Cari Blog Ini

Minggu, 08 Januari 2012

Peranan Guru Dalam Pendidikan Karakter Dalam Pandangan Islam


PERANAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh : Dr. Nur Kholiq *).

Pendahuluan

Dalam situs resmi BKKBN terungkap berita yang mengejutkan, yaitu: Sebanyak 63% Remaja ditemukan Pernah Berhubungan Seks. (KESRA-- 19 DESEMBER 2008)
Menurut hasil survei yang dilakukan salah satu lembaga, 63 persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen di antaranya melakukan aborsi. "Hasil survai terakhir suatu lembaga survei yang dilakukan di 33 provinsi tahun 2008, sebanyak 63 persen remaja mengaku sudah mengalami hubungan seks sebelum nikah," kata Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M Masri Muadz, saat Peluncuran SMS Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja di Serang, Jumat.
Ia mengatakan, persentasi remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasar data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, masih berkisar 47,54 persen remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. Namun, hasil survei terakhir tahun 2008 meningkat menjadi 63 persen. "Perilaku seks bebas remaja saat ini sudah cukup parah. Peranan agama dan keluarga sangat penting mengantisipasi perilaku remaja tersebut," katanya.

Menurut dia, ada beberapa faktor yang mendorong anak remaja usia sekolah SMP dan SMA melakukan hubungan seks di luar nikah di antaranya pengaruh liberalisme atau pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan dan keluarga yang mendukung kearah prilaku tersebut serta pengaruh perkembangan media massa. Oleh karena itu, dengan adanya perilaku seperti itu, para remaja tersebut sangat rentan terhadap resiko kesehatan seperti penularan penyakit HIV/AIDS, penggunaan narkoba serta penyakit lainnya. Sebab, data Departemen Kesehatan hingga September 2008, dari 15.210 penderita AIDS atau orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Indonesia 54 persen adalah remaja.

Berita di atas hanyalah sebagian dari fenomena gunung es merosotnya nilai-nilai moral dalam kehidupan para remaja kita. Tawuran pelajar, maraknya peredaran narkoba di kalangan siswa, adanya siswa yang terlibat dalam tindakan kriminal, dan tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya merupakan keprihatinan kita bersama. Tidak hanya di kalangan remaja saja, secara umum bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai problem dan krisis kebangsaan yang serius. Berbagai permasalahan silih berganti menyita perhatian semua anak bangsa. Jika tidak segera ditangani dan diantisipasi, maka problem dan krisis itu bisa mengarah pada bergesernya karakter (jati diri) bangsa ini, dari karakter positif ke negatif.

Fenomena itu tidak berlebihan karena belakangan ini tampak mulai menggejala beberapa karakter negatif yang melanda bangsa ini, seperti: budaya korup, hipokrit, materialistik, lebih menyukai jalan pintas, intoleran, kekerasan, distrust (ketidakpercayaan kepada pihak lain), dan lain-lain. Pelaksanaan evaluasi hasil belajar dalam bentuk Ujian Nasional (UN) terpaksa dilakukan melalui prosedur dan proses yang sangat ribet, dari pengawasan silang, pemantauan oleh pemantau independen, sampai pengawalan distribusi soal yang melibatkan aparat kepolisian., sesuatu yang mungkin hanya terjadi di Indonesia.

Andaikata bangsa ini tidak sedang dilanda penyakit distrust tentu pelaksanaan Ujian Nasional cukup diserahkan kepada pihak sekolah penyelenggara, dan tidak melibatkan banyak pihak yang berujung pada efisiensi biaya penyelenggaraan. Andaikata semua elemen bangsa ini masih menjadikan kejujuran sebagai spirit dan etika dalam menjalankan tugas dan peranannya masing-masing, niscaya tidak perlu lagi dibentuk berbagai lembaga pengawasan yang berlapis-lapis, seperti BPK, BPKP, KPK, Bawasda, dan lain-lain. Andaikata para pemimpin dan wakil rakyat kita mampu menjaga amanah jabatan yang disandangnya, tentu kesejahteraan rakyat akan segera bisa dinikmati secara merata.

Sesungguhnya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala di atas, tetapi faktor pendidikan lah yang sering dituduh sebagai "biangkeroknya". Asumsinya, tugas utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang juga bisa diungkapkan sebagai "produsen" manusia Indonesia. Jika manusia yang dihasilkan oleh pendidikan telah gagal mengantarkan bangsa ini kepada keadilan, kemajuan, dan kesejahteraan bersama, maka tidak salah kiranya jika pendidikan dipertanyakan ulang pemenuhan fungsinya. Adakah sesuatu yang salah dalam pendidikan kita? Pada kenyataannya memang demikian. Pendidikan kita masih bergulat dengan sejumlah problem yang melilit dirinya sendiri.

Pendidikan kita dihadapkan pada sejumlah problem yang bersifat makro dan mikro. Pada tataran makro, setidaknya ada dua permasalahan mendasar, yaitu orientasi filosofis dan arah kebijakan. Secara tersurat, tujuan pendidikan nasional kita sungguh sangat ideal karena menjangkau semua dimensi kemanusiaan kita (religiusitas, etis, fisik, keilmuan, dan life skill), tetapi terjadi gap antara cita-cita dengan upaya dan instrumen untuk mencapai cita-cita tersebut. Implementasi pendidikan kita sering lebih menciptakakan manusia yang bertipe mekanistik daripada humanistik. Berbagai kebijakan juga seringkali mengebiri dan sengaja mengerdilkan pendidikan. Pada tataran mikro, kita dihadapkan pada kesenjangan kualitas yang sangat jauh antar lembaga pendidikan dalam hal in put siswa, ketersediaan sarana, SDM, lingkungan, dan lain-lain.

Melihat kenyataan seperti itu, masihkah ada cahaya harapan dari dunia pendidikan? Tentu masih banyak sisi-sisi positif pendidikan kita. Sejumlah lembaga pendidikan alternatif semakin bermunculan, siswa-siswa kita juga bisa berlaga di ajang internasional, banyak guru kita juga yang merupakan manusia-manusia kreatif, dan lain-lain. Namun demikian, agar pendidikan kita mampu berperan lebih besar dalam menggali, mengembangkan, menjaga, dan mengawal karakter positif bangsa ini, perlu ada design besar yang sistematis dan terarah, bukan hanya by accident. Di sinilah para guru dituntut ikut berperan aktif secara optimal.

Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep-konsep tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah melangkah jauh dalam mempraktekannya. Tulisan ini mencoba untuk ikut urun rembug dengan melakukan reinventing atau penggalian kembali nilai-nilai Islam terutama tentang peranan guru dalam dunia pendidikan. Hal ini perlu dilakukan agar kita (umat Islam, yang merupakan mayoritas warga bangsa ini) tidak asing dengan tradisi keilmuannya sendiri. Bukankah pendidikan karakter akan lebih berhasil jika para pelakunya diberi arahan yang berasal dari tradisinya sendiri?

Guru dalam Perspektif Islam

Peranan guru dalam membantu proses internalisasi nilai-nilai positif ke dan di dalam diri siswa tidak bisa digantikan oleh media pendidikan secanggih apapun. Hal ini karena pendidikan karakter membutuhkan teladan hidup (living model) yang hanya bisa ditemukan dalam pribadi para guru. Tanpa peranan guru, pendidikan karakter tidak akan pernah berhasil dengan baik. Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah.
Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domain psikomotor). Proses pembiasaan itu tidak akan mungkin berjalan dengan baik tanpa bantuan guru dan juga orang tua.

Sebagai seorang pendidik muslim, kita perlu menggali kembali nilai-nilai Islam sebagai pijakan kita dalam menjalankan tugas profetik dan profesionalismenya. Guru utama yang menjadi panutan kita adalah Rasulullah saw. Beliau mengemban misi mulia dari Allah swt yang tercermin dalam surat al-Jumu'at: 2, yang artinya “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (as-Sunnah), dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Tugas Nabi Muhammad saw antara lain adalah membacakan ayat-ayat Allah swt, menyucikan dan mengajar manusia. Beliau sebagai pendidik bukan hanya sekedar membacakan atau menyampaikan, tetapi juga menyucikan, yakni membersihkan jiwa dan mengembangkan kepribadian. Sedangkan mengajar adalah mengisi benak peserta didik dengan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas yang menjadi tujuan penciptaan manusia, yakni menjadi khalifah (Qs. Al-Baqarah: 31), dan untuk mengabdi, beribadah kepada Allah swt (Qs. Adz-Dzariyat: 56).1. Atas dasar itulah, maka dalam pandangan Prof. Quraish Shihab, tujuan pendidikan Islam, yang sekaligus peranan yang diharapkan dari pendidik muslim adalah: membina manusia secara pribadi dan kelompok agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya guna membangun dunia ini sesuai dengan "konsep" yang ditetapkan Allah swt.2. Peranan para guru mendapatkan penghargaan yang tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris sejati ajaran Rasulullah Saw. Melalui merekalah, ajaran dan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw ditransmisikan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw lebih memuliakan seseorang guru daripada seseorang abid (ahli ibadah). Rasulullah Saw diberitahu tentang adanya dua orang, yang pertama adalah seorang yang ahli ibadah, dan orang kedua adalah seorang guru, kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Keutamaan seorang guru dibandingkan dengan seorang ahli ibadah itu seperti keutamaanku dibandingkan dengan orang yang paling rendah (kedudukannya) di antara kalian”. Kemudian Rasulullah Saw bersabda lagi: “Sesungguhnya Allah, para malaikat, para penghuni langit dan bumi, bahkan sampai semut di lubangnya dan ikan ikut mendo’akan seorang guru yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi).

Imam al-Ghazali (wafat 1111), memberikan argumentasi rasional yang mengapa profesi guru lebih mulia dibandingkan dengan profesi lainnya. Beliau mengatakan:
“Keutamaan sebuah profesi atau pekerjaan bisa dilihat dari objek tugas profesinya. Seorang tukang emas dipandang lebih mulia jika dibandingkan dengan tukang tembaga, karena emas lebih mulia daripada tembaga. Seorang guru lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan profesi lainnya, karena yang menjadi objek sasaran tugasnya adalah yang paling berharga dalam diri manusia, yaitu hatinya, sedangkan manusia adalah makhluk paling mulia. Itulah sebabnya, profesi guru merupakan profesi paling mulia satu tingkat di bawah kenabian”.3

Lalu kompetensi apa yang mesti dimiliki oleh seorang guru muslim? Para ulama Islam di masa lampau telah merumuskan sejumlah “kode etik” yang harus ditaati oleh seorang guru muslim. Beberapa di antaranya adalah:

1. Ibn Sahnun (wafat 871).

Dalam bukunya yang berjudul Adab al-Mu’alimin, Ibn Sahnun memaparkan beberapa etika seorang guru, di antaranya:
·         Seorang guru harus mendahulukan tugas mendidiknya daripada harus melaksanakan shalat jenazah sekalipun.
·         Seorang guru tidak boleh menyuruh para siswanya untuk kepentingan pribadi
·         Seorang guru harus berlaku adil terhadap semua siswanya tanpa membeda-bedakan
·         Seorang guru diperkenankan untuk “menghukum” anak didiknya dengan memukulnya tidak lebih dari tiga kali. Dilarang memukul bagian kepala atau mukanya. Hukuman itu bertujuan untuk mendisiplinkan anak dan bukan sebagai wujud kemarahan guru.
·         Seorang guru tidak boleh mengambil upah, apalagi menarik biaya dari para siswanya, tetapi dia diperkenankan untuk menerima hadiah dari siswa secara suka rela.4

2. Al-Qabisi (935-1001)

Dalam bukunya yang berjudul al-Mufashalah li Ahwal al-Muta’allimin wa Ahkam al-Mu’alimin wa al-Muta’allimin, beliau memaparkan bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk menerima pendidikan, dan mengajarkan mereka juga dihukumi dengan wajib secara syar’i. Alasannya adalah karena memahami Al-Qur'an dan ibadah adalah wajib, maka jalan untuk memahami itu adalah wajib juga. Beberapa hal di antara yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah :
§  Memiliki rasa sayang kepada peserta didik seperti menyayangi anak-anak kandungnya sendiri
§  Seorang guru tidak boleh langsung menghukum siswa secara fisik, tetapi perlu diberikan nasihat dan peringatan terlebih dahulu.
§  Seorang guru tidak boleh memukul siswanya dalam keadaan marah.
§  Seorang guru hendaknya menggunakan metode targhib (menyenangkan) dan metode tarhib (ketegasan disertai peringatan) sesuai dengan tuntutan situasional.
§  Hukuman yang berupa pemukulan hanya diperbolehkan pada bagian kaki, dan dilarang memukul bagian kepala, muka, dan bagian tubuh yang sensitif.5

3. Kelompok Ihwan ash-Shafa

Kelompok Ikhwan ash-Shafa ini merupakan gerakan para filosof Syi’ah rahasia yang muncul pada masa Abbasiyah sekitar pertengahan abad ke-4 Hijriyah (10 Masehi). Menurut kelompok ini, seorang guru mempunyai kedudukan sentral dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu menyesuaikan diri dengan kecenderungan dan bakat masing-masing individu peserta didiknya. Seorang guru juga harus seorang yang dewasa, tegas, cerdas, halus watak dan perangainya, bersih hatinya, mencintai ilmu demi kebenaran, dan menghindari sikap ta’ashub atau fanatisme berlebihan. Dalam pandangan Ikhwan ash-Shafa, kegiatan belajar-mengajar harus mencerminkan hubungan kebapakan antara guru dengan peserta didiknya.6

4. Ibn Sina (wafat 1037)

Dalam Risalah Siyasah-nya, Ibn Sina banyak berbicara tentang pendidikan anak. Menurutnya, materi pertama yang harus diajarkan kepada seorang anak adalah Al-Qur'an, kemudian sya’ir-sya’ir khususnya yang mengandung seruan moral dan kecintaan kepada ilmu, lalu ilmu bahasa, dan lain-lain. Ibn Sina juga sangat memperhatikan masa depan peserta didik, sehingga setelah seorang peserta didik telah merampungkan pendidikan dasarnya, hendaknya dibimbing untuk mendapatkan jenis profesi yang sesuai dengan bakat dan keahliannya.
Pada sisi lain, Ibn Sina juga sangat memperhatikan pendidikan akhlak atau moral. Menurutnya, hukuman diberikan kepada anak yang membandel dan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesalahannya. Bagi Ibn Sina, lingkungan pergaulan juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Oleh karena itu, seorang anak hendaknya bergaul hanya dengan teman-teman yang baik.7

5. Ibn Miskawaih (wafat 1030)

Dalam bukunya, Tahdzib al-Akhaq wa Tathir al-A’raq, Ibn Miskawaih berbicara tentang psikologi dan pendidikan. Keterkaitan antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa ini sangat erat, karena dalam pandangan beliau, sebelum kita melakukan kegiatan mendidik, kita perlu mengetahui karakteristik watak individu peserta didik, sehingga kita bias menyesuaikannya.

6. Al-Ghazali (wafat 1111)

Pemikiran-pemikiran beliau mengenai pendidikan dituangkan terutama di kitab Ihya Ulumudin dan kitab Ayyuhal Walad. Kedua buku tersebut ditulisnya setelah beliau melewati perjalanan panjang intelektualnya. Kunci pokok pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat ditemukan pada penjelasannya tentang hakikat pendidikan. Dalam pandangan beliau, pendidikan harus mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela, karena ilmu merupakan ibadahnya hati, shalat yang bersifat rahasia, dan sarana pendekatan batin kepada Allah Swt.8
Terkait dengan pendidikan karakter, al-Ghazali mengatakan: “Pendidikan harus dimulai ketika anak masih kecil. Mendidik anak-anak itu ibarat mengukir di atas batu”. Anak dalam pandangan al-Ghazali adalah masih suci yang bisa menerima rangsangan apapun yang berasal dari luar.
Selanjutnya, kewajiban seorang guru dalam pandangan al-Ghazali, antara lain:
§  Guru harus bersikap lembut dan kebapakan terhadap anak didik.
§  Guru harus tidak kikir dalam memberikan nasihat dan bimbingan akhlak kepada para siswanya
§  Guru harus menjauhi perilaku dan perangai buruk.
§  Guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi para siswanya. Apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang diperbuatnya.
§  Guru harus memahami karakteristik peserta didik dengan cara mendalami kejiwaan mereka. Dalam pandangannya, setiap anak memiliki perbedaan kemampuan. Oleh karena itu, dengan memahami perbedaan itu akan semakin mempererat hubungan kemanusiaan (ash-shilah al-insaniyah) antara guru dan anak didiknya.
§  Guru perlu menerapkan strategi pembelajaran yang berbasis “permainan” kepada peserta didik yang masih anak-anak. Menurutnya, strategi bermain bisa mendatangkan tiga manfaat, yaitu: (a) melatih dan memperkuat fisik anak, (b) membuat anak-anak merasa gembira (idkhal as-surur), dan (c) anak-anak bisa santai sejenak dari kesibukan dan kedisiplinan belajar yang ketat.
§  Di hadapan peserta didiknya, seorang guru tidak boleh menjelek-jelekkan ilmu lain yang diajarkan oleh guru lain.
§  Guru harus mampu membiasakan anak didiknya untuk berakhlak mulia, sehingga mereka bisa menghormati orang lain, apalagi yang lebih tua.
§  Seorang guru tidak boleh mencela atau mempermalukan salah seorang anak didiknya di hadapan teman-temannya, karena bisa berdampak buruk bagi perkembangan psikologis anak tersebut.9

7. Az-Zarnuji (wafat 1194)

Karya beliau di bidang pendidikan adalah kitab Ta’lim al-Muta’allim yang merupakan buku panduan pendidikan karakter yang telah berabad-abad mewarnai pendidikan di pesantren kita. Di antara butir pemikiran beliau mengenai pendidikan moral adalah perlunya dibiasakan dalam diri siswa untuk menghormati dan mencintai ilmu pengetahuan dan pemiliknya (ta’dzim al-ilmi wa ahlihi).10
8. Ibn Khaldun (lahir 1332, wafat 808 Hijriyah)
Salah satu butir pemikiran pendidikan Ibn Khaldun yang memandang perlunya pendidikan bahasa dilakukan sejak kecil. Hal ini agar anak didik mampu berkomunikasi secara baik dengan orang lain.11
Ibn Taimiyah, salah seorang ulama Hanbaliyah yang paling dikenal telah mengagas beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang guru:

  • Para guru adalah pengganti (khulafa’) Rasulullah Saw, karena merekalah yang selama ini melestarikan risalah kenabian. Kedudukan ini hanya bisa dimiliki oleh orang yang meneladani Rasulullah Saw dalam segala hal.
  • Para guru harus bisa menjadi teladan bagi para siswanya dalam hal kejujuran, keteguhan, dan moral Islam. Menurut beliau, guru yang bohong (tidak kompeten) dalam ilmunya merupakan kedzaliman, begitu juga perbuatan maksiat yang dilaksanakannya secara terang-terangan bisa menimbulkan krisis kepercayaan dan cemoohan di kalangan pengikutnya. 
  • Para guru harus menyampaikan ilmunya dengan cara professional dan tidak secara serampangan dan asal-asalan. Meremehkan tugas dalam menyebarkan ilmu sama saja dengan meremehkan jihad. Allah Swt memurkai seorang guru yang menyembunyikan ilmunya atau menyebarkan ilmunya dengan tujuan hanya untuk mendapatkan upah duniawi. Sesungguhnya para guru sejati adalah mereka yang mengajarkan ilmu yang mereka miliki dan kuasai, sedangkan para guru pengabdi hawa nafsu adalah mereka yang mengajarakan apa yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. 
  • Para guru harus menjaga ilmu mereka dengan cara menghafal, menambah pengetahuan dan tidak boleh melupakan ilmu yang dimilikinya.12
10. Abdurrahman an-Nahlawi

An-Nahlawi adalah seorang ahli pendidikan Islam yang hidup di masa modern. Dalam bukunya yang berjudul Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Baiti, wa al-Madrasati, wa al-Mujtama’ (1983), dia kemukakan tentang syarat-syarat seorang guru:
·         Seorang pendidik harus memiliki sifat Rabbani (Ali Imran: 79) ; “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Rabbani ialah orang yang Sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t)
·         Seorang guru harus memiliki keikhlasan yang tinggi dalam menjalankan tugas profesinya.
·         Seorang pendidik harus melaksanakan tugas kependidikannya dengan sabar.
·         Seorang pendidik harus memiliki sikap kejujuran yang tinggi dengan menerapkan apa yang dia jarakan dalam kehidupan pribadinya. “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaf: 2-3)
·         Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keilmuannya.
·         Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pendidikan yang variatif dan sesuai dengan tuntutan materi pendidikan.
·         Seorang guru harus bersikap tegas dan meletakkan sesuatu secara proporsional.
·         Seorang guru harus memahami psikologi anak, psikologi perkembangan, dan psikologi pendidikan, sehingga dia akan memahami dan memperlakukan anak didiknya sesuai dengan kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya, ssebagaimana perkataan Ali Bin Abi Thalib: “Berdialoglah dengan manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Apakah kamu suka, dia akan berdusta kepada Allah Swt?
·         Seorang guru harus peka terhadap fenomena kehidupan di sekitarnya.
·         Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap semua anak didiknya.13

Itulah beberapa butir pemikiran berharga yang pernah dikemukakan oleh para ulama Islam mengenai pendidikan karakter, terutama yang berkaitan dengan peranan guru sebagai unsur pendidikan paling dominant dalam membentuk karakter peserta didik. Pada bagian berikutnya, perlu dipaparkan tentang bagaimana sesungguhnya strategi yang bisa digunakan oleh dalam pendidikan karakter menurut Islam.

Strategi Guru dalam Menanamkan Karakter

Agar pendidikan karakter bisa berhasil dengan baik, an-Nahlawi telah mencoba merumuskan berbagai strategi penanaman pengetahuan dan nilai. Di antara strategi tersebut adalah: (a) mendidik melalui dialog Qur’ani dan Nabawi, (b) mendidik melalui kisah Qur’ani dan Nabawi, (c) mendidik melalui perumapamaan, (d) mendidik melalui keteladanan, (e) mendidik melalui praktek dan perbuatan, (f) mendidik melalui ibrah dan Mau’idzah, (g) pendidikan melalui targhib dan tarhib.14
Melalui strategi-strategi di atas, maka sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah yang digagas oleh Ratna Megwangi bisa ditanamkan dan dibentuk dalam diri peserta didik.
Kesembilan karakter tersebut adalah: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya; Kedua, kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati, dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Model atau strategi yang ditawarkan oleh an-Nahlawi tersebut sesungguhnya sangat sejalan dengan strategi pendidikan karakter yang digagas oleh para ahlinya, yakni apa yang disebut dengan model pendidikan holistik. Model ini menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi kebiasaan.

Penutup

Sebagai akhir diskusi kita tentang pendidikan karakter, izinkanlah saya mengutip ungkapan dari Prof. Dr. Quraish Shihab tentang hokum panen. "Tanamkanlah tindakan, anda akan menuai kebiasaan. Tanamkanlah kebiasaan, anda akan mendapatkan karakter. Tanamkanlah karakter anda akan mengukir nasib". Semoga, kita yang berkecimpung di dunia pendidikan ini senantiasa mendapatkan hidayah dari Allah Swt agar kita bisa ikut berperan dalam menanamkan, menumbuhkan, membiasakan, mengawal, dan menjaga karakter-karakter positif bangsa ini.

Catatan Kaki
1 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat terj. Shihabudin, cet; ke. 4 (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 140.
2 Prof. Dr. Quraish Shihab, "Peningkatan Peranan dan Kualitas Pendidik Muslim dalam Pembentukan Karakter Bangsa", makalah dalam Seminar Nasional Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam di UNS Surakarta, 3 April 2008.
3 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumudin Jilid 1 (Kairo: Mathba’ah Shabih, tt), hlm. 49.
4 Muhammad Munir Mursyi, At-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-‘Arabiyah (Kairo: Alam al-Kutub, 1977), hlm. 115-117.
5 Ibid, hlm. 122-123
6 Muhammad Jawwad Ridla, Al-Fikr al-Tarbawi al-Islami (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1980), hlm. 25.
7 Uraian yang agak lengkap tentang pemikiran pendidikan Ibn Sina dapat ditemukan dalam Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha (Beirut: Dar al-Fikr, 1969) terutama halaman 214-241.
8 Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad (Beirut: Dar al-Fikr, tt)
9. Ibn Taimiyah (1263-1312)
9 Muhammad Munir Mursyi, at-Tarbiyah…,hlm. 128-131.
10 Syeikh Ibrahim bin Isma’il az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’alllum (Surabaya: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah).
11 Ibid, hlm 136.
12 Majid ‘Irsan al-Kailani, al-Fikr at-Tarbawi ‘Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabah Dar at-Turats, 1986), hlm. 177-178.
13 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam…,hlm. 170-176.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons