Cari Blog Ini

Minggu, 19 Februari 2012

BAHASA DAN SASTRA JAWA SEBAGAI SUMBER PENDIDIKAN KARAKTER DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN


BAHASA DAN SASTRA JAWA SEBAGAI SUMBER PENDIDIKAN KARAKTER DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN
Oleh: Sutrisna Wibawa (Universitas Negeri Yogyakarta)
Abstrak
Bahasa dan sastra Jawa sebagai sumber pendidikan karakter tidak perlu diragukan lagi keberadaannya, karena dalam bahasa dan sastra Jawa syarat akan pendidikan nilai yang merupakan substansi utama dari pendidikan karakter. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam bahasa dan sastra Jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya. Pendidikan karakter yang digali dari substansi bahasa dan sastra Jawa dapat menjadi pilar pendidikan budi pekerti bangsa.
Pendidikan karakter sebagai pilar pendidikan budi pekerti bangsa, dewasa ini menjadi sangat penting, karena pendidikan karakter sangat menentukan kemajuan peradaban bangsa, yang tak hanya unggul, tetapi juga bangsa yang cerdas. Keunggulan suatu bangsa terletak pada pemikiran dan karakter. Kedua jenis keunggulan tersebut dapat dibangun dan dikembangkan melalui pendidikan. Oleh karena itu, sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran dan kecerdasan (pemikiran), tetapi juga moral dan budi pekerti, watak, nilai, dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia (karakter). Dengan kata lain, antara pemikiran dan karakter harus menjadi kesatuan yang utuh.
Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber bahasa dan sastra Jawa dapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses meaning making (membuat bermakna), sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai kultural bahasa dan sastra Jawa.
A. Pendahuluan
Bahasa dan sastra Jawa sebagai sumber pendidikan karakter tidak perlu diragukan lagi keberadaannya, karena dalam bahasa dan sastra Jawa syarat akan pendidikan nilai yang merupakan substansi utama dari pendidikan karakter. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam bahasa dan sastra Jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya. Pendidikan karakter yang digali dari substansi bahasa dan sastra Jawa dapat menjadi pilar pendidikan budi pekerti bangsa. Kini, ketika bangsa ini terkoyak oleh nilai-nilai moral, pendidikan budi pekerti kembali mengemuka dengan nama yang lebih menjanjikan adalah pendidikan karakter.
Tentang pendidikan karakter, akhir-akhir ini telah mewacana di berbagai forum dan bahkan telah menjadi issu nasional. Pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2011 yang diperingati bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang mengambil tema “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa”, dengan sub tema “Raih Prestasi, Junjung Tinggi Budi Pekerti”, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta masyarakat Indonesia untuk mengimplementasikan pendidikan karakter, karena pendidikan karakter saat ini sangatlah penting. Pendidikan karakter sangat menentukan kemajuan peradaban bangsa, yang tak hanya unggul, tetapi juga bangsa yang cerdas. SBY mengatakan pula bahwa ada dua penentu kemajuan bangsa, yaitu pemikiran dan karakter. Selanjutnya SBY mengatakan, dengan mengutib Aristoteles, ada dua keunggulan manusia yang disebut human excelence. Pertama excelence of tought atau keunggulan pemikiran dan kedua, excelence of character, kehebatan dalam karakter". Selanjutnya menurut Presiden, “kedua jenis keunggulan tersebut dapat dibangun dan dikembangkan melalui pendidikan. Oleh karena itu, kepada para pendidik, baik formal maupun nonformal dan kita semua bahwa sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran dan kecerdasan, tetapi juga moral dan budi pekerti, watak, nilai dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia," (Kompas.com: 20 Mei 2011).
Sebelumnya, dalam jumpa pers peringatan Hari Pendidikan Nasional, Senin 2 Mei 2011, Menteri Pendidikan Nasional Repbulik Indonesia Muhammad Nuh mengatakan bahwa pendidikan karakter akan semakin dikuatkan implementasinya pada tahun ajaran baru 2011/2012. Pendidikan karakter itu nantinya akan dimasukkan ke setiap mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler, mulai dari PAUD (pendidikan anak usia dini) hingga perguruan tinggi. Implementasi penguatan pendidikan karakter tidak dalam bentuk mata pelajaran baru, melainkan penguatan dari mata pelajaran yang ada serta membangun kultur
sekolah. Pendidikan karakter bukan hanya ranah kognitif, tapi afektif dan motorik. Tidak cukup hanya di kelas, tetapi juga dikembangkan lagi budaya di sekolah, masyarakat, dan keluarga (TEMPO Interaktif, Jakarta: 2 Mei 2011).
Kini, dengan mengembalikan kebudayaan ke dalam Kementerian Pendidikan Nasional, sehingga menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, semakin mengokohkan realisiasi pendidikan karakter, karena pendidikan karakter dapat diwujudkan melalui kebudayaan. Bahasa dan Sastra Jawa sebagai salah satu unsur budaya di Indonesia akan memberikan kontribusi nyata dalam implementasi pendidikan karakter.
B. Pendidikan Karakter
Konsep pendidikan karakter telah banyak dibicarakan para ahli. UNY sendiri sebagai universitas yang mengembangkan pendidikan kartakter, telah menerbitkan dua buku pendidikan karakter, yaitu (1) Pendidikan Karakter: Grand Design dan Nilai-nilai Target (2009) dan (2) Pendidikan Karakter dalam Perspeksitf Teori dan Praktik (2011). Untuk menyamakan persepsi tentang pendidikan karakter sebagai pijakan dalam pembahasan, dalam makalah ini dibahas sekilas tentang pendidikan karakter.
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif (Bertens, 2004:139). Nilai moral merupakan nilai tertinggi. Nilai moral memiliki ciri-ciri (1) berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut yang tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal (Bertens, 2004: 143-147). Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan (Wiramihardja, 2007:158). Hal itu mengacu juga pada Suyadi (1999:21) yang mengartikan nilai dalam arti baik atau benar berkaitan dengan masalah etis atau moral.
Lebih lanjut Scheler (dalam Frans Magnis=Susena, 2008;16-18) menyatakan bahwa nilai bersifat apriori. Maksudnya, apa arti sebuah nilai, misalnya enak, jujur atau kudus, kita ketahui bukan karena suatu pengalaman, secara aposteriori, melainkan kita ketahui begitu kita sadar akan nilai itu. Manusia tidak menciptakan nilai-nilai, melainkan menemukan mereka. Menurut Scheler nilai dapat diungkap bukan dengan pikiran, melainkan dengan suatu perasaan intensional. Perasaan di sini tidak dibatasi pada perasaan fisik atau emosi, melainkan mirip dengan paham rasa dalam budaya Jawa, sebagai keterbukaan hati dan budi dalam semua dimensi. Perasaan itu intensional karena setiap nilai ditangkap melalui perasaan yang terarah tepat padanya. Menurut Scheler ada empat gugus nilai, yaitu (1) nilai-nilai sekitar yang enak dan yang tidak enak, (2) nilai-nilai vital di mana paling utama adalah nilai yang luhur dan yang hina dan di mana saja termasuk keberanian dan sifat takut, perasaan sehat dan tidak enak badan, dan sebagainya, (3) nilai-nilai rohani yang indah dan yang jelek atau nilai estetis, nilai-nilai yang benar dan tidak benar atau nilai keadilan, dan nilai kebenaran murni yaitu kebernilaian pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri dan bukan karena ada manfaatnya, dan (4) nilai-nilai sekitar yang kudus dan yang profane yang dihayati manusia dalam pengalaman religius. Di luar empat gugus nilai tersebut, ada dua gugus nilai yang tidak mempunyai isi sendiri (nilainya ditentukan oleh nilai yang menjadi tujuan akhir), yaitu nilai kegunaan dan nilai moral. Nilai kegunaan menunjuk pada sesuatu itu bernilai jika berguna dan nilai moral seperti yang baik dan yang jahat.
Konsep kata “baik” dapat dilihat dari berbagai pandangan. George Rdward Moore (dalam Suseno, 2008:1-3) mengatakan, kata “baik” adalah kata kunci moralitas. Kata “baik” merupakan kata dasar yang tidak dapat direduksikan kepada sesuatu yang lebih mendalam lagi. “Baik” merupakan sifat primer yang tidak terdiri atas bagian-bagian lagi, dan karena itu tidak dapat dianalisis. Kata “baik” kebalikan dari adalah “buruk”. Tentang moral, Frans Magnis-Suseno (1987: 14) menjelaskan ajaran moral dimaksud adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Siri Sunan Paku Duwana IV. Sumber dalam ajaran-ajaran itu adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama, atau ideologi tertentu.
Selanjutnya, Frans Magnis-Susena (1987:19) menjelaskan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulutangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma umum ada tiga macam, yaitu: norma-norma sopan-santun, norma-norma hukum, dan norma-norma moral. Norma sopan-santun menyangkut sikap lahiriyah manusia. Norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.
C. Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Sumber Pendidikan Karakter
Bahasa dan sastra Jawa sebagai sumber pendidikan karakter setidaknya harus dibawa pada tiga fungsi pokok bahasa, yaitu (1) alat komunikasi, (2) edukatif, dan (3) kultural. Fungsi alat komunikasi diarahkan agar siswa dapat menggunakan bahasa Jawa secara baik dan benar untuk keperluan alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat. Fungsi edukatif diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai budaya Jawa untuk keperluan pembentukan kepribadian dan identitas bangsa. Fungsi kultural agar dapat digali dan ditanamkan kembali nilai-nilai budaya Jawa sebagai upaya untuk membangun identitas bangsa.
Ketiga fungsi pokok itu jika dilihat dari substansi nilai, merupakan usaha pengembangan dan penanaman nilai-nilai moral. Pada fungsi pertama, bahasa sebagai alat komunikasi yang diarahkan agar siswa dapat berbahasa Jawa dengan baik dan benar, mengandung nilai hormat atau sopan santun. Seperti diketahui bahwa dalam bahasa Jawa berlaku penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh, dan dalam unggah-ungguh itu terkandung nilai-nilai hormat di antara para pembicara, yaitu orang yang berbicara (O1) orang yang diajak berbicara (O2), dan orang yang dibicarakan (O3). Sebagai contoh, untuk menyatakan keadaan sedang makan, jika yang berbicara (O1) anak dan yang dibicarakan (O3) bapak, menggunakan kalimat “Bapak, nembe dhahar” (Bapak baru makan), jika yang sedang makan orang yang berbicara (O1) anak, menggunakan kalimat “Kula saweg nedha” (Saya sedang makan). Penggunaan kata dhahar (makan) merupakan realisasi dari rasa hormat dari anak kepada orang tua.
Keadaan unggah-ungguh bahasa Jawa saat ini, tidak perlu ditakutkan bahwa bahasa Jawa bertingkat-tingkat. Dalam “Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa” (1991), unggah-ungguh bahasa Jawa sudah dibakukan, yaitu dibedakan atas dipakai tidaknya kosakata yang berkadar halus. Kosakata berkadar halus adalah kata yang secara tradsional diidentifikasi sebagai krama inggil. Atas dasar itu, unggah-ungguh bahasa Jawa dibedakan atas (1) ngoko, (2) ngoko alus, (3) krama, dan (4) krama alus. Unggah-ungguh ngoko semua kosakata terdiri dari kosakata ngoko, ngoko alus kosakatanya ngoko yang di dalamnya terdapat kosakata halus atau krama inggil, krama semua kosakata terdiri dari kosakata krama, dan krama alus kosakatanya krama yang di dalamnya terdapat kosakata krama alus atau krama inggil.
Penerapan unggah-ungguh bahasa Jawa yang menunjukkan penanaman nilai-nilai moral kepada peserta didik, telah dirasakan manfaatnya dalam dunia pendidikan, seperti dikemukakan oleh Karim Mustofa (Guru SD Muhammadiyah Demangan) melalui Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 16 Juni 2011 dalam tulisannya berjudul “Pendidikan Berbasis Unggah-ungguh”, yang menyatakan:
“Sebagaimana yang diterapkan hampir di sekolah-sekolah (khususnya SD di DIY), penggunaan bahasa Jawa setiap hari Sabtu bisa memberi implikasi positif terhadap perubahan karakter siswa. Tidak bisa dipungkiri, bahwa bahasa Jawa sebagaimana yang diterapkan para siswa ini sudah semakin hilang, ucapan halus seperti nyuwun pangapunten atau nuwun sewu hampir tidak terdengar lagi. Padahal, kata-kata tersebut merupakan bahasa unggah-ungguh, bahasa kesopanan dan bahasa penempatan kepada yang lebih tua. Secara aplikatif, bahasa Jawa mengandung makna bahasa yang lebih nguwongke atau memanusiakan orang yang diajak bicara daripada bahasa lain. Kata-kata sederhana semacam nuwun sewu, nyuwun pangapunten, ndherek langkung yang semuanya menyatakan permohonan maaf adalah bahasa penempatan kesopanan dari anak kecil atau yang lebih muda kepada orang yang lebih tua. Secara pasti, dengan bahasa halus sebagaimana yang terucap para siswa tersebut, memberikan pengaruh positif dalam propses belajar-mengajar. Anak didik menghormati yang lebih tua/guru. Dengan begitu, guru memberikan balasan yang jauh lebih halus, selain jawaban, pastinya sanjungan dan doa bahwa anak tersebut mempunyai akhlak bagus, rendah hati, dan tindakan terpuji”.
Hal semacam juga pernah penulis alami saat penelitian bersama Prof. Dr. Suharti dalam penelitian berjudul “Kajian Unggah-ungguh Bahasas Jawa dalam Keluarga Jawa di Kotamadya Yogyakarta”. Dalam penelitian ini, ditemukan penggunaan unggah-ungguh ragam krama dalam komunikasi antaranggota keluarga. Penerapan ragam krama dalam keluarga dapat menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur kepada anak. Dalam keluarga itu telah tercipta hubungan yang baik dan jauh dari konflik antaranggota keluarga.
Fungsi edukatif diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai budaya Jawa untuk keperluan pembentukan kepribadian dan identitas bangsa. Pengajaran unggah-ungguh bahasa Jawa seperti diuraikan di depan, selain untuk keperluan alat komunikasi juga dapat mengembangkan fungsi edukatif. Melalui unggah-ungguh basa, siswa dapat ditanamkan nilai-nilai sopan santun. Upaya yang lain adalah melalui berbagai karya sastra Jawa. Sastra wayang misalnya, selain berfungsi sebagai tontonan (pertunjukan) juga berfungsi sebagai tuntunan (pendidikan). Melalui sastra wayang, para siswa dapat ditanamkan nilai-nilai etika, estetika, sekaligus logika. Ungkapan tradisonal Jawa juga banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa untuk kepentingan pendidikan. Semboyan pendidikan nasional kita “Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri Handayani” juga berasal dari ungkapan tradisional Jawa. Pendek kata, dalam khasanah bahasa dan sastra Jawa banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa yang dapat berfungsi untuk mengembangkan fungsi edukatif, yaitu fungsi untuk pembentukan kepribadian.
Fungsi kultural diarahkan untuk menggali dan menanamkan kembali nilai-nilai budaya Jawa sebagai upaya untuk membangun identitas bangsa. Jika fungsi sebagai alat komunikasi dan edukatif telah terlaksana dengan baik, sebenarnya fungsi kultural akan tercapai, karena fungsi kultural sesungguhnya terkait langsung dengan kedua fungsi itu. Melalui fungsi alat komunikasi dan edukatif, diharapkan telah ditanamkan nilai-nilai kepribadian luhur sebagai bagian dari dari tata nilai dan budaya Jawa. Jika penanaman nilai-nilai budaya Jawa telah berhasil, maka akan terbangun kepribadian yang kuat, dan pada akhirnya akan membentuk karakter yang kuat pula.
Dalam fungsi yang ketiga ini, fungsi kultural, banyak karya sastra Jawa, baik karya sastra Jawa lama maupun Jawa baru yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa sekaligus mengandung nilai-nilai moral, misalnya Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunagoro IV. Secara semantik Serat Wedhatama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: serat, wedha dan tama. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, wedha artinya pengetahuan atau ajaran, dan tama berasal dari kata utama yang artinya baik, tinggi atau luhur. Dengan demikian, Serat Wedhatama adalah sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan dan keluhuran hidup dan kehidupan umat manusia. Salah satu ajaran moral dalam Serat Wedhatama, seperti tersirat dalam salah satu pada dalam pupuh Sinom Nulada laku utama, tumrape wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksiganda, panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinepsu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karyenak tyasing sesama (Contohlah perilaku yang utama, yang berlaku bagi orang Jawa, orang besar dari Ngeksiganda, Panembahan Senapati, yang tekun mengurangi hawa nafsu, dengan jalan bertapa brata, serta siang dan malam selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama). Tembang ini mengandung ajaran moral agar mencontoh perilaku utama Raja Mataram Panembahan Senapati, yaitu mengurangi hawa nafsu, dengan jalan bertapa (hidup prihatin), siang malam selalu berkarya membuat hati tenteram memberi kasih sayang bagi sesama.
Selanjutnya, masih banyak karya sastra Jawa yang mengandung nilai-nilai moral sebagai bahan implementasi pendidikan karakter, misalnya Serat Sasana Sastra yang disusun oleh Ki Yasawidagda dan Ki Hadiwijana, Serat Gita Wicara yang ditulis oleh Ki Hadiwijana, Arjunasasrabahu yang ditulis oleh R. Ng, Sundisastro, Serat Sanasunu yang ditulis oleh R. Ng. Yasadipura II, Serat Trilaksita yang ditulis oleh M. Ng. Mangun Wijaya, dan lain-lain. Jika kita sulit mencari bukunya, kita dapat mengunduh (download) pada internet melalui google dengan cara mengetik kata-kata kunci, misalnya Serat Sasana Sastra, maka akan muncul apa yang kita cari.
D. Pelaksanaan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa
Pembelajaran bahasa Jawa hendaknya berlangsung tidak sekedar meaning getting, tetapi berupa proses meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa. Dengan pola itu, siswa tidak dijejali dengan seperangkat kaidah untuk dimengerti secara kognitif, tetapi diarahkan untuk pengembangan aspek afektif, sesuai dengan sifat bahasa Jawa itu sendiri yang penuh akan muatan afektif.
Pola pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah dikembangkan lebih lanjut dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) didasarkan atas pendekatan kontekstual atau CTL (contextual teaching and learning). Pembelajarn kontekstual sebagai dijelaskan dalam KTSP (Depdiknas, 2006) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan sekedar mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Pembelajaran muatan lokal harus diarahkan ke pendidikan afektif. Dalam mengajarkan muatan lokal sebaiknya digunakan pendekatan langsung. Implementasi dari pendekatan ini, dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, siswa harus dibawa secara langsung dengan cara mencelupkan diri ke dalamnya secara utuh. Siswa diajak menggunakan bahasa dan sastra Jawa secara langsung untuk menulis, berbicara, membaca, dan menyimak. Kebiasaan guru berceramah secara panjang lebar tentang substansi bahasa dan sastra Jawa perlu dihindari, yang diperlukan hanyalah penjelasan seperlunya untuk menggunakan bahasa dan sastra. Ketika pembelajaran berbicara misalnya, siswa secara langsung belajar berbicara (berkomunikasi dengan orang lain, berpidato, bercerita, dan sebaginya), guru tinggal membetulkan jika ada kesalahan penggunaan. Pembelajaran menulis juga demikian, siswa diajak menulis secara langsung (mengarang puisi, cerita pendek, cerita bebas, atau lainnya). Kita dapat mencontoh anak-anak keturunan Jawa di Suriname belajar bahasa Jawa dengan lagu-lagu Jawa. Pengalaman penulis mengamati anak-anak muda di Suriname, ternyata mereka tertarik belajar bahasa Jawa melalui lagu-lagu Jawa seperti campur sari, lagu-lagu pop Jawa, panembrama, dan karawitan. Festival lagu-lagu Jawa di Suriname mampu membangkitkan minat generasi muda keturunan Jawa di Suriname untuk belajar bahasa Jawa. Dengan pola ini, siswa secara tidak langsung akan tertanam nilai-nilai moral dari substansi bahasa dan satra Jawa.
Penelitian yang pernah penulis lakukan di SMP 8 Yogyakarta pada tahun 1999, pembelajaran sastra wayang secara apresiatif dengan mengembangkan aspek-aspek menggemari, menikmati, mereaksi, dan memproduksi dapat meningkatkan penanaman nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan langsung. Siswa secara langsung diajak mencelupkan diri dalam pembelajaran sastra wayang. Siswa diajak menonton pertunjukan wayang melalui rekaman audio-visual, rekaman audio, bacaan, dan menghadirkan tokoh-tokoh wayang serta mendiskusikan nilai-nilai moral dalam tokoh wayang. Mengembangkan kompetensi bersastra Jawa dengan memanfaatkan media pertunjukan wayang kiranya dapat direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa dalam kerangka pendidikan karakter.
Untuk mengemas pembelajaran agar lebih menarik dan tidak membosankan guru dapat memanfaatkan sarana teknologi yang ada, misalnya memanfaatkan VCD atau vidio berisi berbagai program bahasa, sastra, dan budaya daerah seperti wayang, berbagai upacara tradisional, lagu-lagu daerah (tembang, campur sari, karawitan), pemanfaatan program komputer, pemanfaatan internet, dan sebagainya.
Selain implementasi dalam pembelajaran, pendidikan karakter dapat dilaksanakan dengan mengembangkan kultur sekolah. Sependapat dengan catatan Sawali Tuhusetya dalam blog pribadinya (Senin, 19 Juni 2011) setidaknya, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu segera diagendakan agar pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam institusi pendidikan. Pertama, membangun keteladanan. Sudah bertahun-tahun lamanya, negeri ini telah kehilangan sosok negarawan yang bisa menjadi teladan dan anutan sosial dalam perilaku hidup sehari-hari. Kaum elite kita, diakui atau tidak, hanya pintar ngomong di atas mimbar pidato, tetapi implementasi tindakannya ibarat “jauh panggang dari api”. Institusi pendidikan tak akan banyak maknanya apabila kaum elite kita hanya berada “di atas menara gading kekuasaan”, miskin keteladanan, dan hanya sibuk bermain akrobat untuk mempertahankan kekuasaan semata, kedua, memberdayakan guru. Secara jujur harus diakui, profesi guru, semenjak disahkannya UU Guru dan Dosen, menjadi lebih “bergengsi” dan bermartabat. Empat kompetensi –profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial yang menjadi syarat wajib bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan kinerja guru sehari-hari. Belum lagi persoalan perlindungan dan advokasi terhadap kinerja guru yang dianggap masih lemah, sehingga guru belum sepenuhnya mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Yang tidak kalah penting, guru juga perlu terus diberdayakan dalam soal pengembangan pendidikan karakter lintas-mata pelajaran. Artinya, pendidikan karakter bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab guru PKn atau Agama saja, melainkan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinerja guru secara menyeluruh dan terpadu. ketiga, dukungan lingkungan sosial, kultural, dan religi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Di tengah situasi peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, institusi pendidikan tak bisa sepenuhnya “otonom” dan berjalan sendiri tanpa “intervensi” lingkungan. Segenap elemen bangsa, mulai tokoh masyarakat, agama, hingga media, perlu memberikan dukungan penuh dan optimal terhadap implementasi pendidikan karakter. Media televisi yang selama ini telah menjadi “tuhan” baru di kalangan anak-anak dan remaja perlu menjalankan fungsinya sebagai pencerah peradaban dengan memberikan suguhan dan tayangan yang edukatif. Jangan sampai anak-anak yang tengah “memburu jati diri” dicekoki dengan tayangan sinetron mistik atau entertaintment yang serba glamor, hingga membuat anak-anak bangsa di negeri ini makin kehilangan pegangan dan basis pendidikan karakter dalam hidup dan kehidupannya.
E. Simpulan
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai moral merupakan nilai tertinggi, yang memiliki ciri-ciri (1) berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut yang tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Nilai moral terdiri dari ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Nilai moral yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa yang berwujud tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya dapat digunakan sebagai sumber pendidikan karakter.
Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber bahasa dan sastra Jawa dapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses meaning making (membuat bermakna), sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai kultural bahasa dan sastra Jawa.
F. Rekomendasi
Melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dapat ditanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur sebagai realisasi dari pendidikan karakter. Oleh karena itu, perlu dikukuhkan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dalam semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA/SMK), sampai perguruan tinggi, khususnya program studi atau jurusan ilmu budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustidaka Utama
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP): Bahan Sosialaisasi. htpp//:www.depdiknas.id.org.
Frondizi, Risieri. 2007. Pengantar Filsafat Nilai (terjemahan dari buku What is Value? Oleh Cuk Ananta Wijaya). Yogyakarta: Pustidaka Pelajar
Gensler, Harry J. 1998. Ethics. London and New York. Routledge
Hymes, Dell. 1972. “Models of the Interaction of Language and Social Life” dalam, J.J. Gumperz dan Hymes (ed.) Direction in Sociolinguistic. New York: Rinehart & Winston.
Kementerian Pendidikan Nasional, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006. Jakaarta.
Magnis-Suseno, Frans. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyaklarta: Kanisius.
__________________, 2008. Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta: Kanisius
__________________, 2005. Pijar-pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
__________________, 1993. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustidaka Utama.
Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga.
Rachels, James. 2004. Filsafat Moral (terjemahan dari buku The Element of Moral Philosophy oleh A. Sudiarja). Yogyakarta: Kanisius
Soejadi. 1999. Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia. Yogyakarta: Lukman Offset.
Sutrisna Wibawa, 1999. Apresiasi Sastra Wayang di SMP Negeri 8 Yogyakarta. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY.
Sutrisna Wibawa, 2006. Pendekatan Pembelajaran Bahasa Jawa di SMA/SMK/MA. Semarang: Makalah Kongres Bahasa Jawa.
Wiramihardja, A. Sutarjo. 2007. Pengantar Filsafat (Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Lodika dan Filsafat Ilmu ‘Epistemologi’, Metafisika dan Filsafat Manusia, dan Aksiologi). Bandung Aditama.
Zuchdi, Darmiyati, 2009. Pendidikan Karakter: Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.
_____________(editor), 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons