Cari Blog Ini

Jumat, 17 Februari 2012

PERAN DAN TELADAN WALI KELAS DALAM MENDIDIK KARAKTER SISWA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Siswa tuntas dalam belajar adalah harapan semua pihak, baik guru, siswa yang bersangkutan, maupun sekolah secara umum. Permasalah yang kemudian muncul adalah manakala siswa menempuh segala cara untuk mencapai ketuntasan. Siswa setelah selesai ulangan umum, menceritakan kepada teman bahwa saat ulangan umum berhasil membuka contekan yang telah dipersiapkan. Perasaan menang dan puas telah berhasil mencontek tanpa diketahui pengawas (Ulangan/Tes). Ulangan harian membuka buku, mengerjakan tugas hanya tinggal menyalin pekerjaan teman, membeli kunci jawaban ujian nasional, izin ke kamar mandi saat ujian untuk meninggalkan kode-kode kepada teman, dan sebagainya. Bahkan saat nilai Ujian Nasional (UN) suatu daerah menempati rating bawah secara nasional, berbagai statement dilontarkan untuk bahan evaluasi dan perbaikan, tetapi mengkhawatirkan apabila mempersalahkan pelaksanaan Ujian Nasional yang jujur sehingga hasil ujian menjadi hancur. Terbiasa mengutamakan hasil dan mengesampingkan proses inilah yang menghiasi ranah pendidikan karena disadari atau tidak realita ini terjadi di beberapa tempat. Melemahnya penanaman kejujuran dan penanaman sikap menghargai proses kepada peserta didik merupakan latar belakang dari permasalahan ini.
Kondisi yang sangat mencengangkan dilapangan adalah tingginya ketidakhadiran siswa tanpa keterangan (alpha) baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Penerapan poin pelanggaran tidak begitu memiliki andil besar dalam mengurangi tingkat alpha siswa. Siswa tenang saja dan merasa hal ini sebagai sesuatu yang biasa dan tidak membuat malu. Demikian juga dengan orang tua siswa saat diberikan informasi data alpha siswa dari sekolah, tidak sedikit dari orang tua siswa yang tidak melakukan tindak lanjut. Siswa terlambat hadir secara berturut-turut, berseragam tidak semestinya, kelengkapan seragam tidak terpenuhi, dan beberapa pelanggaran lainnya, dilakukan siswa dengan sadar dan apabila diberikan perlakuan (ditegur atau diingatkan) siswa hanya melakukan reaksi pada saat itu. Budaya malu jika tidak tertib dan tidak disiplin inilah yang tidak nampak sekarang walaupun tidak disemua sekolah.
Kelas merupakan organisasi kecil bagian dari sekolah dengan anggota beberapa siswa yang memiliki keunikan dan karakteristik berbeda. Kegiatan sekolah yang diperuntukkan bagi kelas baik agenda tahunan maupun kegiatan insidentil dilakukan untuk memupuk rasa gotong royong, kerjasama, dan rasa memiliki terhadap kelas, seperti lomba-lomba di hari ulang tahun sekolah, lomba untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, lomba di hari Kartini, jumat bersih, class meeting, dan lain sebagainya. Menyambut kegiatan yang diperuntukkan bagi kelas, terdapat anak-anak yang tak acuh, tidak peduli, tetapi ada juga anak yang sangat mendukung dan aktif mengoordinir kelas untuk menyukseskan kegiatan kelas. Masih terdapatnya anak-anak yang kurang peduli terhadap kegiatan kelas menunjukkan rasa memiliki terhadap kelas rendah. Tujuan sekolah memupuk rasa gotong royong dan kerjasama antarsiswa dalam kelas belum sepenuhnya tercapai. Menjelang kegiatan, biasanya kelas akan melakukan koordinasi sepulang sekolah. Siswa yang kurang merespon terkadang pulang awal dan tidak mengikuti koordinasi maupun pembagian tugas di kelas atau bahkan membuat gaduh suasana koordinasi. Rasa mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadinya, rasa memiliki terhadap kelas, dan rasa gotong royong tidak lagi terasa di kelas.
Berkaitan dengan sikap dan sopan santun siswa di sekolah, terdapat beberapa sikap yang kurang mencerminkan kearifan lokal. Siswa berpapasan dengan bapak atau ibu guru tetapi tidak menyapa ataupun sekedar tersenyum; berbicara dengan guru di kelas menggunakan bahasa campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia; saat melihat guru kerepotan membawa alat ataupun media, siswa tidak dengan sukarela menawarkan bantuan; siswa tidak hafal dengan nama bapak atau ibu guru yang membimbingnya dan bahkan  menyebutnya dengan Ibu PPKn, Bapak IPA, dan seterusnya; bercanda secara berlebihan (sampai terlontar bahasa Jawa kasar/ “ngoko”), dan lunturnya budaya cium tangan. Hal-hal seperti inilah yang membuat sangat prihatin dan apabila tidak ditangani dari sekarang maka anak-anak didik akan semakin jauh dari kearifan lokal.

B.  Masalah
Berdasrkan pokok masalah pada latar belakang ini adalah tentang melemahnya penanaman nilai-nilai kejujuran dan bagaimana cara penanaman sikap menghargai proses kepada peserta didik ?.
















BAB II
KAJIAN TEORI

                 Doni Koesoema Albertus (2007 : 247)  menyatakan bahwa wali kelas memiliki peranan yang sangat besar bagi pembentukan karakter siswa. Wali kelas sesungguhnya menjadi semang bagi perkembangan kemajuan di dalam kelas. Mereka bertanggung jawab atas berhasil tidaknya komunitas kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Hasil kinerja wali kelas ini terutama bisa dilihat bagaimana ia dapat menjadi animator bagi kelas sebagai sebuah komunitas pembelajaran bersama. Wali kelas biasanya juga menjadi guru bidang studi tertentu namun mereka mendapat tugas lain sebagai penanggung jawab dinamika pembelajaran di dalam kelas tertentu. Peranan wali kelas yang paling menonjol adalah menjadi semacam kepala keluarga dalam kelas tertentu, ini berarti ia bertanggung jawab terutama menciptakan kondisi dan lingkungan yang kondusif satu sama lain sehingga  kelas itu menjadi komunitas belajar dapat maju bersama dalam proses pembelajaran. Kesimpulannya tugas utama wali kelas adalah membuat kelas itu secara bersama-sama berhasil menjalankan fungsi pembelajaran yang kriterianya adalah semua siswa di kelas itu dapat naik kelas dengan nilai yang baik pada akhir tahun. Wali kelas bekerjasama dengan pihak sekolah untuk merencanakan program pendampingan bagi kelas perwaliannya. Program ini harus terstruktur dalam kebijakan sekolah sehingga setiap program perwalian wali kelas memiliki visi dan misi yang sama. Wali kelas secara periodik perlu melakukan evaluasi terhadap kelasnya melalui pertemuan yang tidak formal dan lebih rileks agar komunikasi lebih bisa terbangun. Momen pembinaan perwalian kelas inilah yang sesungguhnya menjadi tempat penting bagi penanaman nilai dan pembentukan karakter siswa.
                 Pendidikan menurut Niccolo Machiavelli dalam buku Doni Koesoema Albertus, merupakan proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus karena secara kodrati manusia memiliki kekurangan dan ketidaklengkapan.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa sehingga pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan. Peringatan hari Pendidikan Nasional tahun 2010 mengangkat tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Mohammad Nuh menyampaikan “diantara karakter yang ingin kita bangun adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran”.
Howard Gardner, penulis buku "Multiple Intelligence" dalam Suparlan.com, menjelaskan bahwa keberhasilan seseorang dipengaruhi oleh Intelligence Quotient (IQ) hanya dua puluh persen, sementara delapan puluh persen ditentukan oleh Emotional Intelligence (EI) dan Spiritual Intelligence (SI). Karakter merupakan bagian dari kecerdasan ganda yang dijelaskan Howard Gardner. Kecerdasan ganda meliputi tujuh macam kecerdasan yang sering disingkat SLIM n BIL, yaitu: 1)  spatial (keruangan), 2) language (bahasa), 3) intrapersonal (intrapersonal), 4) music (musik), 5) naturalist (naturalis – sayang kehidupan alam), bodily kinesthetics (olahraga – gerak badan), logical mathematics (logikal –matematis).
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto, Ph.D dalam Suparlan.com menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Prof. Suyanto, Ph.D juga menyebutkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia. Sembilan pilar karakter itu adalah 1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; 2) kemandirian dan tanggung jawab; 3) kejujuran/ amanah; 4) hormat dan santun; 5) dermawan, suka tolong-menolong, gotong royong/ kerjasama; 6) percaya diri dan pekerja keras; 7) kepemimpinan dan keadilan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Dr. Martin Luther King, tokoh spiritual kulit hitam di Amerika Serikat, dalam Suparlan.com menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat atau intellegence plus character,  ”that is the goal of true education”. Itulah tujuan pendidikan yang sebenarnya, yakni menciptakan manusia yang cerdas secara komprehensif dari keseluruhan aspek kecerdasan ganda.
 Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah seorang pedagog berkebangsaan Jerman yaitu FW Foerster (1869-1966). Disebutkan oleh FW Foerster dalam Jambi Ekspres bahwa pada hakekatnya tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga, otonomi. Hal ini berarti, seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik.
Ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis dalam bataviase.co.id, "suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya". Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah guru dan pengorbanan. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak guru-guru yang suka berkorban. Guru adalah teladan. Guru adalah digugu (didengar) dan ditiru (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya. Ratna Megawangi (2007), dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter. Menurut  Ratna Megawangi pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukur menjadi habit of the mind, heart, and hands. Banyak program pendidikan gagal, karena memang tidak serius untuk diamalkan dan lebih penting lagi karena tidak ada contoh.























BAB III
PEMBAHASAN

                 Nilai-nilai kejujuran, senantiasa menghargai proses dan tidak semata- mata berorientasi pada hasil, disiplin, merasa malu apabila melanggar aturan/ tidak tertib, sopan santun, budaya saling membantu, mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi, gotong royong, mengasihi sesama teman, budaya cium tangan, mulai luntur dalam kehidupan remaja sekarang. Remaja tentu saja berkaitan dengan anak usia sekolah menengah pertama sampai dengan menengah atas. Nilai-nilai luhur dan baik tidak lagi kental menghiasi perilaku remaja, tentu saja hal ini dipengaruhi oleh faktor yang sangat kompleks mulai dari pendidikan dalam keluarga, masyarakat lingkungan tempat tinggal, dan pendidikan di sekolah. Pemaparan dalam tulisan ini hanya akan dibatasai pada sisi pendidikan di sekolah.
                 Kenyataan yang membuat prihatin ini akan terus tumbuh subur apabila kalangan pendidik tidak merubah pola pendidikannya. Pendidikan seharusnya tidak semata-mata berorientasi pada aspek kognitif saja melainkan dilakukan terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi pendidikan yaitu kognitif (intelektual meliputi pengetahuan, keterampilan); afektif (aspek perasaan dan emosi berupa minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri); dan psikomotor (aspek keterampilan motorik); serta berbasis pada karakter positif.
                 Pendidikan bertujuan untuk membangun insan cerdas yang berkarakter kuat  seperti halnya disampaikan oleh Dr. Martin Luther King, tokoh spiritual kulit hitam di Amerika Serikat. Guru semua mata pelajaran hendaknya memasukkan unsur pendidikan karakter secara kontinue dalam mata pelajaran yang diampunya.
                 Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak usia sekolah. Selain bapak dan ibu guru, di sekolah ada orang yang dianggap sebagai orang tua bagi siswa di suatu kelas yang sering dikenal dengan nama wali kelas. Peran sebagai orang tua bagi kelas perwalian atau kelas binaan seharusnya menjadikan wali kelas tidak semata-mata menjalankan tugas sampiran sama seperti yang tertuang dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) wali kelas tetapi wali kelas bekerja dengan profesional sesuai tupoksi, mengerjakannya tulus dari hati, dan yang lebih penting lagi menjalin komunikasi dan kedekatan personal emosional dengan warga kelas. Wali kelas harus mengetahui karakter, ciri pribadi, kelebihan, dan kekurangan dari masing-masing anak binaan di kelas.  Wali kelas dapat bertindak sebagai guru, orang tua, teman, yang bisa mengelola dan memanage kelas dalam suasana yang semestinya (saat serius, kelas dikondisikan untuk bisa membawa diri, dan saat santaipun kelas dapat menyesuaikannya).
Pada awal ketugasan sebagai wali kelas, merupakan bagian paling penting, karena kesan pertama bagaimanapun juga akan berdampak bagi kalangsungan hubungan berikutnya. Pada pertemuan awal, diskusikan dengan kelas binaan, kelas kondusif seperti apa yang ingin diwujudkan bersama, kemudian tetapkan visi dan misi kelas serta perangkat organisasi kelas. Sepakati aturan main berkaitan dengan penanaman nilai misal tanamkan kepada kelas binaan mengenai kedisiplinan hadir. Sampaikan kepada warga kelas bahwa setiap individu di kelas punya keberartian bagi kelas sehingga kalau tidak hadir wajib menginformasikan kepada wali kelas baik melalui pesan singkat telepon genggam maupun melalui telepon, dan baru setelah masuk di kemudian hari, siswa melengkapi izin dengan menyerahkan surat izin langsung kepada wali kelas. Aturan main yang ditetapkan di awal ini harus secara konsisten dilaksanakan. Apabila ditengah-tengah perjalanan terdapat anak binaan yang alpha, harus dilakukan pendekatan sehingga diketahui penyebabnya, dan harus telaten membina baik untuk siswa yang bersangkutan maupun pembinaan klasikal. Biasakan pula wali kelas untuk izin atau menginformasikan kepada kelas apabila wali kelas berhalangan tidak dapat mendampingi siswa pada pertemuan kelas yang disepakati. Sederhana tetapi ini akan dicontoh siswa.
Wali kelas biasanya adalah guru mata pelajaran tertentu bagi kelas binaannya. Pada mata pelajaran yang diampunya tersebut, tanamkan kebiasaan menghargai proses dan tidak semata-mata berorientasi hasil. Saat nilai ulangan anak jelek, sampaikan betapa rasa bangga itu luar biasa karena anak-anak telah berusaha sungguh-sungguh dan jujur, sebaliknya jika menjumpai ketidakjujuran, tunjukkan bahwa hal itu benar-benar mengecewakan, dan anak didik apabila memiliki kedekatan emosional dengan wali kelasnya, ia akan merasa bersalah dan menyesal telah mengecewakan orang yang mereka sayangi. Penanaman kejujuran ini juga dilaksanakan dalam pembimbingan wali kelas setiap saat, dipantau, serta di ingatkan terus menerus. Wali kelas ataupun guru juga harus jujur mengakui bahwa belum bisa menjawab pertanyaan siswa dan baru akan mencari referensi terlebih dahulu, jujur mengakui pada pertemuan kemarin terdapat materi yang terlewatkan, dan sebagainya, hal ini secara tidak langsung mengajari kepada anak untuk jujur mengakui kekurangan dan kesalahannya.
Senyum, menyapa, jabat tangan, cium tangan, adalah suatu kebiasaan yang baik dan sangat indah apabila dapat tertanam dan menjadi bagian dari hidup anak-anak. Hal ini tidak akan terbentuk dengan sendirinya. Mengharap anak menjadi baik, tentu saja harus diajarkan dengan hal yang baik. Guru berpapasan dengan siswa biasakan senyum dan menyapa atau mengucap salam, maka di hari-hari seterusnya siswa akan otomatis senyum dan menyapa saat berpapasan dengan guru. Ajak siswa berjabat tangan terlebih dahulu maka di hari berikutnya pasti siswa yang akan mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Hal sederhana tetapi berdampak anak merasa dihargai dan keberadaannya diakui adalah mengenal namanya. Guru ataupun wali kelas penting untuk mengenal dan menghafal nama siswa, selain membawa kedekatan tersendiri juga memudahkan di dalam komunikasi. Guru yang mengenal dengan baik nama siswanya pasti akan dikenal juga oleh siswanya. Siswa akan peduli dengan guru atau wali kelas tersebut sehingga tidak akan ada siswa memanggil dengan Bapak IPA atau Ibu PPKn. Jika kita amati, sebetulnya apa yang kita kehendaki dilakukan oleh siswa lebih baik kita lakukan terlebih dahulu kepada siswa, maka siswa akan mengikuti. Bimbing kelas binaan dengan kasih sayang, dekat, namun tetap disiplin, maka anak-anak kelas binaan akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak brutal, tidak keras hati, namun tumbuh menjadi anak yang dewasa, punya empati, dan mampu mengembangkan kreatifitasnya dengan baik. Di kelas anak-anak nyaman karena melihat kesabaran wali kelasnya dalam mengoordinir kelas, sehingga mereka akan tumbuh menjadi remaja yang mampu mengendalikan emosi. Jika wali kelas melihat perilaku yang tidak semestinya, semisal siswa kelas binaan berbicara dengan bahasa Jawa “ngoko” kepada salah satu guru maka seperti layaknya orang tua, memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk mengingatkan, namun cara mengingatkannya adalah dilain waktu dan hanya dengan siswa yang bersangkutan (tidak didepan umum). Tidak pernah berhenti untuk mengingatkan manakala melihat anak-anak melakukan kesalahan baik kecil maupun besar.
Koordinasi dengan kelas harus sering dilakukan. Saat kelas ada kegiatan lomba, sesibuk apapun wali kelas, alokasikan waktu untuk mendampingi kelas binaan dalam koordinasi kelas. Tanamkan kepada kelas binaan utamakan kepentingan kelas dari pada kepentingan pribadi, sehingga di setiap pertemuan kelas, anak-anak wajib mengikuti, dan jika berkepentingan wajib izin kepada wali kelas. Wali kelaspun mengutamakan kepentingan kelas dari pada kepentingan pribadinya, karena seharusnya pulang di akhir jam kerja tetapi bergabung dengan kelas dan melakukan koordinasi. Akan berbeda apabila wali kelas tidak terlibat langsung dalam setiap koordinasi kelas, pasti anggota kelas tidak lengkap dalam koordinasi tersebut. Pertemuan pertama dan kedua kelas, mungkin menjadi suatu keterpaksaan bagi salah satu atau sekelompok anak, akan tetapi jika di biasakan untuk wajib hadir lengkap kecuali siswa berkepentingan  maka ini akan menjadi suatu kebiasaan positif untuk selalu terlibat dengan urusan kelas.
Wali kelas adalah orang yang paling dekat dengan anak-anak kelas binaan sehingga paling mudah untuk menanamkan suatu sikap dan nilai yang baik kepada anak. Sikap nilai yang baik inilah yang sering dikenal dengan pendidikan karakter. Syarat keberhasilannya adalah ketulusan, kedekatan, konsistensi, dan keteladanan dari diri wali kelas itu sendiri.
BAB IV
PENUTUP

a.    Simpulan
Pendidikan akan lebih bermakna jika tidak semata mata berada pada ranah kognitif saja. Pengetahuan dan keterampilan didukung dengan sikap dan perilaku yang positif akan menjadi sosok pribadi yang berkarakter. Wali kelas sebagai orang tua bagi siswa di kelas binaan memiliki hubungan kedekatan yang lebih sehingga dapat berperan yang lebih pula dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan di kelas binaannya. Penanaman nilai akan efektif apabila diteladani atau diberikan contoh. Keteladanan akan jauh lebih bermakna dari seribu perkataan.

b.   Saran
           Bagi wali kelas jalinlah kedekatan emosional dengan kelas binaan sehingga mudah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan untuk siswa di kelas binaan. Selain menanamkan nilai, yang tidak kalah penting adalah melaksanakan terlebih dahulu nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada siswa.
           Bagi pembaca, pergunakan tulisan ini sebagai bahan inspirasi untuk tulisan ilmiah yang lain.









            
DAFTAR PUSTAKA

Koesoema Albertus, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. PT Grasindo: Jakarta.

Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.

Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: dari Konsepsi sampai dengan Implementasi. Hikayat Publising: Yogyakarta.

www.bataviase.co.id. Pendidikan Karakter. Opini republika. Diposting 14 Juni 2010.

www.penapendidikan.com. Mendiknas: Pendidikan Karakter Mendesak Diterapkan. Sumber Media Center Diknas. Diposting 5 Mei 2010.

www.suparlan.com. Pendidikan Karakter dan Kecerdasan. Diposting 18 Juni 2010.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons