Cari Blog Ini

Jumat, 17 Februari 2012

KERANGKA ACUAN PENDIKAR



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, menjadi bangsa yang berkarakter adalah keinginan kita semua.
Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sesunggungnya sudah lama tertanam pada bangsa Indonesia. Para pendiri negara menuangkan keinginan itu dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-2 dengan pernyataan yang tegas, ―...mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur‖. Para pendiri negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain.
Setelah Indonesia merdeka, khususnya pada masa orde lama, keinginan untuk menjadi bangsa berkarakter terus dikumandangkan oleh pemimpin nasional. Soekarno senantiasa membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang berkarakter dengan ajakan berdikari, yaitu berdiri di atas kaki sendiri. Soekarno mengajak bangsa dan seluruh rakyat Indonesia untuk tidak bergantung pada bangsa lain, melainkan harus menjadi bangsa yang mandiri. Ajakan untuk menjadi bangsa yang mandiri ini dilanjutkan dengan Trisakti, yaitu kemandirian di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Semangat untuk menjadi bangsa yang berkarakter ditegaskan oleh Soekarno dengan mencanangkan nation and character building dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter bangsa Indonesia guna mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara spesifik Soekarno menegaskan dalam amanat Pembangunan Semesta Berencana tentang pentingnya karakter ini sebagai mental investment, yang mengatakan bahwa kita jangan melupakan aspek mental dalam pelaksanaan pembangunan dan mental yang dimaksud adalah mental Pancasila.
Pada masa orde baru, keinginan untuk menjadi bangsa yang bermartabat tidak pernah surut. Soeharto, sebagai pemimpin orde baru, menghendaki bangsa Indonesia senantiasa bersendikan pada nilai-nilai Pancasila dan ingin menjadikan warga negara Indonesia menjadi manusia Pancasila melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Secara filosofis penataran ini sejalan dengan kehendak pendiri negara, yaitu ingin menjadikan rakyat Indonesia sebagai manusia Pancasila, namun secara praksis penataran ini dilakukan dengan metodologi yang tidak tepat karena menggunakan cara-cara indoktrinasi dan tanpa keteladanan yang baik dari para penyelenggara negara sebagai prasyarat keberhasilan penataran P-4. Sehingga bisa dipahami jika pada akhirnya penataran P-4 ini mengalami kegagalan, meskipun telah diubah pendekatannya dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
Pada masa reformasi keinginan membangun karakter bangsa terus berkobar bersamaan dengan munculnya euforia politik sebagai dialektika runtuhnya rezim orde baru. Keinginan menjadi bangsa yang demokratis, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), menghargai dan taat hukum merupakan beberapa karakter bangsa yang diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, kenyataan yang ada justeru menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Konflik horizontal dan vertikal yang ditandai dengan kekerasan dan kerusuhan muncul di mana-mana, diiringi mengentalnya semangat kedaerahan dan primordialisme yang bisa mengancam instegrasi bangsa; praktik korupsi, kolusi dan nepotisme tidak semakin surut malahan semakin berkembang; demokrasi penuh etika yang didambakan berubah menjadi demokrasi yang kebablasan dan menjurus pada anarkisme; kesantuan sosial dan politik semakin memudar pada berbagai tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; kecerdasan kehidupan bangsa yang dimanatkan para pendiri negara semain tidak tampak, semuanya itu menunjukkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
Di kalangan pelajar dan mahasiswa dekadensi moral ini tidak kalah memprihatinkan. Perilaku menabrak etika, moral dan hukum dari yang ringan sampai yang berat masih kerap diperlihatkan oleh pelajar dan mahasiswa. Kebiasaan ‗mencontek‘ pada saat ulangan atau ujian masih dilakukan. Keinginan lulus dengan cara mudah dan tanpa kerja keras pada saat ujian nasional menyebabkan mereka berusaha mencari jawaban dengan cara tidak beretika. Mereka mencari ‗bocoran jawaban‘ dari berbagai sumber yang tidak jelas. Apalagi jika keinginan lulus dengan mudah ini bersifat institusional karena direkayasa atau dikondisikan oleh pimpinan sekolah dan guru secara sistemik. Pada mereka yang tidak lulus, ada di antaranya yang melakukan tindakan nekat dengan menyakiti diri atau bahkan bunuh diri. Perilaku tidak beretika juga ditunjukkan oleh mahasiswa. Plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah di kalangan mahasiswa juga masih bersifat massif. Bahkan ada yang dilakukan oleh mahasiswa program doktor. Semuanya ini menunjukkan kerapuhan karakter di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal lain yang menggejala di kalangan pelajar dan mahasiswa berbentuk ‗kenakalan‘. Beberapa di antaranya adalah tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa. Di beberapa kota besar tawuran pelajar menjadi tradisi dan membentuk pola yang tetap, sehingga di antara mereka membentuk ‗musuh bebuyutan‘. Tawuran juga kerap dilakukan oleh para mahasiswa seperti yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa pada perguruan tinggi tertentu di Makassar. Bentuk kenakalan lain yang dilakukan pelajar dan mahasiswa adalah meminum minuman keras, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan narkoba yang bisa mengakibatkan depresi bahkan terkena HIV/AIDS. Fenomena lain yang mencorong citra pelajar adalah dan lembaga pendidikan adalah maraknya ‗gang pelajar‘ dan ‗gang motor‘. Perilaku mereka bahkan seringkali menjurus pada tindak kekerasan (bullying) yang meresahkan masyarakat dan bahkan tindakan kriminal seperti pemalakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Semua perilaku negatif di kalangan pelajar dan mahasiswa tersebut atas, jelas menunjukkan kerapuhan karakter yang cukup parah yang salah satunya disebabkan oleh tidak optimalnya pengembangan karakter di lembaga pendidikan di samping karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Kondisi yang memprihatinkan itu tentu saja menggelisahkan semua komponen bangsa, termasuk Presiden Republik Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memandang perlunya pembangunan karakter saat ini. Pada peringatan Dharma Shanti Hari Nyepi 2010, Presiden menyatakan, ―Pembangunan karakter (character building) amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan mulia. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society). Dan, masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia merupakan manusia yang berakhlak baik, manusia yang bermoral, dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula‖.
Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan karkater manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karkater yang baik, unggul dan mulia. Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental. Melalui pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah watak dari yang tidak baik menjadi baik. Ki Hajar Dewantara dengan tegas menyatakan bahwa ―pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Jadi jelaslah, pendidikan merupakan wahana utama untuk menumbuhkembangkan karakter yang baik. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi sudah dilakukan dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Namun hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal, terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter sebagaimana disebut di atas. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional telah ditegaskan bahwa ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Namun tampaknya upaya pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dan institusi pembina lain belum sepenuhnya mengarahkan dan mencurahkan perhatian secara komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Di tengah kegelisahan yang menghinggapi berbagai komponen bangsa, sesungguhnya terdapat beberapa lembaga pendidikan atau sekolah yang telah melaksanakan pendidikan karakter secara berhasil dengan model yang mereka kembangkan sendiri-sendiri. Mereka inilah yang menjadi best practices dalam pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia. Namun, hal itu tentu saja belum cukup, karena berlangsung secara sporadis atau parsial dan pengaruhnya secara nasional tidak begitu besar. Oleh karena itu perlu ada gerakan nasional pendidikan karakter yang diprogramkan secara sistemik dan terintegrasi. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden nomor .... Tahun 2010 tentang Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa.
Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh menegaskan, bahwa ―tidak ada yang menolak tentang pentingnya karakter, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menyusun dan menyistemasikan, sehingga anak-anak dapat lebih berkarakter dan lebih berbudaya‖. Dalam upaya menyusun dan menyistemasikan pendidikan karakter tersebut, maka disusunlah desain induk pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam dokumen ini.

B. Fungsi dan Tujuan

Fungsi
Sesuai dengan fungsi pendidikan nasional, pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara lebih khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu
1.   Pembentukan dan Pengembangan Potensi
     Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
2.   Perbaikan dan Penguatan
     Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
3.   Penyaring
     Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.

Tujuan
Pendidikan karakter dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

C. Ruang Lingkup

Pendidikan karakter meliputi dan berlangsung pada
1. Pendidikan Formal

Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung pada lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, MAK dan Perguruan Tinggi melalui pembelajaran, kegiatan ko dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

2. Pendidikan Nonformal

Pada pendidikan nonformal pendidikan karakter berlangsung pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan lembaga pendidikan nonformal lain melalui pembelajaran, kegiatan ko dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pada pendidikan nonformal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

3. Pendidikan Informal

Pendidikan karakter pada pendidikan informal berlangsung pada keluarga yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa lain terhadap anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.










BAB II
KERANGKA DASAR PENDIDIKAN KARAKTER

1. Karakter
a. Pengertian Karakter
Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‖positif‖ bukan netral. Sedangkan Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang.
Karakter juga sering diasosiasikan dengan istilah apa yang disebut dengan temperamen yang lebih memberi penekanan pada definisi psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Sedangkan karakter dilihat dari sudut pandang behaviorial lebih menekankan pada unsur somatopsikis yang dimiliki seseorang sejak lahir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang juga disebut faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu untuk mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang berada pada jangkauan masyarakat dan ndividu. Jadi usaha pengembangan atau pendidikan karakter seseorang dapat dilakukan oleh masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan melalui rekayasa faktor lingkungan. Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki peran yang sangat peting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter sangat ditentunkan oleh faktor lingkungan ini. Dengan kata lain pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup diantaranya lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar. Pembentukan karakter melalui rekasyasa faktor lingkungan dapat dilakukan melalui strategi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan (4) penguatan. Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur.

b. Konfigurasi Karakter
Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku berkarakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spritual Quotient (SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidiq, amanah, fathonah, dan tablig. Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Adapun menurut teori sosial, seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan intra personal, dan hubungan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.
Perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Keempat proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa) tersebut secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur. Secara diagramatik, koherensi keempat proses psikososial tersebut dapat digambarkan diagram Ven sebagai berikut ;



OLAH HATI: OLAH PIKIR: OLAH RASA DAN KARSA: OLAH RAGA: Perilaku Berkarakter Cerdas, kreatif Jujur Peduli Gotong royong Sehat dan Bersih Bertang-gung jawab

Gambar 1. Koherensi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses Psikososial

Masing-masing proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa) secara konseptual dapat diperlakukan sebagai suatu klaster atau gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti juga sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak. Pengelompokan nilai tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam proses intervensi (pembelajaran, pemodelan, dan penguatan) dan proses habituasi (pensuasanaan, pembiasaan, dan penguatan) dan pada akhirnya menjadi karakter, keempat kluster nilai luhur tersebut akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu.

c. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mempercayai adanya keberadaan moral absolute, yakni bahwa moral absolute perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Pendidikan karakter kurang sepaham dengan cara pendidikan moral reasoning dan value clarification yang digunakan sebagai strategi dasar pendidikan karakter di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolute (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai ―the golden rule‖. Contohnya adalah berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang, adil dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Jadi pendidikan karakter terkait erat kaitannya dengan ―habit‖ atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekan atau dilakukan.
Karakater menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, dapatlah dikatakan orang tersebut memanisfestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, bertanggung jawab, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulya. Istiah karakter juga erat kaitannya dengan ‘personality‘. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter‘ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Dengan demikian, pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek ‖pengetahuan yang baik‖ (moral knowing), tetapi juga ‖merasakan dengan baik‖ atau ‖loving the good‖ (moral feeling) dan ‖perilaku yang baik‖ (moral action).
Penekanan aspek-aspek tersebut di atas, diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan, tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa.

d. Prinsip Pengembangan Pendidikan Karakter
Secara prinsipil, pengembangan karakter tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi kedalam mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan. Oleh karena itu pendidik dan satuan pendidikan perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter ke dalam Kurikulum, silabus yang sudah ada. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter sebagai milik peserta didik dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter.
1.   Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari TK/RA berlanjut ke kelas satu SD/MI atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas terakhir SMP/MTs. Pendidikan karakter di SMA/MA atau SMK/MAK adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. Sedangkan pendidikan karakter di Perguruan Tinggi merupakan penguatan dan pemantapan pendidikan karakter yang telah diperoleh di SMA/MA, SMK/MAK
2.   Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler dan kokurikuler. Pengembangan nilai-nilai tersebut melalui keempat jalur pengembangan karakter melalui berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam standar Isi.
3.   Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan melalui proses belajar (value is neither cought nor taught, it is learned) (Hermann, 1972) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai karakter bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata kuliah atau pelajaran agama, bahasa Indonesia, sejarah, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, ketrampilan, dan sebagainya. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik. Oleh karena itu pendidik tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai karakter. Juga, pendidik tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor. Konsekuensi dari prinsip ini nilai-nilai karakter tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri peserta didik. Peserta didik tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai terebut.
4.   Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh pendidik. Pendidik menerapkan prinsip ‖tut wuri handayani‖ dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka pendidik menuntun peserta didik agar secara aktif (tanpa mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif tapi pendidik merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data/fakta/nilai, menyajikan hasil rekonstruksi/proses pengembangan nilai) menumbuhkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, satuan pendidikan, dan tugas-tugas di luar satuan pendidikan


BAB III
PENDEKATAN PENDIDIKAN KARAKTER

A. Keteladanan

Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, satuan pendidikan formal dan nonformal harus dikondisikan sebagai pendukung utama kegiatan tersebut. satuan pendidikan formal dan nonformal harus menunjukkan keteladanan yang mencerminkan nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan. Misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, satuan pendidikan formal dan nonformal terlihat rapi, dan alat belajar ditempatkan teratur.
Selain itu, keteladanan juga dapat ditunjukkan dalam perilaku dan sikap pendidik dan tenaga kependidikan dalam memberikan contoh tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Pendemonstrasian berbagai contoh teladan merupakan langkah awal pembiasaan, Jika pendidik dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter, maka pendidik dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai terebut. Misalnya berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan dan sebagainya. Keteladanan dalam pendidikan karakter dapat dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari satuan pendidikan formal dan nonformal yang berwujud kegiatan rutin atau kegiatan insidental: spontan atau berkala.
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus-menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah: Upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut dan lain-lain) setiap hari Senin, beribadah bersama/sembahyang bersama setiap dzuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu pendidik/tenaga kependidikan yang lain, dan sebagainya. Setelah kegiatan rutin ada juga kegiatan spontan, yakni kegiatan insidental yang dilakukan pada saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat pendidik dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila pendidik mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik, maka pada saat itu juga pendidik harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik tersebut. Contoh kegiatan tersebut adalah: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, mencerca, mencela, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh, dan sebagainya. Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani menentang/mengoreksi perilaku teman yang tidak terpuji. Keteladanan merupakan hal utama yang dilakukan dalam pengarusutamaan pendidikan karakter. Kegiatan insidental lannya adalah kegiatan berkala. Kegiatan berkala merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik, peserta didik, dan tenaga kependidikan secara berkala. Contoh: lomba atau kegiatan hari besar, misalnya: Hari Pendidikan Nasional, Hari Kemerdekaan, Hari Ibu, hari besar keagamaan.



B. Pembelajaran

Pembelajaran karakter dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, di satuan pendidikan formal dan nonformal, serta di luar satuan pendidikan.
a. Di kelas, pembelajaran karakter dilaksanakan melalui proses belajar setiap materi pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan karakter. Meski pun demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan pendidik. Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai tersebut.
b. Di satuan pendidikan formal dan nonformal, pembelajaran karakter dilaksanakan melalui berbagai kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diikuti seluruh peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Perencanaan dilakukan sejak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke kalender akademik, dan dilaksanakan sehari-hari sebagai bagian dari budaya satuan pendidikan formal dan nonformal. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program satuan pendidikan formal dan nonformal adalah lomba vokal group antarkelas atau antar-Program Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato bertema karakter tertentu, pagelaran bertema karakter, lomba olahraga antarkelas, lomba kesenian antarkelas, pameran hasil karya peserta didik bertema karakter tertentu, pameran foto hasil karya peserta didik bertema karakter tertentu, lomba membuat tulisan, lomba mengarang lagu, melakukan wawancara kepada tokoh yang berkaitan dengan karakter, mengundang berbagai nara sumber untuk berdiskusi atau berceramah yang berhubungan dengan karakter bangsa.
c. Di luar satuan pendidikan formal dan nonformal, pembelajaran karakter dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh/sebagian peserta didik, dirancang satuan pendidikan formal dan nonformal sejak awal tahun pelajaran atau program pembelajaran, dan dimasukkan ke dalam kalender akademik. Misalnya, kunjungan ke tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian kepada masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial seperti membantu mereka yang tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum, membantu membersihkan/mengatur barang di tempat ibadah tertentu.

Pengembangan Budaya Satuan Pendidikan
Budaya satuan pendidikan formal dan nonformal memiliki cakupan yang sangat luas, antara lain mencakup kegiatan ritual, harapan, hubungan sosial-kultural, aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan, maupun interaksi sosial antarkomponen. Budaya satuan pendidikan formal dan nonformal adalah suasana kehidupan satuan pendidikan formal dan nonformal di mana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, pendidik dengan pendidik, pendidik/konselor dengan peserta didik, pendidik dengan tenaga kependidikan, antara tenaga kependidikan dengan pendidik dan peserta didik, dan antaranggota kelompok masyarakat dengan warga satuan pendidikan formal dan nonformal. Interaksi sosial kultural internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu satuan pendidikan formal dan nonformal. Jujur, bertanggung jawab, cerdas, kreatif, sehat dan bersih, peduli, dan gotong royong merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya satuan pendidikan formal dan nonformal.
Budaya satuan pendidikan formal dan nonformal merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik. Yang terpenting adalah iklim atau budaya satuan pendidikan formal dan nonformal. Jika suasana satuan pendidikan formal dan nonformal penuh kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, hal ini akan menghasilkan karakter yang baik. Pada saat yang sama, pendidik akan merasakan kedamaian dan suasana satuan pendidikan formal dan nonformal seperti itu akan meningkatkan mutu pengelolaan pembelajaran. Dengan pengelolaan pembelajaran yang baik, akan menyebabkan prestasi akademik yang tinggi. Sebuah temuan penting lainnya adalah bila peserta didik memiliki karakter yang baik, akan berpengaruh langsung terhadap prestasi akademik yang tinggi. Oleh karena itu, langkah pertama dalam mengaplikasikan pendidikan karakter dalam satuan pendidikan formal dan nonformal adalah menciptakan suasana atau iklim satuan pendidikan formal dan nonformal yang berkarakter yang akan membantu transformasi pendidik, peserta didik, dan tenaga kependidikan menjadi warga satuan pendidikan formal dan nonformal yang berkarakter. Hal ini termasuk perwujudan visi , misi, dan tujuan yang tepat untuk satuan pendidikan formal dan nonformal. Visi dan misi satuan pendidikan formal dan nonformal, kepemimpinan satuan pendidikan formal dan nonformal, kebijakan dan manajemen serta partisipasi orang tua dan peserta didik, serta langkah dalam model pembelajaran nilai-nilai karakter akan saling berkontribusi terhadap budaya satuan pendidikan formal dan nonformal.
Kebersihan dan kenyamanan lingkungan satuan pendidikan formal dan nonformal, baik di kamar mandi dan toilet, di ruang kelas, perpustakaan/taman bacaan masyarakat (TBM), laboratorium, dan lingkungan/taman di satuan pendidikan formal dan nonformal hanya dapat dilakukan dengan dukungan manajemen yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kebersihan lingkungan. Kondisi satuan pendidikan formal dan nonformal seperti itu dilaksanakan bersama antara pendidik, peserta didik, tenaga kependidikan, serta orang tua. Di setiap sudut ruang harus ada tempat sampah yang dapat digunakan untuk menyimpan sampah kering dan basah serta sampah yang dapat didaur ulang. Seluruh warga satuan pendidikan formal dan nonformal dikondisikan untuk membuang sampah ke tempat yang sesuai dengan jenis sampah. Melalui pengkondisian dan pembiasaan seperti itu diharapkan kepedulian seluruh warga satuan pendidikan formal dan nonformal menjadi lebih tinggi terhadap kebersihan lingkungan.
Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Semua Materi pembelajaran
Pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua materi pembelajaran dilakukan dalam rangka mengembangkan kegiatan intervensi. Substansi nilai sesungguhnya secara eksplisit atau implisit sudah ada dalam rumusan kompetensi (SKL, SK, dan KD) dalam Standar Isi (Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah), serta perangkat kompetensi masing-masing program studi di pendidikan tinggi atau PNFI. Yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah memastikan bahwa pembelajaran materi pembelajaran tersebut memiliki dampak instruksional dan/atau dampak pengiring pembentukan karakter. Pengintegrasian nilai dapat dilakukan untuk satu atau lebih dari setiap pokok bahasan dari setiap materi pembelajaran. Seperti halnya sikap, suatu nilai tidaklah berdiri sendiri, tetapi berbentuk kelompok. Secara internal setiap nilai mengandung elemen pikiran, perasaan, dan perilakiu moral yang secara psikologis saling berinteraksi. Karakter terbentuk dari internalisasi nilai yang bersifat konsisten, artinya terdapat keselarasan antarelemen nilai. Sebagai contoh, karakter jujur, terbentuk dalam satu kesatuan utuh antara tahu makna jujur (apa dan mengapa jujur), mau bersikap jujur, dan berperilaku jujur. Karena setiap nilai berada dalam spektrum atau kelompok nilai-nilai, maka secara psikologis dan sosiokultural suatu nilai harus koheren dengan nilai lain dalam kelompoknya untuk membentuk karakter yang utuh. Contoh: karakter jujur terkait pada nilai jujur, tanggung jawab, peduli, dan nilai lainnya. Orang yang berperilaku jujur dalam membayar pajak, artinya ia peduli pada orang lain, dalam hal ini melalui negara, bertanggung jawab pada pihak lain, artinya ia akan membayar pajak yang besar dan pada saatnya sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, bila semua pembayar pajak sudah berkarakter jujur, tidak perlu ada penagih pajak, dan tidak akan ada yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dari prosedur pembayaran pajak. Proses pengintegrasian nilai tersebut, secara teknologi pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut.
a.    Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
b.    Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam silabus ditempuh antara lain melalui cara-cara sebagai berikut:
1)    mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada pendidikan dasar dan pendidikan memengah, atau kompetensi program studi pada pendidikan tinggi, atau standar kompetensi pendidikan nonformal;
2)    menentukan apakah kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam SK dan KD atau kompetensi tersebut sudah tercakup di dalamnya;
3)    memetakan keterkaitan antara SK/KD/kompetensi dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan;
4)    menetapkan nilai-nilai/ karakter dalam silabus yang disusun;
5)    mencantumkan nilai-nilai yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP;
6)    mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai;
7)    memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun untuk menunjukkannya dalam perilaku.

Praktik pendidikan karakter pada satuan pendidikan formal dan nonformal bukan hanya menjadi tanggung jawab materi pelajaran Pendidikan Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Inti dari Pendidikan Agama adalah pengembangan nilai iman, takwa, dan akhlak mulia. Adapun inti dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah pengembangan akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang mencakup kecerdasan kewarganegaraan (civic intelligennce), tanggungjawab kewarganegaraan (civic responsibility), dan partisipasi kewarganegaraan (civic participation). Selama ini terkesan materi pembelajaran lainnya hanya mengajarkan pengetahuan dari disiplin ilmu, teknologi, atau seni yang menaunginya. Oleh sebab itu, materi pembelajaran lain harus diperkuat dengan misi pendidikan karakter yang bersifat melekat dalam substansi dan proses keilmuan sebagai dimensi aksiologinya. Oleh karena itu, proses pembelajaran nilai-nilai karakter secara substantif diintegrasikan dalam setiap materi pembelajaran atau antarmateri pembelajaran. Pendidikan selama ini berangkat dari asumsi yang keliru, yaitu bahwa semua masalah di dunia ini telah diketahui dan pendidik mengetahui cara pemecahannya. Jadi, tugas pendidik dipersepsikan hanya menyampaikan masalah serta cara pemecahannya, dan setelah itu pendidikan dianggap selesai. Padahal, masalah itu terus berubah dan mungkin pendidik belum mengetahui, apalagi tahu cara pemecahannya.
Belajar tentang ilmu pengetahuan tetap penting, tetapi hal itu kini lebih mudah dilakukan karena banyak sumber informasi yang dapat dipelajari. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya diarahkan untuk membantu peserta didik belajar bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan beserta nilai yang diusungnya. Di situ tersirat perlunya karakter sebagai wahana perwujudan dimensi aksiologi. Dari situ dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan harus diarahkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memperoleh pengetahuan, teknologi, atau seni; dan bagaimana menggunakannya guna memecahkan masalah kehidupan dengan arif, kreatif, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan umat manusia. Sinergi antara pendidikan karakter dengan materi pembelajaran harus dirancang, dikembangkan, dan dilaksanakan secara saling melengkapi. Dalam pengembangan pendidikan karakter, materi pembelajaran dipahami sebagai integrasi pesan dan alat, yaitu sebagai wahana pembudayaan dan pemberdayaan individu. Misalnya, Pendidik Fisika harus sadar bahwa pembahasan materi fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori fisika, menggali berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, dan memahami bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari ‖peran‖ Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.
Pengembangan pendidikan karakter seperti itu, dapat dilakukan melalui aneka model dan metode pembelajaran yang dipilih pendidik secara kontekstual. Misalnya, untuk mengembangkan kecakapan berkomunikasi, pendidik dapat memilih metode diskusi atau peserta didik diminta presentasi. Pengembangan kecakapan bekerja sama, disiplin, dan kerja kelompok dapat dilakukan pada kegiatan praktikum yang dilaksanakan di laboratorium, di lapangan atau di tempat praktik kerja. Yang penting adalah aspek-aspek tersebut sengaja dirancang dan dinilai hasilnya sebagai bentuk hasil belajar pendidikan karakter.
Ada banyak cara mengintergrasikan nilai-nilai karakter ke dalam materi pembelajaran, antara lain: mengungkapkan nilai-nilai yang ada dalam materi pembelajaran, mngintegrasian nilai-nilai kakater menjadi bagian terpadu dari materi pembelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam hidup para peserta didik, mengubah hal-hal negatif menjadi nilai positif, mengungkapakan nilai-nilai melalui diskusi dan curah pendapat, menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup orang-orang besar, menggunakan lagu-lagu dan musik untuk mengintegrasikan nilai-nilai, menggunakkann drama untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisi nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan pelayanan, praktik lapangan melalui klub-klub atau kelompok kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan.

Integrasi Pendidikan Karakter dalam Kegiatan Kokurikuler, Ekstrakurikuler, dan Pendidikan Nonformal
Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna jika diisi dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai yang menarik dan bermanfaat bagi peserta didik. Ada kecenderungan saat ini antara lain munculnya gejala keengganan peserta didik untuk berlibat dalam kegiatan kesiswaan/kemahasiswaan. Masih banyak peserta didik yang hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan kokurikuler apalagi kegiatan ekstrakurikuler. Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya membuang waktu, atau tidak bermanfaat. Tidak sedikit juga kegiatan peserta didik yang tidak mendukung peningkatan pengembangan pribadi. Contoh: kegiatan yang bagus seperti seminar ilmiah, namun panitianya (peserta didik) banyak yang berkerumun di luar ruang karena menjadi panitia logistik atau penerima tamu. Akhirnya, peserta didik yang berorganisasi menjadi panitia tidak mendapatkan pembelajaran dari seminar tersebut. Padahal, pekerjaan teknis sebenarnya dapat disederhanakan. Hal ini berpulang kembali pada ada tidaknya pendampingan oleh pendidik yang membimbing kegiatan tersebut. Jadi, kegiatan yang akan mengembangkan pedidikan karakter adalah kegiatan yang terencana, terprogram, dan tersistem. Setiap kegiatan harus ada mentornya yang membimbing ke mana arah kegiatan tersebut akan dilaksanakan, walau tidak harus setiap saat ada. Program itu dapat disajikan dengan sangat menarik, mengikutsertakan teknik-teknik simulasi, bermain peran, atau diskusi. Pada peningkatan keterampilan belajar, peserta didik diajak untuk meningkatkan teknik belajar, pemetaan pikiran, dan teknik membaca. Adapun keterampilan berpikir difokuskan pada peningkatan kemampuan menyelesaikan persoalan serta mengambil keputusan. Selain itu, ada juga kecakapan hidup yang lebih ditekankan pada beberapa hal di antaranya manajemen diri, membangun impian, teknik berkomunikasi, mengelola konflik, dan mengelola waktu.
Berdasarkan pengamatan, ada praktik terbaik yang dapat dipetik dari lembaga yang sudah beberapa tahun memiliki program ―Siswa Unggulan‖. Peserta didik yang menjadi peserta adalah peserta didik pilihan dari berbagai satuan pendidikan formal dan nonformal yang dinyatakan berprestasi. Program ini diisi dengan saling berbagi antara pakar/praktisi dengan peserta didik seputar isu-isu aktual. Keuntungan program ini adalah dapat menjaring pemimpin masa depan dan membinanya dari sejak awal sebelum mereka lulus. Kemampuan yang ingin ditingkatkan adalah wawasan yang luas, saling menghormati satu sama lain, berjiwa wirausaha, berpikir kreatif, dan kemampuan belajar yang lebih baik. Kegiatan pengembangan pendidikan karakter tidak akan optimal bila hanya dilakukan melalui pelatihan, seminar dan workshop. Pengembangan pendidikan karakter dipraktikkan berulang-ulang dan didampingi oleh mentor. Pengembangan pedidikan karakter untuk peserta didik Indonesia sebaiknya dilakukan dengan cara menjalin jejaring kerja pendidik Indonesia dengan pendidik luar negeri yang melibatkan peserta didik, misalnya dalam bidang penelitian. Dengan jejaring ini, mau tidak mau peserta didik akan terpaksa berkomunikasi tulisan dengan menggunakan bahasa asing. Suatu saat peserta didik ini difasilitasi untuk bertemu, bertukar pikiran, saling menghargai pendapat, mempelajari budaya orang lain, dan belajar bekerja sama dalam tim.
Selanjutnya, berbagai kegiatan yang dilakukan Unit Kegiatan Siswa (UKS) seperti yang diselenggarakan oleh berbagai satuan pendidikan formal dan nonformal sesungguhnya sudah banyak bermuatan pedidikan karakter yang dapat dikembangkan oleh peserta didik. Hal ini akan berhasil guna jika program yang digulirkan lebih terarah untuk mengembangkan atribut tertentu sesuai dengan kebutuhan populasinya. Contoh: unit kegiatan karate, apabila dihayati dan benar-benar ditujukan untuk pengembangan pendidikan karakter peserta didik, dapat diarahkan untuk memperkuat atribut komitmen, bersemangat, mandiri, dan tangguh. Kegiatan pelatihan harus terprogram dengan baik, ada durasi, capaian, dan keberlanjutan. Pelatihan seharusnya diarahkan pada transformasi keyakinan, motivasi, karakter, impian, sampai akhirnya dalam durasi tertentu terjadi transformasi diri berkarakter yang seutuhnya.
Pada dasarnya ada lima prinsip transformasi yaitu: (1) meyakini dan mendayagunakan kekuatan dan anugerah Tuhan dalam diri; (2) membuat pilihan dan keputusan dalam diri; (3) melakukan kebiasaan-kebiasaan baik secara terus menerus dalam kehidupan ini; 4) mampu membangun interaksi dengan orang lain; (5) mampu bekerja secara sinergis dan kreatif dengan orang lain dalam organisasi. Dalam pelaksanaan pelatihan harus diperhitungkan efisiensi dan efektivitasnya. Sangat tidak efisien jika peserta terlalu banyak dengan fasilitas yang seadanya/terbatas. Untuk itu, perlu digali potensi-potensi yang ada di tiap satuan pendidikan formal dan nonformal. Kadangkala, apa yang bagus dan dapat diterapkan di satu satuan pendidikan formal dan nonformal dalam pengembangan pendidikan karakter belum tentu dapat diterapkan begitu saja di satuan pendidikan formal dan nonformal lainnya. Boleh jadi strategi dan tekniknya akan bervariasi tergantung pada visi satuan pendidikan formal dan nonformal.

C. Pemberdayaan dan Pembudayaan

Pengembangan nilai/karakter dapat dilihat pada dua latar, yaitu pada latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan ilmpementasi pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional.
Secara makro pengembangan karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan (1) filosofis: Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) teoretis: teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosiokultural; (3) empiris: berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh, satuan pendidikan formal dan nonformal unggulan, pesantren, kelompok kultural, dll.
Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan formal dan nonformal, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur. Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna, peran pendidik sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, rumahnya, dan ingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai sehingga terbentuk karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisai dari dan melalui proses intervensi. Proses pemberdayaan dan pembudayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sistemik, holistik, dan dinamis.
Dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak asasi manusia, serta pemuda dan olahraga juga sangat dimungkinkan.
Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang kuat, dan pikiran yang argumentatif.
Pada latar makro, program pengembangan nilai/karakter dapat digambarkan sebagai berikut ;


Gambar 1: Konteks Makro Pengembangan Karakter

Pada konteks mikro, pendidikan karakter berpusat pada satuan pendidikan formal dan nonformal secara holistik. Satuan pendidikan formal dan nonformal merupakan wilayah utama yang secara optimal memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus-menerus proses pendidikan karakter. Pendidikan seharusnya melakukan upaya sungguh-sungguh dan senantiasa menjadi garda depan dalam upaya pembentukan karakter manusia Indonesia yang sesungguhnya.
Secara mikro pengembangan karakter dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan pendidikan formal dan nonformal; kegiatan kokurikuler dan/atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat.
Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pengembangan karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua materi pembelajaran. Khusus, untuk materi pembelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan--karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap--,pengembangan karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan karakter. Untuk kedua materi pembelajaran tersebut, karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran dan juga dampak pengiring. Sementara itu untuk materi pembelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring bagi berkembangnya karakter dalam diri peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan harus mau mengembangkan diri terus-menerus (belajar secara disiplin sehingga mampu bersaing dan mengikuti perubahan).
Dalam lingkungan satuan pendidikan formal dan nonformal dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosiokultural satuan pendidikan formal dan nonformal memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan formal dan nonformal lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju.
Dalam kegiatan kokurikuler (kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada materi suatu materi pembelajaran) atau kegiatan ekstra kurikuler (kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu materi pembelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam, liga pendidikan Indonesia, dan kegiatan kompetisi/festival, lokakarya, dan seni) perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan dalam rangka pengembangan karakter.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan formal dan nonformal sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat komite sekolah, pertemuan wali murid, kunjungan/kegiatan wali murid yang berhubungan dengan kumpulan kegiatan sekolah dan keluarga.
    Program pendidikan karakter pada konteks mikro dapat digambarkan sebagai berikut ;


 
Gambar 2: Konteks Mikro Pendidikan Karakter

Konteks mikro pengembangan nilai/karakter merupakan latar utama yang harus difasilitasi bersama oleh Pemerintah Daerah dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan demikian terjadi proses sinkronisasi antara pengembangan nilai/karakter secara psikopedagogis di kelas dan di lingkungan satuan pendidikan formal dan nonformal, secara sosiopedagogis di lingkungan satuan pendidikan formal dan nonformal dan masyarakat, dan pengembangan nilai/karakter secara sosiokultural nasional. Untuk itu satuan pendidikan formal dan nonformal perlu difasilitasi untuk dapat mengembangkan karakter. Pengembangan budaya satuan pendidikan formal dan nonformal ini perlu menjadi bagian integral sebagai entitas otonom seperti dikonsepsikan dalam manajemen berbasis satuan pendidikan (MBS). Dengan demikian setiap satuan pendidikan formal dan nonformal secara bertahap dan sistemik ditumbuh-kembangkan menjadi satuan pendidikan formal dan nonformal yang dinamis dan maju Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan satuan pendidikan formal dan nonformal, perlu diterapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Oleh sebab itu, seluruh hal yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dikerjakan oleh peserta didik adalah pendidikan. Selain menjadikan keteladanan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan lingkungan pergaulan juga sangat penting. Lingkungan itulah yang ikut membentuk karakter seseorang. Penciptaan lingkungan di satuan pendidikan formal dan nonformal dapat dilakukan melalui : 1) penugasan, 2) pembiasaan, 3) pelatihan, 4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan. Semuanya mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pembentukan karakter peserta didik. Pemberian tugas tersebut disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga peserta didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan. Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama dan kegigihan untuk berusaha. Pengaturan kegiatan di satuan pendidikan formal dan nonformal ditangani oleh organisasi pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkungan, Pertamanan, Kesenian, Keterampilan, Olahraga, Penggerak Bahasa.
Kegiatan kepramukaan ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa andalan: Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan, Andalan Koordinator Urusan Keuangan, Andalan Koordinator Urusan Latihan, Andalan Koordinator Urusan Perpustakaan, Andalan Koordinator Urusan Perlengkapan, Andalan Koordinator Urusan Kedai Pramuka, dan Pembina gugusdepan. Sementara itu pada level asrama ada organisasi sendiri, terdiri atas ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap kelompok olahraga dan kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri atas para pendidik staf pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan pendidik-pendidik senior yang menjadi pembimbing masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok.
Pengawalan secara rapat, berjenjang, dan berlapis-lapis di Pondok dilakukan oleh para santri senior dan pendidik, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan. Sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan karena semua peserta didik, terutama peserta didik senior dan pendidik, adalah kader yang sedang menempuh pendidikan. Pimpinan pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan; pendekatan program, pendekatan manusiawi, dan pendekatan idealisme. Mereka juga dibina, dibimbing, didukung, diarahkan, dikawal, dievaluasi, dan ditingkatkan kemampuannya. Kegiatan yang padat dan banyak akan menumbuhkan dinamika, dinamika yang tinggi akan membentuk militansi dan militansi yang kuat akan menimbulkan etos kerja dan produktivitas. Pada akhirnya peserta didik akan mempunyai kepribadian yang dinamis, aktif, dan produktif dalam segala kebaikan.
Kehidupan sehari-hari di rumah dan di masyarakat perlu juga mendapat perhatian dalam rangka pendidikan karakter. Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh satuan pendidikan formal dan nonformal dari masyarakat dan sebaliknya. Antara satuan pendidikan formal dan nonformal serta masyarakat harus mengadakan banyak interaksi. Beberapa komponen masyarakat yang bisa berlibat dalam proses belajar d satuan pendidikan formal dan nonformal yaitu: orangtua, masyarakat.
Agar model pembelajaran nilai-nilai karakter bisa berhasil dengan baik, dibutuhkan orang tua yang benar-benar menjadi pasangan yang berkomitmen tinggi terhadap proses belajar anak-anak mereka. Orang tua adalah pendidik di rumah. Oleh sebab itu, mereka harus menganut visi yang sama dengan satuan pendidikan formal dan nonformal, demikian pula dengan tujuan satuan pendidikan formal dan nonformal. Orangtua mesti setuju dengan tujuan satuan pendidikan formal dan nonformal untuk menghasilkan anak-anak yang baik yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Satuan pendidikan formal dan nonformal seyogianya memberikan pelatihan mengenai bagaimana menjadi orang tua yang baik kepada semua ayah, ibu atau yang mengantar anak-anak ke satuan pendidikan formal dan nonformal. Ketika peserta didik berada di rumah, orang tua wajib meluangkan waktu bertemu bersama anak-anak mereka dan memberikan cinta kasih dan kehangatan. Orang tua dan pendidik mesti mengadakan pertemuan reguer untuk mendisuksikan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik dan mesti membuat rencana untuk membantu memecahkan masalah-masalah itu. Para orangtua harus berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pada satuan pendidikan formal dan nonformal dan membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka kepada peserta didik dan pendidik.
Selain itu, komunitas atau masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak. Satuan pendidikan formal dan nonformal harus dipandang sebagai suatu sistem hidup yang terus-menerus tumbuh dan berkembang. Satuan pendidikan formal dan nonformal juga sedang dalam proses belajar karena selalu ada interaksi antara setiap orang di satuan pendidikan formal dan nonformal serta komunitasnya. Pendidik dan peserta didik selalu berhubungan dengan orang tua dan kerabat mereka di masyarakat. Setiap orang di satuan pendidikan formal dan nonformal termasuk semua staf sangat dipengaruhi oleh tempat-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran dan lain sebagainya. Sebagai bagian dari pembelajaran, peserta didik harus belajar melayani komunitas atau masyarakat dalam pengembangannya. Mereka mesti turut serta dalam kegiatan pelayanan yang diadakan di tempat-tempat ibadah. Satuan pendidikan formal dan nonformal mesti membantu komunitas untuk mengembangkan dan membantu pendidikan orang-orang dalam komunias. Ketika komunitas tersebut menjadi sebuat komunitas belajar, satuan pendidikan formal dan nonformal akan mendapatkan manfaat besar dari komunitas seperti ini.
Dalam konteks ini, pendidikan karakter lebih ditekankan pada kegiatan internalisasi dan pembentukan tingkah laku. Untuk kepentingan ini, tidak relevan jika menciptakan kurikulum baru tentang pengembangan karakter. Yang relevan adalah lebih menekankan pada penciptaan lingkungan dan tingkah laku.
Dengan mengacu pada referensi pusat organisasi, maka setiap satuan pendidikan formal dan nonformal diwajibkan untuk mempunyai statuta yang di dalamnya dicantumkan secara eksplisit dan jelas tentang pengembangan karakater. Dengan statuta tersebut, maka kegiatan pengembangan karakter dapat dituntun dan diketahui oleh pengelola satuan pendidikan formal dan nonformal, baik oleh kepala maupun oleh komite . Setiap statuta satuan pendidikan formal dan nonformal akan mencamntumkan nilai-nilai dasar yang merupakan ciri khas karakter bangsa Indonesia, yang bersumbar dari nilai-nilai agama maupun dari jiwa nasionalisme atau patriotisme. Nilai-nilai dasar tersebut adalah jujur, bertanggung jawab, cerdas, kreatif, sehat dan bersih, peduli, serta gotong rotong. Nilai-nilai yang substantif tersebut kemudian dikembangkan dalam satuan- satuan pendidikan formal dan nonformal sesuai dan selaras dengan kearifan lokal atau nilai-nilai lokal setempat dalam pola-pola yang lebih detail. Misalnya, cara menghormati atau cara bersopan santun kepada orang lain, cara bertata krama, cara pendidik memberikan sanksi kepada murid, dan sebagainya. Dalam hal ini, perhatian kepada peserta didik menjadi sangat penting sebab mereka yang segera akan turun dalam dunia nyata yang berupa masyarakat. Nilai-nilai semacam itu harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi kebiasaan, dan kebiasaan inilah yang akan menjadi budaya setempat. Untuk kepentingan ini maka tiap satuan pendidikan formal dan nonformal, harus memiliki buku saku yang berupa pedoman ringkas sehingga bersifat mengikat sebab disusun dengan kesepakaan bersama. Dengan demikian maka para murid, para pendidik, para orang tua akan melakukan hal tersebut secara sinergis. Di setiap satuan pendidikan formal dan nonformal akan adakode perilaku, manajemen tatakrama (manner management) serta budaya organisasi yang diperlukan dalam peroses pengambangan karakater tersebut.

D. Penguatan

Penguatan sebagai respon dari pendidikan karakter perlu dilakukan dalam jangka panjang dan berulang terus-menerus. Penguatan dimulai dari lingkungan terdekat dan meluas pada lingkungan yang lebih luas. Di samping pembelajaran dan pemodelan, penguatan merupakan bagian dari proses intervensi. Penguatan juga dapat terjadi dalam proses habituasi. Hal itu akhirnya akan membentuk karakter yang akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu. Penguatan dapat juga dilakukan dalam berbagai bentuk termasuk penataan lingkungan belajar dalam satuan pendidikan formal dan nonformal yang menyentuh dan membangitkan karakter. Berbagai penghargaan perlu diberikan kepada satuan pendidikan formal dan nonformal, pendidik, tenaga kependidikan, atau peserta didik untuk semakin menguatkan dorongan, ajakan, dan motivasi pengembangan karakter.
Sementara itu dalam habituasi perlu diciptakan penguatan yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikan formal dan nonformalnya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisai dari dan melalui proses intervensi. Proses pemberdayaan dan pembudayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sistemik, holistik, dan dinamis.
Selain dalam kegiatan kurikuler, penguatan dalam rangka pengembangan nilai/karakter dapat juga dilakukan dalam kegiatan kokurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yan g terkait langsung pada suatu materi dari suatu materi pembelajaran, atau kegiatan ekstrakurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu materi pembelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll, Dalam kegiatan tersebut perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan dalam rangka pengembangan nilai/karakter.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan formal dan nonformal agar menjadi kegiatan keseharian di rumah. Dalam hal ini, pendidikian karakter mulai terlihat apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator, tetapi belum konsisten biarpun sudah ada pemahaman, dan mendapat penguatan lingkungan terdekat.
Pendidikan karakter mulai berkembang apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten karena selain sudah ada pemahaman dan kesadaran juga mendapat penguatan lingkungan terdekat dan lingkungan yang lebih luas
Selanjutnya, pendidikan karakter mulai membudaya dan memberdaya apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten karena selain sudah ada pemahaman dan kesadaran dan mendapat penguatan lingkungan terdekat dan lingkungan yang lebih luas sudah tombuh kematangan moral.

E. Penilaian

Pada dasarnya, penilaian terhadap pendidikan karakter dapat dilakukan terhadap kinerja pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Kinerja pendidik atau tenaga kependidikan dapat dilihat dari berbagai hal terkait dengan dengan berbagai aturan yang melekat pada diri pegawai , antara lain: (1) hasil kerja: kualitas kerja, kuantitas kerja, ketepatan waktu penyelesaian kerja, kesesuaian dengan prosedur; (2) komitmen kerja: inisiatif, kualitas kehadiran, kontribusi terhadap keberhasilan kerja, kesediaan melaksanakan tugas dari pimpinan; (3) hubungan kerja: kerja sama, integritas, pengendalian diri, kemampuan mengarahkan dan memberikan inspirasi bagi orang lain.
Kegiatan pendidik dan tenaga kependidikan yang terkait dengan pendidikan karakter dapat dilihat dari portofolio atau catatan harian. Portofolio atau catatan harian dapat disusun dengan berdasarkan pada nilai-nilai yang dikembangkan, yakni: jujur, bertanggung jawab, cerdas, kreatif, bersih dan sehat, peduli, serta gotong royong Selain itu, kegiatan mereka dalam pengembangan dan penerapan pendidikan karakter dapat juga diobservasi. Observasi dapat dilakukan oleh atasan langsung atau pengawas dengan bersumber pada niali- nilai tersebut untuk mengetahui apakah mereka sudah melaksanakan hal itu atau tidak.
Selain penilaian untuk pendidik dan tenaga kependidikan, penilaian pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter juga dapat ditujukan kepada peserta didik yang didasarkan pada beberapa indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat/diamati/ dipelajari/dirasakan” maka pendidik mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh.
Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya. Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat pendidik berada di kelas atau di satuan pendidikan formal dan nonformal. Model catatan anekdotal (catatan yang dibuat pendidik ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan pendidik. Selain itu pendidik dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.
Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya pendidik dapat memberikan kesimpulan/pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan/pertimbangan tersebut dapat dinyatakan dalam pernyataan kualitatif dan memiliki makna terjadinya proses pembangunan karakter sebagai berikut ini ;
BT  : Belum Terlihat, apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda- tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator karena belum memahami makna dari nilai itu (Tahap Anomi)
MT  : Mulai Terlihat , apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten karena sudah ada pemahaman dan mendapat penguatan lingkungan terdekat (Tahap Heteronomi)
MB  : Mulai Berkembang, apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten, karena selain sudah ada pemahaman dan kesadaran juga mendapat penguatan lingkungan terdekat dan lingkungan yang lebih luas (Tahap Sosionomi)
MK  : Membudaya, apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten karena selain sudah ada pemahaman dan kesadaran dan mendapat penguatan lingkungan terdekat dan lingkungan yang lebih luas sudah tumbuh kematangan moral (Tahap Autonomi)

Dalam hal ini, ada dua jenis indikator yang dapat dikembangkan; Pertama, adalah indikator untuk satuan pendidikan formal dan nonformal. Kedua adalah indikator untuk materi pembelajaran. Indikator satuan pendidikan formal dan nonformal serta kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala satuan pendidikan formal dan nonformal, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi satuan pendidikan formal dan nonformal sebagai lembaga pelaksana pendidikan karakter. Indikator ini berkenaan juga dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diprogramkan dan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal sehari-hari (rutin).
Indikator materi pembelajaran menggambarkan perilaku berkarakter peserta didik berkenaan dengan materi pembelajaran tertentu. Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas dan satuan pendidikan formal dan nonformal yang dapat diamati melalui pengamatan pendidik. Hal itu tampak ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di satuan pendidikan formal dan nonformal, tanya jawab dengan peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan pertanyaan pendidik, serta tulisan peserta didik dalam laporan dan pekerjaan rumah. Perilaku yang dikembangkan dalam indikator pendidikan karakter bersifat progresif. Artinya, perilaku tersebut berkembang semakin kompleks antara satu jenjang kelas dengan jenjang kelas di atasnya atau bahkan dalam jenjang kelas yang sama. Indikator berfungsi bagi pendidik sebagai kriteria untuk memberikan pertimbangan apakah perilaku untuk nilai tersebut telah menjadi karakter peserta didik. Untuk mengetahui bahwa suatu satuan pendidikan formal dan nonformal itu telah melaksanakan pembelajaran yang mengembangkan karakter perlu dikembangkan instrumen asesmen khusus
Selanjutnya, asesmen dilakukan dengan observasi, dilanjutkan dengan monitoring pelaksanaan dan refleksi. Asesmen untuk pendidikan karakter bermuara pada: (1) berperilaku jujur sehingga menjadi teladan; (2) menempatkan diri secara proporsional dan bertanggung jawab; (3) berperi laku dan berpenampilan cerdas sehingga menjadi teladan; (4) mampu menilai diri sendiri (melakukan refleksi diri) sehingga dapat bertindak kreatif; (5) berperilaku peduli sehingga menjadi teladan; (6) berperilaku bersih sehingga menjadi teladan; (7) berperilaku sehat sehingga menjadi teladan; (8) berperilaku gotong royong sehingga menjadi teladan.

BAB IV
ARAH SERTA TAHAPAN DAN PRIORITAS
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA TAHUN 2010—2025

A. Arah dan Sasaran

Pendidikan karakter menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005—2025, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembang-nya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk melaksanakan fungsi dan tujuan pendidikan karakter, telah diterbitkan Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan yang secara formal sudah digariskan untuk masing-masing jenis atau satuan pendidikan sejumlah rumusan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Jika dicermati secara mendalam, sesungguhnya hampir pada setiap rumusan SKL tersebut implisit atau eksplisit termuat substansi nilai/karakter.
Agar tercapai daya guna dan hasil guna yang optimal perlu disusun tahapan pembangunan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah. Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan pentingnya permasalahan yang hendak diselesaikan tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karena itu, skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda, namun semua itu harus berkesinam-bungan dari periode ke periode berikutnya dalam rangka mewujudkan sasaran pokok pendidikan karakter yang ditetapkan.
.
B. Tahapan dan Prioritas

Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, diperlukan pentahapan dan skala prioritas program pendidikan karakter bangsa. Penyusunan pentahapan dan skala prioritas jangka panjang dan jangka menengah disesuaikan dengan Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010 – 2025. Tahapan dan skala prioritas program pendidikan karakter disusun sebagai berikut.

1. Tahap I dan Prioritas 2010—2014

Tahap ini merupakan fase konsolidasi dan implementasi dalam rangka: (1) reorientasi menumbuhkan kesadaran sikap dan keyakinan pentingnya peng-hayatan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara melalui proses pembelajaran dan pengembangan budaya sekolah ; (2) penyusunan perangkat kebijakan yang terpadu yang berupa tersusunnya kembali kurikulum berbasis ideologi Pancasila; (3) implementasi perangkat kebijakan agar dapat melaksanakan pendidikan karakter secara efektif dengan memberdayakan seluruh subjek yang terkait; (4) evaluasi yang ditujukan pada satuan pendidikan sebagai pelaksana pendidikan karakter bangsa.
Pada akhir tahap ini pendidikan karakter bangsa diarahkan untuk mewujud-kan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan menyadari dan meyakini kembali Pancasila sebagai dasar pandangan hidup bangsa.
2. Tahap II dan Prioritas 2015—2019

Tahap II merupakan fase pemantapan strategi dan implementasi. Prioritas pada tahap ini adalah melakukan pemantapan strategi dan implementasi pendidikan karakter. Prioritas tersebut berbentuk (1) monitoring dan evaluasi tahap I; (2) pengokohan dan pemantapan nilai etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta kesadaran sikap dan keyakinan pentingnya penghayatan nilai-nilai Pancasila; (3) pemantapan pengukuhan kurikulum berbasis ideologi Pancasila yang terintegrasi dalam setiap kelompok mata pelajaran secara holistik; (4) pemantapan perangkat kebijakan agar dapat melaksanakan pendidikan karakter bangsa secara lebih efektif; (5) tetap melaksanakan evaluasi dan monitoring yang ditujukan pada satuan pendidikan sebagai pelaksana pendidikan karakter bangsa; .
Pada akhir tahap ini pendidikan karakter bangsa diarahkan untuk meman-tapkan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan yang menjunjung etika dan kemampuan tinggi dalam memanifestasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa dalam kehidupan sehari-hari.

3. Tahap III dan Prioritas 2020—2024

Tahap III merupakan fase pengembangan berkelanjutan dari hasil yang telah dicapai pada tahap I dan II. Prioritas tersebut berbentuk (1) monitoring dan evaluasi tahap II; (2) pengukuhan, pemantapan dan pembudayaan nilai etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (3) peman-tapan pengukuhan kurikulum berbasis ideologi Pancasila yang terintegrasi dalam setiap kelompok mata pelajaran secara holistik; (4) pembinaan perangkat kebijakan pelaksanaan pendidikan karakter bangsa secara lebih efektif yang disesuaikan dengan perubahan jaman ; (5) pengevaluasian dan monitoring yang ditujukan pada satuan pendidikan sebagai pelaksana pendidikan karakter bangsa; (6) peningkatan ketahanan nasional bangsa Indonesia dengan memupuk semangat persatuan dan kesatuan, toleransi antarumat beragama, antarsuku bangsa, antarras, antaradat, dan menjunjung tinggi kesetaraan gender atau pengarusutamaan gender.
Pada akhir tahap ini diharapkan akan terwujud masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.





BAB V
STRATEGI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

Strategi implementasi pendidikan karakter mencakup: (1) sosialisasi, (2) pengembangan regulasi, (3) pengembangan kapasitas, (4) implementasi dan kerjasama, serta (5) monitoring dan evaluasi. Strategi tersebut dilaksanakan dengan prinsip komprehensif dan memfokus pada tugas, pokok, fungsi dan sasaran masing-masing Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional.
Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional meliputi: (1) Sekretariat Jenderal Kemendiknas, (2) Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, (3) Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, (4) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, (5) Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal, (6) Badan Penelitian dan Pengembangan.
Untuk menghasilkan pelaksanaan yang maksimal sebagai gerakan nasional, maka strategi implementasi pendidikan karakter dilaksanakan secara terpadu oleh Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional yang didukung secara sinergis oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.

A. Lingkungan Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional

1. Sosialisasi

Tujuan sosialisasi adalah untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan karakter pada skup nasional. Sosialisasi juga bertujuan untuk melakukan gerakan kolektif dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua. Dengan demikian sosialisasi di Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional dilakukan secara internal dan eksternal. Sosialisasi dioptimalkan melalui kegiatan sarasehan, kegiatan olahraga, kegiatan seni, pesta rakyat, penyebaran leaflet, booklet (buku kecil), iklan layanan masyarakat, poster, film, jurnal, majalah berkala, serta berbagai media-media sosialisasi yang lainnya yang dapat memberikan gaung secara nasional.

2. Pengembangan Regulasi
Fungsi regulasi diperlukan untuk memberikan payung hukum yang kuat bagi implementasi pendidikan karakter secara nasional dalam lingkungan Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional. Regulasi juga berarti merupakan bentuk penetapan status pendidikan karakter, serta pengaturan-pengaturan fungsi dan peran peserta didik/ siswa/ mahasiswa/ warga belajar, pendidik/ guru/ tutor/ dosen , dan tenaga kependidikan lain yang terkait dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Bentuk regulasi yang diperlukan berupa kebijakan-kebijakan, panduan, serta pedoman teknis, petunjuk pelaksanaan, maupun petunjuk teknis.

3. Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas bertujuan untuk meningkatkan peran dan fungsi organisasi, sistem dan perorangan dalam pelaksanaan pendidikan karakter di lingkungan Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional. Pengembangan kapasitas tersebut ditempuh dengan pelatihan, workshop, penyusunan modul self learning/self instructional (contoh-contoh pelaksanaan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dasar, yakni di lingkungan Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional), dan pengembangan inspirasi melalui best practices.

4. Implementasi dan Kerjasama

Tujuan strategi ini adalah untuk mensinergikan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup tugas pokok, fungsi dan sasaran Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional. Sesuatu yang harus disinergikan bukan hanya dari sisi substansi pendidikan karakter, akan tetapi juga tentang ―siapa melakukan apa‖ (who doing what) pada kelompok peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Implementasi dan kerjasama juga diperlukan untuk memelihara kesinambungan implementasi pendidikan karakter pada lingkungan Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional. Implementasi dan kerjasama juga bermanfaat untuk meminimalkan adanya tumpang tindih serta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pendidikan karakter di lingkungan Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional.

5. Monitoring dan Evaluasi

Strategi monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengontrol, mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkungan Unit Utama Kementerian Pendidikan Nasional. Kontrol dan pengendalian dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan karakter

B. UNIT KERJA PROVINSI

1. Sosialisasi

Tujuan sosialisasi adalah untuk membangun kesadaran yang solid tentang pentingnya pendidikan karakter pada seluruh ketenagaan pendidikan di jajaran Dinas Pendidikan di tiap-tiap provinsi. Sosialisasi juga bertujuan untuk melakukan gerakan kolektif dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua, dengan melibatkan seluruh potensi kependidikan yang ada di tiap-tiap provinsi. Sosialisasi dioptimalkan melalui kegiatan sarasehan, kegiatan olahraga, kegiatan seni, pesta rakyat, penyebaran leaflet, booklet (buku kecil), iklan layanan masyarakat, poster, film, serta berbagai media-media sosialisasi yang lainnya.

2. Pengembangan Regulasi

Regulasi diperlukan untuk memberikan payung hukum yang kuat bagi implementasi pendidikan karakter lingkup kerja kependidikan di Dinas Kependidikan tiap-tiap provinsi. Regulasi juga berarti merupakan bentuk penetapan status pendidikan karakter, serta pengaturan-pengaturan fungsi dan peran peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup Dinas Pendidikan di tiap-tiap provinsi. Bentuk regulasi yang diperlukan berupa kebijakan-kebijakan, panduan, pedoman teknis, petunjuk pelaksanaan, maupun petunjuk teknis yang mensinkronkan antara kebijakan nasional dengan peraturan-peraturan daerah.

3. Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas bertujuan untuk meningkatkan peran dan fungsi organisasi, sistem dan perorangan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan pendidikan karakter di lingkup Dinas pendidikan tiap-tiap provinsi. Pengembangan kapasitas tersebut ditempuh dengan pelatihan, workshop, penyusunan modul self learning/self instructional (contoh-contoh pelaksanaan penelitian dan pengembangan pendidikan karakter), dan pengembangan inspirasi melalui best practices.

4. Implementasi dan Kerjasama

Tujuan strategi ini adalah untuk mensinergikan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter antara pusat – provinsi – kabupaten/kota. Implementasi dan kerjasama juga diperlukan untuk memelihara kesinambungan implementasi hasil pendidikan karakter yang pernah dilakukan. Implementasi dan kerjasama juga bermanfaat untuk meminimalkan adanya tumpang tindih serta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pendidikan karakter di tiap-tiap provinsi.

5. Monitoring dan Evaluasi

Strategi ini dilakukan untuk mengontrol, mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup Dinas Pendidikan pada tiap-tiap provinsi. Kontrol dan pengendalian dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan karakter.

C. UNIT KERJA KABUPATEN/KOTA

1. Sosialisasi

Tujuan sosialisasi adalah untuk membangun kesadaran yang solid tentang pentingnya pendidikan karakter pada seluruh ketenagaan pendidikan di jajaran Dinas Pendidikan di tiap-tiap kabupaten/kota. Sosialisasi juga bertujuan untuk melakukan gerakan kolektif dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua, dengan melibatkan seluruh potensi kependidikan yang ada di tiap-tiap provinsi. Sosialisasi dioptimalkan melalui kegiatan sarasehan, kegiatan olahraga, kegiatan seni, pesta rakyat, penyebaran leaflet, booklet (buku kecil), iklan layanan masyarakat, poster, film, serta berbagai media-media sosialisasi yang lainnya.

2. Pengembangan Regulasi

Regulasi diperlukan untuk memberikan payung hukum yang kuat bagi implementasi pendidikan karakter lingkup kerja Dinas Pendidikan di tiap-tiap kabupaten/kota. Regulasi juga berarti merupakan bentuk penetapan status pendidikan karakter, serta pengaturan-pengaturan fungsi dan peran peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup Dinas Pendidikan di tiap-tiap kabupaten/kota. Bentuk regulasi yang diperlukan berupa kebijakan-kebijakan, panduan, serta pedoman teknis, petunjuk pelaksanaan, maupun petunjuk teknis yang mensinkronkan antara kebijakan nasional dengan peraturan-peraturan daerah.

3. Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas bertujuan untuk meningkatkan peran dan fungsi organisasi, sistem dan perorangan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan pendidikan karakter di lingkup Dinas Pendidikan di tiap-tiap kabupaten/kota. Pengembangan kapasitas tersebut ditempuh dengan pelatihan, workshop, penyusunan modul self learning/self instructional (contoh-contoh pelaksanaan penelitian dan pengembangan pendidikan karakter), dan pengembangan inspirasi melalui best practices.

4. Implementasi dan Kerjasama

Tujuan strategi ini adalah untuk mensinergikan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter antara pusat – provinsi – kabupaten/kota. Implementasi dan kerjasama juga diperlukan untuk memelihara kesinambungan implementasi hasil pendidikan karakter yang pernah dilakukan. Implementasi dan kerjasama juga bermanfaat untuk meminimalkan adanya tumpang tindih serta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pendidikan karakter di tiap-tiap kabupaten/kota.

5. Monitoring dan Evaluasi

Strategi ini dilakukan untuk mengontrol, mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup Dinas Pendidikan di tiap-tiap kabupaten/kota. Kontrol dan pengendalian dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan karakter di tiap-tiap kabupaten/kota.
Catatan Khusus Monev Strategi Implementasi Pendidikan Karakter dapat diuraikan sebagai berikut:
Monitoring dan evaluasi secara umum diarahkan untuk mengetahui keefektivan pelaksanaan program pendidikan karakter secara periodik setiap tahun dan lima tahunan. Monitoring dan evaluasi secara khusus bertujuan untuk mengidentifikasi: (1) adanya berbagai penyimpangan dalam proses pendidikan karakter, selanjutnya hal tersebut dijadikan umpan balik untuk perbaikan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan system evaluasi, (2) tingkat pencapaian kinerja sesuai dengan indikator kinerja kunci yang ditetapka oleh setiap unit kerja.
Beberapa kriteria yang dapat dijadikan tolok ukur untuk dasar penilaian keberhasilan pendidikan karakter mencakup antara lain hal-hal sebagai berikut.
1.      Meningkatnya kesadaran (secara kualitatif) akan pentingnya pendidikan karakter di lingkungan peserta didik, pendidik dan tenaga pendidikan.
2.      Meningkatnya kejujuran peserta didik, pendidik, dan tanaga kependidikan.
3.      Meningkatnya rasa tanggung jawab peserta didik, pendidik, dan tanaga kependidikan
4.      Meningkatnya kecerdasan peserta didik, pendidik, dan tanaga kependidikan.
5.      Meningkatnya kreativitas peserta didik, pendidik, dan tanaga kependidikan.
6.      Meningkatnya kepedulian peserta didik, pendidik, dan tanaga kependidikan.
7.      Meningkatnya kegotongroyang peserta didik, pendidik, dan tanaga kependidikan.
8.      Meningkatnya kebersihan, kesehatan, dan kbugaran peserta didik, pendidik, dan tanaga kependidikan.
9.      Jumlah satuan pendidikan formal dan non formal (kelompok belajar,pusat kegiatan belajar masyarat/PKBM, kursus, majelis taklim) yang telah mengimplementasikan program pendidikan karakter menurut kabupaten/kota dan provinsi.
10.  Jumlah mata pelajaran/kuliah yang telah mengintegrasikan pendidikan karakter di satuan pendidikan.
11.  Jumlah satuan pendidikan yang menerapkan sistem penilaian yang memasukkan komponen karakter.
12.  Jumlah perpustakaan, taman bacaan atau sejenisnya yang mengaplikasikan pendidikan karakter.
13.  Jumlah peserta didik yang telah memperoleh pembelajaran berkaitan dengan pendidikan karakter (seperti pendidikan akhlak mulia di satuan pendidikan formal atau wawasan kebangsaan dan cinta tanah air di satuan pendidikan nonformal)
14.  Meningkatnya perilaku santun yang mencerminkan etika hidup di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari .
15.  Menurunnya tingkat kenakalan remaja dan pemuda (seperti tawuran pelajar/mahasiswa, pergaulan bebas, pelecehan seksual, pemalakan, dan penyalahgunaan narkoba) secara kualitatif.
16.   Meningkatnya ketertiba, dan kedisiplinan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

Monitoring dan evaluasi disamping dilakukan oleh setiap unit kerja yang melaksanakan pendidikan karakter dapat pula dilakukan oleh Tim Pendidikan Karakter yang ditugasi oleh Menteri untuk mengetahui keefektifan proses dan hasil pembelajaran serta program pendidikan karakter.

BAB VI
PENUTUP

Desain Induk Pendidikan Karakter 2010--2025 berisi latar belakang pentingnya pendidikan karakter; kerangka dasar pendidikan karakater; arah, serta tahapan dan prioritas; pendekatan pendidikan karakter bangsa; dan strategi implementasi pendidikan karakter.
Desain Induk Pendidikan Karakter ini merupakan pedoman bagi seluruh seluruh pemangku kepentingan yang terkait pendidikan karakter dalam penyelenggaraan pendidikan karakter secara nasional periode lima belas tahun mendatang. Desain Induk Pendidikan Karakter ini juga menjadi acuan bagi seluruh unit kerja di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional dan berbagai intansi terkait dalam penyusunan rencana strategis lima tahunan dan rencana kerja tahunan dalam bidang pendidikan karakter. Dengan adanya Desain Induk Pendidikan Karakter ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan karakter dapat tersusun secara sistematik, terpadu, dan berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan karakter bangsa. Pendidikan karakter yang diarahkan untuk pencapaian tujuan pendidikan nasional (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara keseluruhan, pendidikan karakter harus memberikan kontribusi pada upaya pencapaian tujuan pembangunan karakter bangsa, yaitu mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keberhasilan pendidikan karakter dalam upaya mewujudkan visi Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur, sebagaimana tertuang dalam RPJP (2005—2025) perlu didukung oleh (1) komitmen dari seluruh pemangku kepentingan dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan karakter; (2) konsistensi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan karakter; (3) keterpaduan dan keberlanjutan sIstem pengembangan program dan kegiatan pendidikan karakter; (4) pengarusutamaan pendidikan karakter dalam system pendidikan nasional; dan (5) penjaminan mutu pendidikan karakter; dan (6) peran serta masyarakat dan dunia usaha secara aktif dalam pendidikan karakter.

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

MUHAMMAD NUH

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons