiri
3.      Melakukan kerja sama
4.      Berfikir kritis dan kreatif
5.      Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
6.      Mencampai standar akademik yang tinggi
7.      Menggunakan penilaian autentik .

Sementara menurut rujukan yang di rancang oleh Depdiknas ( 2002) , komponen CTL terdiri dari :
1.      Konstruktivis
2.      Inkuiri
3.      Bertanya
4.      Masyarakat belajar
5.      Permodelan
6.      Refleksi
7.      Penilaian autentik

Namun demikian jika kedua pendapat di simak lebih dalam , maka pada dasarnya tidak ada perbedaan.. Persamaan yang mendasar yang dapat disimpulkan adalah keduanya bertujuan membangun atau mengkonstruk ( ingat bukan menerima !) makna yang berkualitas dan dengan menghubungkan pembelajaran dengan lingkungan personal dan sosial siswa . Selain itu keduanyapun menempatkan pembelajaran berbasis masalah , menggunakan konteks yang bermakna, mempertimbangkan kebinekaan peserta didik , memberdayakan peserta didik untuk belajar sendiri dan bekerjasama ( kolaborasi , koperatif) , menggunakan penilaian autentik , dan mengejar standar unggul .
Jadi ketika Anda berencana mengembangkan pembelajaran sejarah dengan strategi CTL , prinsip dan unsur – unsur tersebut di atas harus benar - benar di pahami dan harus muncul secara jelas baik pada tahap rencana maupun pengembangan dalam pembelajaran di kelas Anda .
Contoh prosedur atau langkah - langkah yang harus di lakukan dalam pembelajaran sejarah dengan perpaduan model pembelajaran berbasis masalah dan kooperatif , strategi CTL , metode diskusi dengan tekhnik Jigsaw .
Adapun garis besar dari langkah – langkah pengembangannya dapat di simak dalam tabel berikut ini :” Ingat bahwa Anak Akan belajar Lebih bermakna dengan cara bekerja mandiri , menemukan sendiri , dan merekonstruksi sendiri pengetahuan dan ketranpilan sendiri melalui bentuk kegiatan belajar bersama !”
Pokok Bahasan : Revolusi Perancis
Tujuan Pembelajaran : Peserta didik menemukan makna nilai kerjasama dan toleransi melalui kaji banding antara peristiwa Revolusi Perancis dan Kejatuhan Pemerintah Orde Baru

TAHAP
KEGIATAN GURU
KEGIATAN PESERTA DIDIK
1.Menyampaikan tujuan dan mengatur peserta didik
(Pada pertemuan sebelumnya sudah dibagikan teks tentang Revolusi Perancis dan Kejatuhan Pemerintahan Orde Baru )
1. Menyampaikan pendahuluan ( motivasi , menyampaikan tujuan dasar diskusi , apersepsi )
2. membuat kesepakatan pembagian materi ajar
3. mengarahkan pembagian kelompok
-Membagi diri dalam kelompok
- Menentukan nomor anggota pada setiap kelompok ( sesuai dengan sub topik bahasan – sesuai dengan kesepakatan )
- Setiap anggota kelompok sudah memiliki dan menyimak isi teks sebelumnya .
2.Mengarahkan diskusi
Mengarahkan diskusi melalui modeling Jigsaw dengan masalah pokok : Apa makna kerjasama dari peristiwa Revolusi Perancis dan Kejatuhan Pemerintahan Orde Baru
Menyimak arahan guru dan mengajukan pertanyaan atau pernyataan tentang prosedur jigsaw
3Melaksanakan diskusi kelompok asal dan diskusi kelompok ahli
Menfasilitasi dan memberi penguatan bila diperlukan dan mengikuti diskusi setiap kelompok secara bergilir baik pada kelompok awal maupun pada kelompok ahli
1.Diskusi kelompok untuk berbagi hasil pemahaman dari setiap anggota terhadap teks .
2.Membagi diri dalam kelompok ahli sesuai dengan nomor anggota dan sub topik bahasan untuk berdiskusi
3. kembali ke kelompok awal , masing masing anggota melaporkan hasil diskusi di kelompok ahli .
4. Mengakhiri diskusi
Menutup diskusi
Tetap duduk dalam kelompok awal untuk mengikutidan proses tanya jawab singkat
5. Melakukan Tanya jawab singkat tentang proses dan hasil kesimpulan diskusi
- Membimbing kelas untuk menemukan kesimpulan pemecahan masalah
- memberi penghargaan
Merespon Tanya jawab kelas dalam mencari kesepakatan pemecahan masalah dan mengambil keputusan berupa kesimpulan bersama


Daftar Bacaan

Arends ,Richard. 1997. Classroom Instructional Management . New York : The Mc  Graw-Hill Company . Ballard , Martin . 1971. New Movements In The Study and Teaching Of History .London  :Indiana University Press.
Bourdillon , H. ( 1999 ) . Teaching History . London . Routledge .
Collingwood, R.C. 2001. The Principles Of History . New York : Oxford University  Press.
Dahlan,M.D. (1990). Model –Model Mengajar . Bandung : CV. Diponegoro.
Delors . Jacques. 1996. The Treasure Within . UNESCO
Dickinson , P.J.Lee and P.J.Rogers . 1984.Learning History . London : Heinemann  Educational Books.
Djamariah , Bahri dan Aswa Zain . 2002. Strategi Belajar Mengajar . Jakarta : Rineka  Cipta
Gunning , Dennis .1993. Teaching Of History . London : Croom Helm
Hamalik , Oemar . 2004. Strategi Belajar Mengajar . Bandung : Sinar Baru Ashaari, H.
Johnson , B. Elaine . 2007. Contextual Teaching &Learning. Penerjemah : Ibnu Setiawan .Jakarta :MLC
Joyce , Bruce and Marsha Weil . ( 1980 ) . Models Of Teaching . New Jersey : Prentice –Hall , Inc. Second Edition
Ibrahim ,M., Rachmadianti,F.,Nur, M., dan Ismono .2000. Pembelajaran Kooperatif.  Surabaya : University Press
Isjoni . 2007. Pembelajaran Sejarah . Bandung : Alfabeta
Ismaun. 2005. Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu Dan Wahana Pendidikan. Bandung : Historia Utama Press.
Kauchak ,D and P.D. Eggen .1989. Learning and Teaching . Boston : Allyn and Bacon .
Monks, F.J et al. ( 1994 ) . Psikologi Perkembangan . Jogyakarta : Gadjah Mada  University Press.
Omardin dan Yunus Muhamad .1995. Kaedah Pengajaran Sejarah. Kualalumpur :  Utusan Publication .
Trianto . 2007 . Model – Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik .  Jakarta : Prestasi Pustaka
Said , Muh dan Junimar Affan .1987. Mendidik Dari Zaman Ke Zaman . Bandung :  Jemmars.
Soedjatmoko .1995. Sejarawan Indonesia Dan Zamannya. Dalam Soedjamoko et.al.  Jakarta : Gramedia
Suparno,P. 1997 . Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan . Yogyakarta : Kanisius.
Vogotsky, L.S. 1978. Mind In Society : The Development Of Higher Psychological  Processes. London : Cambridge University Press.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons