This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Jumat, 24 Juli 2015
KIKI ARDIAN, S.Pd: Download RPP & Silabus Terintegrasi PLH Tingkat SD...
23.32
Nuansa Pendikar
3 comments
KIKI ARDIAN, S.Pd: Download RPP & Silabus Terintegrasi PLH Tingkat SD...: Salah satu Indikator Penting dalam Pengembangan Sekolah berbudaya lingkungang (Adiwiyata) adalah Pengembangan Kurikulum Berbasis Lingkung...
Minggu, 20 Januari 2013
MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS KARAKTER TERPUJI
10.10
Nuansa Pendikar
No comments
MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS KARAKTER TERPUJI (1)
Oleh : Drs. Nur Kholiq,M.Pd
A. Pendahuluan
Dewasa
ini perhatian pemerintah dicurahkan untuk menjadikan sekolah-sekolah memiliki
kualitas yang lebih baik. Kualitas tersebut tidak saja tertuju pada kemampuan
yang bersifat kognitif, tetapi lebih dari itu adalah pada kualitas yang
bersifat afektif dan psikomotorik yang berupa aspek sikap dan perilaku. Untuk
memenuhi kepentingan tersebut, pemerintah Republik Indonesia, melalui Presiden
Susilo Bambang Yudoyono, pada tanggal 11 Mei tahun 2010; telah mencanangkan
gerakan nasional pendidikan karakter. Melalui gerakan tersebut pemerintah
berusaha mengembalikan pendidikan pada khiththahnya, yang meliputi ketiga
asepeknya, yitu kognitif, afektif, dan psikomotorik secara konsisten.
Para
pembuat kebijakan di bidang pendidikan, demikian juga dengan masyarakat secara
keseluruhan, menginginkan anak-anak yang telah selesai dari suatu jenjang
pendidikan tertentu tidak hanya memperoleh kebanggan dalam pretasi akademiknya,
tetapi lebih dari itu adalah prestasi dalam sikap dan perilakunya. Selama ini,
kekurangan dan sekaligus merupakan kelemahan dari para lulusan adalah belum
atau tidak tercapainya tuntutan yang kedua. Untuk memenuhi tuntutan tersebut,
sudah pada tempat dan waktunya, apabila sekolah-sekolah mengupayakan dan
melakukan pembudayaan karakter di lingkungannya.
Pemerintah
sekarang memang sedang giat-giatnya berbicara pentingnya pembentukan karakter.
Akan tetepi, menurut Komaruddin Hidayat (2010), tanpa budaya sekolah yang bagus
akan sulit melakukan pendidikan karakter bagi anak-anak didik kita. Jika budaya
sekolah sudah mapan, siapa pun yang masuk dan bergabung ke sekolah itu hampir
secara otomatis akan mengikuti tradisi yang telah ada. Contoh yang paling nyata
adalah budaya bersih dan hidup tertib di Singapura. Tidak hanya sebatas school
culture, di sana bahkan sudah tumbuh city culture, yang antara lain
ditandai hidup bersih, budaya antri, dan disiplin. Orang Indonesia yang tidak
terbiasa hidup bersih dan disiplin berlalu lintas, begitu masuk Singapura
tiba-tiba menjadi berubah, menyesuaikan dengan kultur yang ada. Budaya sekolah,
atau lebih luas lagi budaya pendidikan, dengan demikian menjadi pijakan yang
kuat bagi pembentukan karakter siswa.
Sebuah
budaya mengasumsikan kehidupan yang berjalan natural, tidak lagi dirasakan
sebagai beban. Karena itu, merancang budaya sekolah mesti memikirkan dan
menyiapkan pula kehidupan seni dan olahraga serta ruang kebebasan kreasi anak.
Dengan demikian, proses pendidikan dan beban kurikulum sekolah tidak dirasakan
sebagai beban, melainkan tantangan layaknya dalam sebuah permainan olahraga
yang penuh semangat, tetapi tetap ada wasit ataupun peraturan baku.Wasit yang
baik adalah kesadaran menjaga mutu permainan yang datang dari para pemain
sendiri, yaitu semua warga sekolahnya.
Masa-masa
sekolah adalah sebuah formative years, masa pembentukan karakter yang
sangat menentukan fondasi moral-intelektual seseorang seumur hidupnya.
Anak-anak yang sukses di bangku kuliah akan sangat ditentukan bagaimana
kualitas dan kebiasaan belajar serta hidupnya di usia sebelumnya. Siapa saja
anak-anak yang akan sukses di sebuah perguruan tinggi sudah mulai terbaca
dengan mengamati asal-usul sekolahnya dan hasil seleksi masuknya. Dalam hal
karakter, perguruan tinggi hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Perguruan tinggi memang berhasil mewisuda mahasiswanya sebagai
seorang sarjana, namun saya ragu, benarkah sistem perkuliahan yang ada mampu
membentuk karakter seseorang?, demikian dinyatakan Komaruddin Hidayat (2010).
Pembangunan sekolah terberat justru terletak pada membangun kultur sekolah ini,
karena selain membutuhkan dana yang tidak sedikit, juga membutuhkan daya tahan
kesabaran, keuletan, persisistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku
kepentingan di sekolah yaitu kepala sekolah, guru, orang tua, masyarakat, dan
pemerintah.
B. Apa itu Budaya Sekolah?
Pandangan
tentang apa itu budaya sekolah sudah sejak beberapa tahun silam dilontarkan.
Pada tahun 1932 misalnya, Willard Waller (Peterson dan Deal, 2009: 8)
menyatakan bahwa setiap sekolah memunyai budayanya sendiri, yang berupa
serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan kebiasaan, yang telah membentuk
perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Sementara itu, Short
dan Greer (1997) mendefinisikan budaya sekolah sebagai keyakinan, kebijakan,
norma, dan kebiasaan di dalam sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat, dan
dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah. Budaya sekolah, dengan
demikian, merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan
keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang
lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh
tidak hanya pada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya.
Para
orang tua/wali dan siswa selalu dapat mendeteksi secara tepat semangat yang ada
di sekolah. Para orang tua/wali memasukan anak-anak mereka ke suatu sekolah
pada umumnya karena mempertimbangkan dan memperhatikan budaya yang telah
tertanam di sekolah-sekolah terseut. Para siswa pun dapat dengan cepat
merasakan budaya sekolahnya karena mereka menjadi bagian dari lingkungan
sekolah tersebut. Mereka pun mengetahui dan dapat membedakan mana yang baik dan
buruk, sesuai dengan nilai, norma, dan kebiasaan yang telah berlaku di
lingkungan sekolahnya.
Para
guru dan karyawan ketika memasuki wilayah sekolah, pun segera akan menyesuaikan
diri. Mereka dengan sadar dan spontan mengikuti nilai, norma, kebiasaan,
harapan, dan cara-cara yang berlaku di sekolah. Pada saat memulai pembelajaran,
para guru pun mulai melakukan kegiatan dengan serangkaian kegiatan seperti
berdoa, menyapa keadaan siswa, menanyakan dan mendengarkan apa saja yang
menjadi harapan para siswa, dan seterusnya.
Pada
awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan yang sifatnya formal.
Serangkaian nilai, norma, dan aturan ditentukan dan ditetapkan pihak sekolah
sebagai panduan bagi warga sekolah dalam berikir, bersikap, dan bertindak.
Dalam perkembangannya, secara perlahan budaya sekolah ini akan tertanam melalui
jaringan kultural yang informal, karena sudah menjadi trade mark sekolah
yang bersangkutan. Siapa pun yang masuk ke dalam wilayah sekolah, mereka akan
dan harus menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di dalamnya. Kepala
sekolah, guru, karyawan, dan siswa pada umumnya banyak berperan dalam jaringan
ini.
Hampir
semua sekolah memiliki serangkaian atau seperangkat keyakinan, nilai, norma,
dan kebiasaan yang menjadi ciri khasnya dan senantiasa disosialisasikan dan
ditransmisikan melalui berbagai media. Dengan berjalannya waktu, proses
tersebut telah membentuk suatu iklim budaya tertentu dalam lingkungan sekolah.
Iklim tersebut secara langsung menggambarkan perasaan-perasaan, dan
pengalaman-pengalaman moral yang ada di sekolah. Budaya sekolah sekali lagi
menunjukkan kompleksitas unsur keyakinan, nilai, norma, kebiasaan, bahasa, dan
tujuan-tujuan apa pun yang lebih baik. Budaya sekolah berada pada unsur yang
lebih dalam dari sekolah.
Selama
ini, sekolah telah mengembangkan dan membangun suatu kepribadian yang unik bagi
para warganya. Kepribadian ini, atau budaya ini, dimanifestasikan dalam bentuk
sikap mental, norma-norma sosial, dan pola perilaku warga sekolah. Contoh
berpikir yang sederhana tentang budaya sekolah ini dapat dilihat pada cara
mereka melakukan sesuatu. Budaya ini memengaruhi semua hal yang terjadi
sekolah. Budaya ini memengaruhi dan membebtuk cara-cara kepala sekolah, guru,
siswa, dan karyawan dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Di Sekolah Madania,
Parung, Bogor, Jawa Barat, misalnya, para siswa sejak SMP sampai SMU memiliki
tradisi membaca buku-buku bahasa Inggris dan melakukan riset kepustakaan
melalui internet lalu dituliskan dalam sebuah paper singkat.Tradisi baca tulis
dalam bahasa Inggris ini telah membudaya sehingga beberapa alumni Madania yang
sudah kuliah baik di dalam maupun di luar negeri ketika ada tugas riset dan
menulis makalah tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan (Komaruddin
Hidayat, 2010).
Berikut
ini adalah beberapa aspek dari keyakinan, nilai, dan harapan sosial yang
mestinya dimiliki oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan ;
1)
Apakah mereka
berpikir tentang „perbaikan‟ sebagai sesuatu yang penting?
2)
Apakah mereka mau
bekerja secara kolaboratif?
3)
Seberapa kuat
tingkat „kepercayaan‟ yang tumbuh di antara kepala sekolah, para guru, dan
karyawan?
4)
Apakah mereka
menyadari bahwa lingkungan sekolah bertanggung jawab terhadap pembelajaran dan
keberhasilan para siswa?
5)
Bagaimana
memotivasi mereka untuk senantiasa bekerja keras?
6)
Bagaimana
perasaan mereka ketika melihat para siswa tidak dalam performa yang baik?
7)
Bagaimana
dukungan mereka terhadap inovasi yang dilakukan sekolah?
8)
Apakah mereka
yakin bahwa semua siswa dapat belajar dengan baik dan nyaman di lingkungan
sekolah?
9)
Apakah mereka
yakin bahwa bekerja secara kolaboratif dan kerjasama tim merupakan sesuatu yang
baik?
10)
Apakah mereka
yakin bahwa standar-standar yang ditentukan pihak sekolah sudah memenuhi
syarat?
11)
Apakah mereka
menggunakan data-data yang ada untuk kepentingan pembelajaran dan keberhasilan
sekolah dan siswa?
12) Apakah mereka melihat kegiatan keseharian mereka
sebagai panggilan kerja atau ibadah?
Setiap
aspek dari sekolah dapat dibentuk dan dicetak oleh nilai-nilai simbolik
tertentu. Meskipun tidak semua aspek budaya dapat dengan mudah dibentuk oleh
seorang pemimpin, kepemimpinan dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap
munculnya pola budaya. Kepemimpinan secara reflektif akan membantu memperkuat
pola-pola budaya yang positif dan mengubah sesuatu yang bersifat negatif.
Budaya
merupakan jaringan yang kuat, yang meliputi keyakinan, nilai, norma, dan
kebiasaan yang memengaruhi setiap sudut kehidupan sekolah. Budaya sekolah
menyebabkan seseorang memberikan perhatian yang khusus, menyebabkan mereka
mengidentifikasikan dirinya dengan sekolah (komitmen), memberikan motivasi
kepada mereka untuk bekerja keras, dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan
yang diinginkan sekolah.
Budaya
sekolah telah meningkatkan bahkan mempertajam perhatian dan perilaku
sehari-hari warga sekolah terhadap apa yang penting dan bernilai bagi sekolah.
Perhatian tersebut dapat dilihat pada semua kegiatan yang menjadi program dan
prioritas sekolah. Apabila yang perlu diperkuat adalah berkaitan dengan
prestasi akademik siswa misalnya, sekolah secara penuh mengarahkan perhatiannya
pada hal tersebut. Sekolah dengan sendirinya merencanakan dan mempersiapkan
segala sesuatu yang berkaitan dengan peningkatan kualitas akademik tersebut.
Sekolah akan memfokuskan waktu, tenaga, dan sumberdaya berkaitan dengan kurikulum
dan strategi pembelajaran yang akan membantu semua siswa untuk meningkatkan
prestasinya. Demikian juga, apabila program prioritas tersebut diarahkan bagi
terwujudnya karakter terpuji, semua kegiatan pendukung seperti pembelajaran (teaching),
pemodelan (modeling), dan penguatan lingkungan (reinforcing),
akan tertuju pada titik tersebut.
Budaya
sekolah akan membangun komitmen dan identifikasi diri dengan nilai-nilai,
norma-norna, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Pada suatu sekolah misalnya,
setiap guru secara sadar datang pada jam 06.30 dan pulang pada jam 16.00.
Kehadiran guru yang demikian sebagai bentuk komitmen mereka terhadap budaya
yang telah berlaku di sekolah yang bersangkutan. Kebiasaan yang berlaku
tersebut telah mengikat dan menjadi bagian dari hidupnya sehingga tidak
dirasakan sebagai beban. Budaya sekolah, dengan demikian, telah membangun
komiten terhadap semua warganya.
Budaya
sekolah telah pula memperkuat dan memperjelas motivasi. Apabila sekolah
memberikan penghargaan terhadap setiap keberhasilan, usaha, dan memberikan
komitmennya, semua karyawan dan siswanya akan termotivasi untuk bekerja keras,
inovatif, dan mendukung perubahan. Di SD Muhammadiyah Condong Catur Yogyakarta
misalnya, setiap guru, karyawan, dan siswa yang berprestasi, sekecil apa pun,
akan selalu diumumkan pada saat upacara hari Senin. Cara yang dilakukan ini
ternyata telah memotivasi setiap guru, karyawan, dan siswa untuk meraih
prestasi-prestasi tertentu.
Akhirnya,
budaya sekolah juga akan mempertinggi tingkat efektivitas dan produktivitas.
Guru dan siswa akhirnya terbiasa dengan bekerja keras, memiliki komitmen yang
tinggi terhadap pencapaian yang baik, dan memperhatikan pemecahan masalah,
serta fokus terhadap pembelajaran bagi semua siswa. Pada sekolah-sekolah ini, budaya
sekolah berhasil memperkuat pemecahan masalah secara kolaboratif, perencanaan,
dan pengambilan keputusan.
Menurut
Nusyam (2011), setidaknya ada tiga budaya yang perlu dikembangkan di sekolah,
yaitu kultur akademik, kultur budaya, dan kultur demokratis. Ketiga kultur ini
harus menjadi prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah.
Pertama, kultur akademik. Kultur akademik memiliki ciri pada
setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini didukung dengan dasar akademik
yang kuat. Artinya merujuk pada teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang
teruji, bukan pada popularitas semata atau sangkaan yang tidak memiliki dasar
empirik yang kuat. Ini berbeda dengan kultur politik atau dunia entertain.
Dengan demikian, kepala sekolah, guru, dan siswa selalu berpegang pada pijakan
teoretik dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam kesehariannya. Kultur
akademik tercermin pada kedisiplinan dalam bertindak, kearifan dalam bersikap,
serta kepiawaian dalam berpikir dan berargumentasi.
Kedua, kultur budaya. Kultur budaya tercermin pada
pengembangan sekolah yang memelihara, membangun, dan mengembangkan budaya
bangsa yang positif dalam kerangka pembangunan manusia seutuhnya. Sekolah akan
menjadi benteng pertahanan terkikisnya budaya akibat gencarnya serangan budaya
asing yang tidak relevan seperti budaya hedonisme, individualisme, dan
materialisme. Jika dunia luar melalui entertainment dan advertisement
sangat gencar menawarkan konsumerisme dan materialisme semata, sekolah
secara konsisten dan persisten menanamkan nilai-nilai transendental rela
berkorban dan ihlas beramal. Di sisi lain sekolah terus mengembangkan seni
tradisi yang berakar pada budaya nusantara yang dikreasi untuk dikemas dengan
modernitas dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Ketiga, kultur demokratis. Kultur demokratis menampilkan
corak berkehidupan yang mengakomodasi perbedaan untuk secara bersama membangun
kemajuan. Kultur ini jauh dari pola tindakan disksriminatif dan otoritarianisme
serta sikap mengabdi atasan secara membabi buta. Warga sekolah selalu bertindak
objektif, transparan, dan bertanggungjawab.
C. Budaya Sekolah Berbasis
Karakter Terpuji
Meski
tidak sepenuhnya benar, mendidik anak itu dapat disamakan dengan menyemai benih
tanaman. Seseorang yang ingin menanam jenis tanaman tertentu yang benih atau
bibitnya berasal dari suatu tempat, maka orang tersebut perlu menganalisis dan
mengondisikan tanah serta cuaca yang cocok dengan tanaman tersebut. Logika yang
demikian tampaknya berlaku juga dalam dunia pendidikan meskipun bibit pohon tidak
persis sama dengan anak manusia. Banyak anak yang memiliki bakat hebat, tetapi
karena kondisi sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal,
bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya, anak dengan kepandaian dan bakat
yang sedang-sedang saja, tetapi karena lingkungan sekolahnya baik, anak
tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses. Berdasarkan argumen di
atas, kemudian muncul formula bahwa apa yang disebut school culture sangat
vital perannya bagi sebuah proses pendidikan, demikian menurut Komaruddin
Hidayat (2010).
Banyak
nilai yang dapat dan harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah laksana taman
atau lahan yang subur tempat menyemaikan dan menanam benih-benih nilai
tersebut. Pemerintah sendiri telah membuat grand design pendidian
karakter dengan menempatkan empat nilai utama yang harus ditanamkan di sekolah.
Keempat nilai tersebut adalah: (1) Jujur dan bertanggung jawab (cerminan dari
olah hati); (2) Cerdas (cerminan dari olah pikir); (3) Sehat dan bersih
(cerminan dari olah raga); dan (4) Peduli dan kreatif (cerminan dari olah
rasa).
Sementara
itu, Lickona (2004) menyebutkan adanya sepuluh nilai utama yang bisa ditanamkan
oleh pihak sekolah . Kesepuluh nilai itu adalah sebagai berikut ;
1. Kebijaksanaan/Bijaksana (wisdom):
a. Keputusan yang baik; kemampuan untuk membuat keputusan
yang masuk akal (good judgment).
b. Memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana
caranya mempraktikkan nilai-nilai kebaikan.
c. Memiliki kemampuan untuk menentukan skala prioritas
dalam hidup (ability to set priorities).
2. Keadilan atau adil (justice):
a.
Kejujuran (fairness, mengikuti aturan).
b.
Rasa hormat (respect).
c.
Bertanggungjawab (responsibility).
d.
Tulus (honesty).
e.
Kesopanan (Courtesy/civility).
f.
Toleransi (tolerance).
3. Daya tahan (fortitude):
a.
Keberanian (courage).
b.
Elastisitas, daya lenting (resilience).
c.
Kesabaran (patience).
d.
Kegigihan, ketabahan hati (perseverance).
e.
Daya tahan, kesabaran (endurance).
f.
Percaya-diri (self-confidence).
4. Kontrol-diri (self-control):
a. Disiplin-diri (self-discipline).
b. Kemampuan untuk mengelola
emosi dan dorongan diri.
c. Kemampuan untuk menunda
kesenangan (to delay gratification) atau tidak cepat puas diri.
d. Kemampuan untuk melawan atau
tahan terhadap godaan (to resist temptation).
e. Moderat (moderation).
f. Kemampuan menjaga
kecenderungan seksnya (sexual self-control).
5. Cinta (love):
a.
Mengenali pikiran, perasaan, dan sikap orang lain (empathy).
b.
Memiliki rasa iba (compassion).
c.
Ramah dan penuh kasih sayang (kindness).
d.
Murah hati (generosity).
e.
Mudah menolong atau membantu (service).
f.
Setia (loyalty).
g.
Cinta tanah air (patriotism).
h.
Pemaaf (forgiveness).
6. Sikap positif (positive
attitude):
a. Penuh harapan (hope).
b. Bersemangat (enthusiasm).
c. Lentur, dapat berubah dengan mudah (flexibility).
d. Memiliki rasa humor (sense of humor).
7. Kerja Keras (hard works):
a.
Memiliki prakarsa (initiative).
b.
Tekun atau rajin (diligence).
c.
Penetapan atau perencanaan yang matang (good-setting).
d.
Kecerdikan atau kecerdasan (resourcefulness).
8. Kepribadian yang utuh (integritiy):
a. Mengikuti prinsip-prinsip moral (adhering to
moral principle).
b. Kesetiaan terhadap kata-hati (faithfulness to a
correctly formed conscience).
c. Menjaga perkataan atau satunya kata dan perbuatan (keeping
one's word).
d. Konsisten secara etik (ethical consistency).
e. Tulus atau Ihlas (being honest with oneself).
9. Perasaan berterima kasih (gratitude):
a. Kebiasaan berterima kasih (the
habit of being thankfull; appreciating one's blessings).
b. Kemampuan menghargai orang
lain (acknowledging one's debts to others).
c. Tidak suka komplain (not
complaining) atau tidak mudah menuduh.
10. Kerendah hati (humility):
a. Sadar-diri atau tahu diri (self-awarness).
b. Mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab (willingness
to mistakes and responsibility to them).
c. Keinginan untuk menjadi lebih baik (the desire
to become a better person).
Selanjutnya
Lickona (1998:53) menyebutkan adanya sebelas prinsip yang efektif dalam
menanamkan nilai-nilai karakter tersebut di atas, yaitu sebagai berikut ;
1. Memromosikan nilai-nilai pritoritas atau inti (seperti
sifat peduli, tulus (honesty), jujur (fairness), bertanggung
jawab, terbuka, rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain) dan mendukung
implementasi nilai-nilai tersebut sebagai dasar bagi karakter yang baik.
2. Mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang
meliputi aspek pemikiran, perasaan, dan perilaku.
3. Menggunakan pendekatan yang komprehensif, mendalam,
dan proaktif terhadap implementasi dan pengembangan karakter.
4. Menciptakan komunitas sekolah yang peduli.
5. Memberikan peluang kepada para siswa untuk melakukan
tindakan moral.
6. Menyusun kurikulum yang bermakna dan menghargai semua
siswa, mengembangkan karakter mereka, dan membantunya untuk mencapai
keberhasilan.
7. Berusaha keras untuk memelihara motivasi diri para
siswa.
8. Melibatkan semua warga sekolah sebagai komunitas
belajar dan moral yang bersama-sama bertanggung jawab terhadap implementasi dan
pengembangan karakter, dan berusaha untuk mentaati nilai-nilai prioritas atau
inti yang sama yang akan menjadi teladan bagi para siswa.
9. Memelihara kepemimpinan moral secara bersama-sama dan
mendukung inisiatif pendidikan karakter.
10. Melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai
patner dalam usaha membangun karakter.
11. Menekankan karakter sekolah dan menempatkan komponen
sekolah (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berfungsi sebagai guru dan teladan
bagi pembentukan karakter, hingga sampai kepada para siswa dalam mewujudkan
karakter yang baik.
Bersambung ....
Posted in: School Reform
MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS KARAKTER TERPUJI
10.04
Nuansa Pendikar
No comments
MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS KARAKTER TERPUJI
Oleh : Drs. Nur Kholiq,M.Pd
A. Pendahuluan
Dewasa
ini perhatian pemerintah dicurahkan untuk menjadikan sekolah-sekolah memiliki
kualitas yang lebih baik. Kualitas tersebut tidak saja tertuju pada kemampuan
yang bersifat kognitif, tetapi lebih dari itu adalah pada kualitas yang
bersifat afektif dan psikomotorik yang berupa aspek sikap dan perilaku. Untuk
memenuhi kepentingan tersebut, pemerintah Republik Indonesia, melalui Presiden
Susilo Bambang Yudoyono, pada tanggal 11 Mei tahun 2010; telah mencanangkan
gerakan nasional pendidikan karakter. Melalui gerakan tersebut pemerintah
berusaha mengembalikan pendidikan pada khiththahnya, yang meliputi ketiga
asepeknya, yitu kognitif, afektif, dan psikomotorik secara konsisten.
Para
pembuat kebijakan di bidang pendidikan, demikian juga dengan masyarakat secara
keseluruhan, menginginkan anak-anak yang telah selesai dari suatu jenjang
pendidikan tertentu tidak hanya memperoleh kebanggan dalam pretasi akademiknya,
tetapi lebih dari itu adalah prestasi dalam sikap dan perilakunya. Selama ini,
kekurangan dan sekaligus merupakan kelemahan dari para lulusan adalah belum
atau tidak tercapainya tuntutan yang kedua. Untuk memenuhi tuntutan tersebut,
sudah pada tempat dan waktunya, apabila sekolah-sekolah mengupayakan dan
melakukan pembudayaan karakter di lingkungannya.
Pemerintah
sekarang memang sedang giat-giatnya berbicara pentingnya pembentukan karakter.
Akan tetepi, menurut Komaruddin Hidayat (2010), tanpa budaya sekolah yang bagus
akan sulit melakukan pendidikan karakter bagi anak-anak didik kita. Jika budaya
sekolah sudah mapan, siapa pun yang masuk dan bergabung ke sekolah itu hampir
secara otomatis akan mengikuti tradisi yang telah ada. Contoh yang paling nyata
adalah budaya bersih dan hidup tertib di Singapura. Tidak hanya sebatas school
culture, di sana bahkan sudah tumbuh city culture, yang antara lain
ditandai hidup bersih, budaya antri, dan disiplin. Orang Indonesia yang tidak
terbiasa hidup bersih dan disiplin berlalu lintas, begitu masuk Singapura
tiba-tiba menjadi berubah, menyesuaikan dengan kultur yang ada. Budaya sekolah,
atau lebih luas lagi budaya pendidikan, dengan demikian menjadi pijakan yang
kuat bagi pembentukan karakter siswa.
Sebuah
budaya mengasumsikan kehidupan yang berjalan natural, tidak lagi dirasakan
sebagai beban. Karena itu, merancang budaya sekolah mesti memikirkan dan
menyiapkan pula kehidupan seni dan olahraga serta ruang kebebasan kreasi anak.
Dengan demikian, proses pendidikan dan beban kurikulum sekolah tidak dirasakan
sebagai beban, melainkan tantangan layaknya dalam sebuah permainan olahraga
yang penuh semangat, tetapi tetap ada wasit ataupun peraturan baku.Wasit yang
baik adalah kesadaran menjaga mutu permainan yang datang dari para pemain
sendiri, yaitu semua warga sekolahnya.
Masa-masa
sekolah adalah sebuah formative years, masa pembentukan karakter yang
sangat menentukan fondasi moral-intelektual seseorang seumur hidupnya.
Anak-anak yang sukses di bangku kuliah akan sangat ditentukan bagaimana
kualitas dan kebiasaan belajar serta hidupnya di usia sebelumnya. Siapa saja
anak-anak yang akan sukses di sebuah perguruan tinggi sudah mulai terbaca
dengan mengamati asal-usul sekolahnya dan hasil seleksi masuknya. Dalam hal
karakter, perguruan tinggi hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Perguruan tinggi memang berhasil mewisuda mahasiswanya sebagai
seorang sarjana, namun saya ragu, benarkah sistem perkuliahan yang ada mampu
membentuk karakter seseorang?, demikian dinyatakan Komaruddin Hidayat (2010).
Pembangunan sekolah terberat justru terletak pada membangun kultur sekolah ini,
karena selain membutuhkan dana yang tidak sedikit, juga membutuhkan daya tahan
kesabaran, keuletan, persisistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku
kepentingan di sekolah yaitu kepala sekolah, guru, orang tua, masyarakat, dan
pemerintah.
B. Apa itu Budaya Sekolah?
Pandangan
tentang apa itu budaya sekolah sudah sejak beberapa tahun silam dilontarkan.
Pada tahun 1932 misalnya, Willard Waller (Peterson dan Deal, 2009: 8)
menyatakan bahwa setiap sekolah memunyai budayanya sendiri, yang berupa
serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan kebiasaan, yang telah membentuk
perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Sementara itu, Short
dan Greer (1997) mendefinisikan budaya sekolah sebagai keyakinan, kebijakan,
norma, dan kebiasaan di dalam sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat, dan
dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah. Budaya sekolah, dengan
demikian, merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan
keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang
lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh
tidak hanya pada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya.
Para
orang tua/wali dan siswa selalu dapat mendeteksi secara tepat semangat yang ada
di sekolah. Para orang tua/wali memasukan anak-anak mereka ke suatu sekolah
pada umumnya karena mempertimbangkan dan memperhatikan budaya yang telah
tertanam di sekolah-sekolah terseut. Para siswa pun dapat dengan cepat
merasakan budaya sekolahnya karena mereka menjadi bagian dari lingkungan
sekolah tersebut. Mereka pun mengetahui dan dapat membedakan mana yang baik dan
buruk, sesuai dengan nilai, norma, dan kebiasaan yang telah berlaku di
lingkungan sekolahnya.
Para
guru dan karyawan ketika memasuki wilayah sekolah, pun segera akan menyesuaikan
diri. Mereka dengan sadar dan spontan mengikuti nilai, norma, kebiasaan,
harapan, dan cara-cara yang berlaku di sekolah. Pada saat memulai pembelajaran,
para guru pun mulai melakukan kegiatan dengan serangkaian kegiatan seperti
berdoa, menyapa keadaan siswa, menanyakan dan mendengarkan apa saja yang
menjadi harapan para siswa, dan seterusnya.
Pada
awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan yang sifatnya formal.
Serangkaian nilai, norma, dan aturan ditentukan dan ditetapkan pihak sekolah
sebagai panduan bagi warga sekolah dalam berikir, bersikap, dan bertindak.
Dalam perkembangannya, secara perlahan budaya sekolah ini akan tertanam melalui
jaringan kultural yang informal, karena sudah menjadi trade mark sekolah
yang bersangkutan. Siapa pun yang masuk ke dalam wilayah sekolah, mereka akan
dan harus menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di dalamnya. Kepala
sekolah, guru, karyawan, dan siswa pada umumnya banyak berperan dalam jaringan
ini.
Hampir
semua sekolah memiliki serangkaian atau seperangkat keyakinan, nilai, norma,
dan kebiasaan yang menjadi ciri khasnya dan senantiasa disosialisasikan dan
ditransmisikan melalui berbagai media. Dengan berjalannya waktu, proses
tersebut telah membentuk suatu iklim budaya tertentu dalam lingkungan sekolah.
Iklim tersebut secara langsung menggambarkan perasaan-perasaan, dan
pengalaman-pengalaman moral yang ada di sekolah. Budaya sekolah sekali lagi
menunjukkan kompleksitas unsur keyakinan, nilai, norma, kebiasaan, bahasa, dan
tujuan-tujuan apa pun yang lebih baik. Budaya sekolah berada pada unsur yang
lebih dalam dari sekolah.
Selama
ini, sekolah telah mengembangkan dan membangun suatu kepribadian yang unik bagi
para warganya. Kepribadian ini, atau budaya ini, dimanifestasikan dalam bentuk
sikap mental, norma-norma sosial, dan pola perilaku warga sekolah. Contoh
berpikir yang sederhana tentang budaya sekolah ini dapat dilihat pada cara
mereka melakukan sesuatu. Budaya ini memengaruhi semua hal yang terjadi
sekolah. Budaya ini memengaruhi dan membebtuk cara-cara kepala sekolah, guru,
siswa, dan karyawan dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Di Sekolah Madania,
Parung, Bogor, Jawa Barat, misalnya, para siswa sejak SMP sampai SMU memiliki
tradisi membaca buku-buku bahasa Inggris dan melakukan riset kepustakaan
melalui internet lalu dituliskan dalam sebuah paper singkat.Tradisi baca tulis
dalam bahasa Inggris ini telah membudaya sehingga beberapa alumni Madania yang
sudah kuliah baik di dalam maupun di luar negeri ketika ada tugas riset dan
menulis makalah tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan (Komaruddin
Hidayat, 2010).
Berikut
ini adalah beberapa aspek dari keyakinan, nilai, dan harapan sosial yang
mestinya dimiliki oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan ;
1)
Apakah mereka
berpikir tentang „perbaikan‟ sebagai sesuatu yang penting?
2)
Apakah mereka mau
bekerja secara kolaboratif?
3) Seberapa kuat
tingkat „kepercayaan‟ yang tumbuh di antara kepala sekolah, para guru, dan
karyawan?
4)
Apakah mereka
menyadari bahwa lingkungan sekolah bertanggung jawab terhadap pembelajaran dan
keberhasilan para siswa?
5)
Bagaimana
memotivasi mereka untuk senantiasa bekerja keras?
6)
Bagaimana
perasaan mereka ketika melihat para siswa tidak dalam performa yang baik?
7)
Bagaimana
dukungan mereka terhadap inovasi yang dilakukan sekolah?
8)
Apakah mereka
yakin bahwa semua siswa dapat belajar dengan baik dan nyaman di lingkungan
sekolah?
9)
Apakah mereka
yakin bahwa bekerja secara kolaboratif dan kerjasama tim merupakan sesuatu yang
baik?
10)
Apakah mereka
yakin bahwa standar-standar yang ditentukan pihak sekolah sudah memenuhi
syarat?
11)
Apakah mereka
menggunakan data-data yang ada untuk kepentingan pembelajaran dan keberhasilan
sekolah dan siswa?
12) Apakah mereka melihat kegiatan keseharian mereka
sebagai panggilan kerja atau ibadah?
Setiap
aspek dari sekolah dapat dibentuk dan dicetak oleh nilai-nilai simbolik
tertentu. Meskipun tidak semua aspek budaya dapat dengan mudah dibentuk oleh
seorang pemimpin, kepemimpinan dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap
munculnya pola budaya. Kepemimpinan secara reflektif akan membantu memperkuat
pola-pola budaya yang positif dan mengubah sesuatu yang bersifat negatif.
Budaya
merupakan jaringan yang kuat, yang meliputi keyakinan, nilai, norma, dan
kebiasaan yang memengaruhi setiap sudut kehidupan sekolah. Budaya sekolah
menyebabkan seseorang memberikan perhatian yang khusus, menyebabkan mereka
mengidentifikasikan dirinya dengan sekolah (komitmen), memberikan motivasi
kepada mereka untuk bekerja keras, dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan
yang diinginkan sekolah.
Budaya
sekolah telah meningkatkan bahkan mempertajam perhatian dan perilaku
sehari-hari warga sekolah terhadap apa yang penting dan bernilai bagi sekolah.
Perhatian tersebut dapat dilihat pada semua kegiatan yang menjadi program dan
prioritas sekolah. Apabila yang perlu diperkuat adalah berkaitan dengan
prestasi akademik siswa misalnya, sekolah secara penuh mengarahkan perhatiannya
pada hal tersebut. Sekolah dengan sendirinya merencanakan dan mempersiapkan
segala sesuatu yang berkaitan dengan peningkatan kualitas akademik tersebut.
Sekolah akan memfokuskan waktu, tenaga, dan sumberdaya berkaitan dengan kurikulum
dan strategi pembelajaran yang akan membantu semua siswa untuk meningkatkan
prestasinya. Demikian juga, apabila program prioritas tersebut diarahkan bagi
terwujudnya karakter terpuji, semua kegiatan pendukung seperti pembelajaran (teaching),
pemodelan (modeling), dan penguatan lingkungan (reinforcing),
akan tertuju pada titik tersebut.
Budaya
sekolah akan membangun komitmen dan identifikasi diri dengan nilai-nilai,
norma-norna, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Pada suatu sekolah misalnya,
setiap guru secara sadar datang pada jam 06.30 dan pulang pada jam 16.00.
Kehadiran guru yang demikian sebagai bentuk komitmen mereka terhadap budaya
yang telah berlaku di sekolah yang bersangkutan. Kebiasaan yang berlaku
tersebut telah mengikat dan menjadi bagian dari hidupnya sehingga tidak
dirasakan sebagai beban. Budaya sekolah, dengan demikian, telah membangun
komiten terhadap semua warganya.
Budaya
sekolah telah pula memperkuat dan memperjelas motivasi. Apabila sekolah
memberikan penghargaan terhadap setiap keberhasilan, usaha, dan memberikan
komitmennya, semua karyawan dan siswanya akan termotivasi untuk bekerja keras,
inovatif, dan mendukung perubahan. Di SD Muhammadiyah Condong Catur Yogyakarta
misalnya, setiap guru, karyawan, dan siswa yang berprestasi, sekecil apa pun,
akan selalu diumumkan pada saat upacara hari Senin. Cara yang dilakukan ini
ternyata telah memotivasi setiap guru, karyawan, dan siswa untuk meraih
prestasi-prestasi tertentu.
Akhirnya,
budaya sekolah juga akan mempertinggi tingkat efektivitas dan produktivitas.
Guru dan siswa akhirnya terbiasa dengan bekerja keras, memiliki komitmen yang
tinggi terhadap pencapaian yang baik, dan memperhatikan pemecahan masalah,
serta fokus terhadap pembelajaran bagi semua siswa. Pada sekolah-sekolah ini, budaya
sekolah berhasil memperkuat pemecahan masalah secara kolaboratif, perencanaan,
dan pengambilan keputusan.
Menurut
Nusyam (2011), setidaknya ada tiga budaya yang perlu dikembangkan di sekolah,
yaitu kultur akademik, kultur budaya, dan kultur demokratis. Ketiga kultur ini
harus menjadi prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah.
Pertama, kultur akademik. Kultur akademik memiliki ciri pada
setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini didukung dengan dasar akademik
yang kuat. Artinya merujuk pada teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang
teruji, bukan pada popularitas semata atau sangkaan yang tidak memiliki dasar
empirik yang kuat. Ini berbeda dengan kultur politik atau dunia entertain.
Dengan demikian, kepala sekolah, guru, dan siswa selalu berpegang pada pijakan
teoretik dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam kesehariannya. Kultur
akademik tercermin pada kedisiplinan dalam bertindak, kearifan dalam bersikap,
serta kepiawaian dalam berpikir dan berargumentasi.
Kedua, kultur budaya. Kultur budaya tercermin pada
pengembangan sekolah yang memelihara, membangun, dan mengembangkan budaya
bangsa yang positif dalam kerangka pembangunan manusia seutuhnya. Sekolah akan
menjadi benteng pertahanan terkikisnya budaya akibat gencarnya serangan budaya
asing yang tidak relevan seperti budaya hedonisme, individualisme, dan
materialisme. Jika dunia luar melalui entertainment dan advertisement
sangat gencar menawarkan konsumerisme dan materialisme semata, sekolah
secara konsisten dan persisten menanamkan nilai-nilai transendental rela
berkorban dan ihlas beramal. Di sisi lain sekolah terus mengembangkan seni
tradisi yang berakar pada budaya nusantara yang dikreasi untuk dikemas dengan
modernitas dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Ketiga, kultur demokratis. Kultur demokratis menampilkan
corak berkehidupan yang mengakomodasi perbedaan untuk secara bersama membangun
kemajuan. Kultur ini jauh dari pola tindakan disksriminatif dan otoritarianisme
serta sikap mengabdi atasan secara membabi buta. Warga sekolah selalu bertindak
objektif, transparan, dan bertanggungjawab.
C. Budaya Sekolah Berbasis
Karakter Terpuji
Meski
tidak sepenuhnya benar, mendidik anak itu dapat disamakan dengan menyemai benih
tanaman. Seseorang yang ingin menanam jenis tanaman tertentu yang benih atau
bibitnya berasal dari suatu tempat, maka orang tersebut perlu menganalisis dan
mengondisikan tanah serta cuaca yang cocok dengan tanaman tersebut. Logika yang
demikian tampaknya berlaku juga dalam dunia pendidikan meskipun bibit pohon tidak
persis sama dengan anak manusia. Banyak anak yang memiliki bakat hebat, tetapi
karena kondisi sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal,
bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya, anak dengan kepandaian dan bakat
yang sedang-sedang saja, tetapi karena lingkungan sekolahnya baik, anak
tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses. Berdasarkan argumen di
atas, kemudian muncul formula bahwa apa yang disebut school culture sangat
vital perannya bagi sebuah proses pendidikan, demikian menurut Komaruddin
Hidayat (2010).
Banyak
nilai yang dapat dan harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah laksana taman
atau lahan yang subur tempat menyemaikan dan menanam benih-benih nilai
tersebut. Pemerintah sendiri telah membuat grand design pendidian
karakter dengan menempatkan empat nilai utama yang harus ditanamkan di sekolah.
Keempat nilai tersebut adalah: (1) Jujur dan bertanggung jawab (cerminan dari
olah hati); (2) Cerdas (cerminan dari olah pikir); (3) Sehat dan bersih
(cerminan dari olah raga); dan (4) Peduli dan kreatif (cerminan dari olah
rasa).
Sementara
itu, Lickona (2004) menyebutkan adanya sepuluh nilai utama yang bisa ditanamkan
oleh pihak sekolah . Kesepuluh nilai itu adalah sebagai berikut ;
1. Kebijaksanaan/Bijaksana (wisdom):
a. Keputusan yang baik; kemampuan untuk membuat keputusan
yang masuk akal (good judgment).
b. Memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana
caranya mempraktikkan nilai-nilai kebaikan.
c. Memiliki kemampuan untuk menentukan skala prioritas
dalam hidup (ability to set priorities).
2. Keadilan atau adil (justice):
a.
Kejujuran (fairness, mengikuti aturan).
b.
Rasa hormat (respect).
c.
Bertanggungjawab (responsibility).
d.
Tulus (honesty).
e.
Kesopanan (Courtesy/civility).
f.
Toleransi (tolerance).
3. Daya tahan (fortitude):
a.
Keberanian (courage).
b.
Elastisitas, daya lenting (resilience).
c.
Kesabaran (patience).
d.
Kegigihan, ketabahan hati (perseverance).
e.
Daya tahan, kesabaran (endurance).
f.
Percaya-diri (self-confidence).
4. Kontrol-diri (self-control):
a. Disiplin-diri (self-discipline).
b. Kemampuan untuk mengelola
emosi dan dorongan diri.
c. Kemampuan untuk menunda
kesenangan (to delay gratification) atau tidak cepat puas diri.
d. Kemampuan untuk melawan atau
tahan terhadap godaan (to resist temptation).
e. Moderat (moderation).
f. Kemampuan menjaga
kecenderungan seksnya (sexual self-control).
5. Cinta (love):
a.
Mengenali pikiran, perasaan, dan sikap orang lain (empathy).
b.
Memiliki rasa iba (compassion).
c.
Ramah dan penuh kasih sayang (kindness).
d.
Murah hati (generosity).
e.
Mudah menolong atau membantu (service).
f.
Setia (loyalty).
g.
Cinta tanah air (patriotism).
h.
Pemaaf (forgiveness).
6. Sikap positif (positive
attitude):
a. Penuh harapan (hope).
b. Bersemangat (enthusiasm).
c. Lentur, dapat berubah dengan mudah (flexibility).
d. Memiliki rasa humor (sense of humor).
7. Kerja Keras (hard works):
a.
Memiliki prakarsa (initiative).
b.
Tekun atau rajin (diligence).
c.
Penetapan atau perencanaan yang matang (good-setting).
d.
Kecerdikan atau kecerdasan (resourcefulness).
8. Kepribadian yang utuh (integritiy):
a. Mengikuti prinsip-prinsip moral (adhering to
moral principle).
b. Kesetiaan terhadap kata-hati (faithfulness to a
correctly formed conscience).
c. Menjaga perkataan atau satunya kata dan perbuatan (keeping
one's word).
d. Konsisten secara etik (ethical consistency).
e. Tulus atau Ihlas (being honest with oneself).
9. Perasaan berterima kasih (gratitude):
a. Kebiasaan berterima kasih (the
habit of being thankfull; appreciating one's blessings).
b. Kemampuan menghargai orang
lain (acknowledging one's debts to others).
c. Tidak suka komplain (not
complaining) atau tidak mudah menuduh.
10. Kerendah hati (humility):
a. Sadar-diri atau tahu diri (self-awarness).
b. Mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab (willingness
to mistakes and responsibility to them).
c. Keinginan untuk menjadi lebih baik (the desire
to become a better person).
Selanjutnya
Lickona (1998:53) menyebutkan adanya sebelas prinsip yang efektif dalam
menanamkan nilai-nilai karakter tersebut di atas, yaitu sebagai berikut ;
1. Memromosikan nilai-nilai pritoritas atau inti (seperti
sifat peduli, tulus (honesty), jujur (fairness), bertanggung
jawab, terbuka, rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain) dan mendukung
implementasi nilai-nilai tersebut sebagai dasar bagi karakter yang baik.
2. Mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang
meliputi aspek pemikiran, perasaan, dan perilaku.
3. Menggunakan pendekatan yang komprehensif, mendalam,
dan proaktif terhadap implementasi dan pengembangan karakter.
4. Menciptakan komunitas sekolah yang peduli.
5. Memberikan peluang kepada para siswa untuk melakukan
tindakan moral.
6. Menyusun kurikulum yang bermakna dan menghargai semua
siswa, mengembangkan karakter mereka, dan membantunya untuk mencapai
keberhasilan.
7. Berusaha keras untuk memelihara motivasi diri para
siswa.
8. Melibatkan semua warga sekolah sebagai komunitas
belajar dan moral yang bersama-sama bertanggung jawab terhadap implementasi dan
pengembangan karakter, dan berusaha untuk mentaati nilai-nilai prioritas atau
inti yang sama yang akan menjadi teladan bagi para siswa.
9. Memelihara kepemimpinan moral secara bersama-sama dan
mendukung inisiatif pendidikan karakter.
10. Melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai
patner dalam usaha membangun karakter.
11. Menekankan karakter sekolah dan menempatkan komponen
sekolah (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berfungsi sebagai guru dan teladan
bagi pembentukan karakter, hingga sampai kepada para siswa dalam mewujudkan
karakter yang baik.
D. Implementasi Budaya
Sekolah
Proses
yang efektif untuk membangun budaya sekolah adalah dengan melibatkan dan
mengajak semua pihak atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama memberikan
komitmennya. Keyakinan utama dari pihak sekolah harus difokuskan pada usaha
menyemaikan dan menanamkan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan
yang merupakan harapan setiap pemangku kepentingan tersebut. Untuk itu,
pimpinan sekolah, para guru, dan karyawan, harus fokus pada usaha
pengorganisasian yang mengarah pada harapan di atas dengan cara sebagai
berikut.
Pertama, mendefinisikan peran yang harus dimainkan oleh
pimpinan sekolah, guru, dan komunitas sekolah melalui komunikasi yang terbuka
dan kegiatan-kegiatan akademik yang dapat memberikan layanan terbaik terhadap
harapan dan kebutuhan komunitas sekolah tertentu (siswa).
Kedua, menyusun mekanisme komunikasi yang efektif, seperti
misalnya dengan melakukan pertemuan rutin (mingguan atau bulanan) di antara
pimpinan sekolah, guru, dan karyawan; pihak sekolah dengan mitra, seperti
dengan perguruan dengan atau organisasi profesi tertentu; pihak sekolah dengan
orang tua/wali; dan pihak sekolah dengan pemerintah.
Ketiga, melakukan kajian bersama untuk mencapai keberhasilan
sekolah, misalnya melalui pertemuan dengan sekolah-sekolah tertentu yang telah
berhasil atau sekolah unggulan, atau dengan melakukan studi banding.
Keempat, melakukan visualisasi visi dan misi sekolah,
keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang diharapkan sekolah.
Kelima, memberikan pelatihan-pelatihan atau memberikan
kesempatan kepada semua komponen sekolah untuk mengikuti berbagai pelatihan
atau pengembangan diri, yang mendukung terwujudnya budaya sekolah yang
diharapkan.
Selain
lima hal yang sudah disebutkan di atas, Lickona (1991:346) menyebutkan adanya
enam unsur moral positif yang hendaknya ditanamkan di lingkungan sekolah.
Keenam unsur tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama: Kepala sekolah hendaknya memperlihatkan kepemimpinan
moral akademik dengan cara :
a.
mengartikulasikan
visi dan misi sekolah secara jelas.
b.
memperkenalkan
semua warga sekolah dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan strategi
pencapaiannya serta penilaian terhadap tujuan-tujuan tersebut.
c.
meminta dukungan
dan partisipasi para orang tua/wali siswa.
d. memodelkan nilai-nilai, norma-norma, dan
kebiasaan-kebiasaan sekolah melalui interaksi dengan para guru, karyawan,
siswa, dan orang tua/wali siswa.
Kedua: Pihak sekolah membuat aturan-aturan atau disiplin
sekolah (nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan) yang efektif dengan cara:
a.
mendefinisikan
semua nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan secara jelas dan memperkuatnya.
b.
mengatasi
masalah-masalah perilaku siswa (nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan) dengan
cara yang dapat membantu perkembangan moral mereka.
c. memberikan jaminan bahwa nilai, norma, dan
kebiasaan-kebiasaan yang ditetapkan pihak sekolah akan ditegakkan sepenuhnya di
lingkungan sekolah dan dengan segera akan menghentikan semua perilaku yang menyimpang.
Ketiga: Pihak sekolah menciptakan suasana lingkungan sekolah
yang nyaman dengan cara:
a.
mendorong semua
warga sekolah untuk memberikan perhatian dan kepeduliannya antara satu dengan
yang lain.
b.
memberikan
kesempatan kepada semua siswa untuk saling mengenal satu dengan lainnya,
demikian juga dengan kepala sekolah, guru, dan karyawan.
c.
menjadikan
sebagian besar siswa agar tertarik untuk mengikuti berbagai kegiatan
ekstrakurikuler.
d.
memperkuat kegiatan keolahragaan.
e.
memasang berbagai
visualisasi atau famflet yang akan membantu perkembangan nilai, norma, dan
kebiasaan-kebiasaan yang positif.
f.
menekankan setiap
kelas untuk memberikan sumbangannya yang positif dan bermanfaat bagi sekolah.
Keempat: Pihak sekolah dapat menggunakan organisasi siswa (OSIS)
untuk memromosikan terbinanya warga sekolah yang memiliki tanggung jawab
bersama terhadap sekolah, dengan cara:
a.
menjadikan
organisasi siswa (OSIS) berperan memaksimalkan partisipasi mereka dan
menguatkan interaksi di antara kelas-kelas yang ada dengan lembaga kesiswaan.
b. memberikan tanggung jawab kepada lembaga kesiswaan
untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan dan isu-isu yang memberikan akibat
terhadap kualitas kehidupan sekolah.
Kelima: Pihak sekolah dapat menciptakan komunitas moral
dengan cara:
a.
menyediakan waktu
dan dukungan kepada para guru untuk berkeja bersama-sama dalam menyusun
pembelajaran yang bermuatan karakter.
b. melibatkan para karyawan dalam pengambilan keputusan.
Keenam: Pihak sekolah menekankan pentingnya nilai-nilai
moral dengan cara:
a.
melunakkan
tekanan-tekanan akademik sehingga para guru tidak mengabaikan perkembangan
sosial dan moral para siswa.
b. mendorong para guru untuk senantiasa bekerja atas
dasar nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang positif.
Dinyatakan
juga oleh Peterson dan Deal (2009: 207) bahwa masing-masing komponen sekolah
memainkan peran yang berbeda-beda. Mereka bertanggung jawab terhadap
kelangsungan struktur dan kegiatan-kegiatan sekolah, berbagai prosedur dan
kebijakan, program-program dan sumberdaya, serta standar dan aturan yang
berlaku di sekolah. Mereka juga memainkan peran yang pokok dalam membentuk
budaya sekolah dengan cara mengomunikasikan visi dan misi sekolah,
mengartikulasikan dan memelihara nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang
positif, serta menghargai setiap capaian yang diperoleh warga sekolah. Secara
keseluruhan, peran yang dapat dimainkan oleh masing-masing komponen sekolah
dalam mewujudkan budaya sekolah yang berbasis karakter terpuji adalah sebagai
berikut ;
1. Kepala Sekolah
Peran
yang dimainkan kepala sekolah dalam membangun budaya sekolah yang berbasis
karakter terpuji memang sangat menentukan. Peran yang dimainkan pimpinan
sekolah adalah dalam bentuk melakukan pembinaan secara terus-menerus dalam hal
pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan
karakter (reinforcing) yang baik terhadap semua warga sekolah (guru,
siswa, dan karyawan). Hal paling berat dalam membangun budaya sekolah adalah
kesediaan bertindak menampilkan keteladanan dari pimpinan teratas. Kepala sekolah
harus menjadi teladan bagi guru, karyawan, siswa, dan bahkan orangtua/wali
siswa. Secara teratur dan berkesinambungan kepala sekolah harus melakukan
komunikasi dengan warga sekolah mengenai terwujudnya budaya sekolah tersebut.
Semangat yang dimiliki kepala sekolah bagi terwujudnya budaya sekolah dengan
karakter terpuji sangat berpengaruh terhadap iklim yang akan tercipta di
lingkungan sekolahnya.
Beberapa
hal yang harus diperhatikan dan dilakukan kepala sekolah dalam mewujudkan
budaya sekolah dengan karakter terpuji adalah sebagai berikut.
- Berjuang atau berusaha keras untuk memodelkan diri atau menjadi model bagi semua guru, karyawan, dan siswa.
- Mendorong semua guru dan karyawan untuk menjadi model karakter yang baik bagi semua siswa.
- Menyediakan waktu dalam suatu siklus yang berkelanjutan, mingguan atau bulanan misalnya, bagi para guru untuk merencanakan dan melaksanakan pengintegrasian nilai-nilai karakter tertentu ke dalam pokok bahasan dalam masing-masing mata pelajaran.
- Membentuk dan mendukung bekerjanya Tim Budaya Sekolah dan Karakter dalam memperkuat pelaksanaan dan pembudayaan nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan karakter di lingkungan sekolah.
- Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tertentu yang sifatnya mendukung pembudayaan dan penamanan karakater di lingkungan sekolah, seperti seminar, pentas seni, dan pemutaran film.
2. Tim Pengawal Budaya
Sekolah dan Karakter
Untuk
membantu palaksanaan program budaya sekolah yang berbasis karakter terpuji,
pihak sekolah atau kepala sekolah hendaknya membentuk tim tersendiri. Tim ini
bisa melibatkan atau terdiri dari unsur pimpinan sekolah bimbingan dan
koseling, guru, dan perwakilan orang tua/wali siswa. Tim ini bertugas untuk
menentukan prioritas nilai, norm, kebiasaan-kebiasaan karakter tertentu yang akan
dibudayakan dan ditanamkan di lingkungan sekolah. Tim ini juga bertugas untuk
merencanakan dan menyusun program pelaksanaan pembudayaan dan penanaman
karakter di lingkungan sekolah dalam rentang waktu tertentu. Tim ini secara
periodik melakukan pertemuan untuk mengoordinasikan dan melakukan evaluasi
terhadap semua kegiatan dan perkembangan pelaksanaan program pembudayaan
karakter di lingkungan sekolah.
3. Guru
Guru
mempersiapkan berbagai pilihan dan strategi untuk menanamkan setiap
nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan ke dalam mata pelajaran yang
diampunya. Guru dapat memilih cara-cara tertentu dalam proses pemebelajarannya,
seperti menyampaikan berbagai kutipan yang berupa kata-kata mutiara atau
pribahasa yang berkaitan dengan karakter, ceritera pendek, biografi, tulisan
dari jurnal, kegiatan yang bersifat silang-kebudayaan, bermain peran, diskusi
kelompok, membuat karangan pendek, dan sebagainya. Setiap sekolah hendaknya
menentukan kegiatan khusus yang dapat mengikat para guru untuk melakukan
kegiatan tersebut secara berkelanjutan.
4. Keluarga
Orang
tua/wali murid dapat terlibat dalam kegiatan pembudayaan dan penanaman karakter
melalui bererapa kegiatan. Orang tua/wali murid secara aktif dapat memantau
perkembangan perilaku anak mereka melalui buku kegiatan siswa yang sudah
disiapkan pihak sekolah. Orang tua/wali murid secara aktif mengikui kegiatan
rutin atau bergilir yang dilaksanakan pihak sekolah dalam pertemuan-pertemuan
antara orang tua/wali murid dengan wali kelas dan guru-guru kelas.
Kalau
memungkinkan, pihak sekolah dapat menerbitkan berita berkala (bulanan) yang
diperuntukkan orang tua/wali murid. Berita berkala itu memuat kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pihak sekolah, terutama yang mendukung terlaksananya pembudayaan
dan penanaman karakter. Tidak kalah pentingnya adalah sumbangan berita yang
berasal dari masing-masing orang tua/wali siswa yang berisi pengalaman yang
dialaminya dalam mendidik anak-anak mereka, baik dari mereka yang memiliki
prestasi tinggi maupun dari mereka meresa kesulitan dalam membimbing
anak-anaknya. Di dalamnya juga memuat rubrik yang memuat konsultasi orang
tua/wali siswa tentang perilaku anak-anak.
5. Komite Sekolah dan
Msyarakat
Sekolah
bersama komite sekolah dan masyarakat secara bersama-sama menyusun suatu
kegiatan yang dapat mendukung terwujudnya pembudayaan dan penanaman karakter
yang baik bagi seluruh warga sekolah (guru, siswa, karyawan, dan orang tua/wali
siswa). Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:
- mengundang para ahli, tokoh publik, atau tokoh-tokoh yang diidolakan anak-anak, yang dapat memotivasi dan menggugah semangat para siswa untuk mewujudkan karakter yang baik dalam dirinya dan juga dalam mewujudkan cita-cita mereka.
- menyusun proyek-proyek kegiatan sosial bekerja sama dengan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan sehingga dapat dan akan melahirkan kepekaan warga sekolah (terutama siswa), baik terhadap lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
E. Strategi Pelaksanaan
Program
pelaksanaan budaya sekolah berbasis karakter terpuji ini diorganisasikan dan
diterapkan di lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi pemodelan (modeling),
pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing).
Pembudayaan dan penanaman karakter ini secara terus-menerus mensyaratkan proses
pemodelan, pengajaran, dan penguatan lingkungan atas karakter yang baik. Tim
Budaya Sekolah dan Karakter harus menjalin kerjasama secara interkoneksi dengan
semua komponen sekolah dan menyatukan langkah mereka untuk membangun lingkungan
sekolah yang berkarakter terpuji.
Ketika
semua komponen sekolah dilibatkan dalam pembudayaan dan penanaman karakter, ini
berarti bahwa nilai, norma, kebiasaan-kebiasaan karakter yang sudah
diprioritaskan harus dimodelkan oleh semua warga sekolah (kepala sekolah, guru,
siswa, dan karyawan), diintegrasikan oleh setiap guru ke dalam mata pelajaran,
dan dikuatkan oleh penataan lingkungan sekolah. Sementara itu, orang tua/wali
siswa juga harus memperhatikan perkembangan karakter anak-anak mereka ketika
berada di rumah; demikian juga dengan proyek-proyek sosial yang disiapkan oleh
komite sekolah dan masyarakat.
1. Pemodelan (Modeling)
Sekolah: Tim Budaya Sekolah dan Karakter akan membantu kepala
sekolah, para guru, dan karyawan untuk memahami atau mengerti arti penting
pemodelan yang sehat bagi para siswa mereka. Ungkapan umum mengatakan bahwa
karakter lebih mudah dipaktekkan dari pada diajarkan. Pihak sekolah harus
memahami betul bahwa pelajaran atas nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan
karakter yang pertama bagi para siswa adalah karakter diri mereka sendiri,
yaitu bagaimana kepala sekolah, guru, dan karyawan bersikap di antara mereka
sendiri, memperlakukan dan melayani orang tua/wali siswa, dan tentu saja ketika
mereka memperlakukan dan melayani para siswa itu sendiri.
Keluarga: Orang tua memainkan peran yang sangat penting
sebagai model bagi anak-anak mereka. Tim Budaya Sekolah dan Karakter dapat
membantu para orang tua dengan menerbitkan berita berkala yang di dalamnya
memuat kajian tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik atau berisi
konsultasi orang tua dengan tim bimbingan dan koseling.
Masyarakat: Masyarakat juga memainkan peran yang tak kalah
pentingnya sebagai contoh atau model yang dapat menjadi pendorong keberhasilan
para siswa dalam menerapkan nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan karakter yang
baik. Tokoh-tokoh panutan tertentu dapat dijadikan model bagi para siswa dengan
dihadirkan di sekolah untuk melakukan sharing atas kehidupan dan
keberhasilan mereka. Para siswa pun dapat diminta untuk menemui atau melakukan
wawancara ringan dengan tokoh-tokoh tersebut dan meminta mereka menceritakan
hubungan antara nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan karakter yang baik dan
keberhasilan dalam kehidupan mereka.
2. Pengajaran (Teaching)
Pihak
sekolah bersama-sama dengan keluarga dan masyarakat harus memberikan perhatian
yang serius terhadap pentingnya pembelajaran nilai, norma, dan
kebiasaan-kebiasaan karakter bagi para siswa. Semua kegiatan harus
diorganisasikan secara tepat sesuai dengan karakter yang sedang dibudayakan.
Hendaknya ada bahasa yang sama yang digunakan pihak sekolah dan oranag tua.
Program tersebut dapat secara mudah diterapkan baik di sekolah maupun di rumah,
yaitu sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan karakter yang sudah
menjadi prioritas.
Sekolah: Kurikulum yang diterapkan di sekolah dalam
mewujudkan budaya sekolah yang berkarakter terpuji meliputi mata pelajaran,
berbagai kegiatan, dan proyek sosial. Dalam hal ini guru secara aktif
mengajarkan kepada para siswa mengenai arti penting nilai, norma, dan
kebiasaan-kebiasaan karakter terpuji yang menjadi prioritas sekolah dengan cara
mengintegrasikannya ke dalam setiap mata pelajaran.
Keluarga: Lingkungan pembelajaran yang utama bagi anak-anak
adalah di rumah. Para orang tua dapat mendiskusikan tentang nilai, norma,
kebiasaan-kebiasaan karakter yang menjadi prioritas sekolah dan bagaimana
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka masing-masing. Untuk
membantu para orang tua, Tim Budaya Sekolah dan Karakter beserta sekolah dapat
menyusun kegiatan periodik yang dapat membantu mereka seperti kegiatan
konsultasi kelas atau kelas orang tua.
Masyarakat: Tim Budaya Sekolah dan Karakter dapat mengajarkan
nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan karakter yang baik kepada
para siswa dengan cara menghadirkan tokoh-tokoh idola ke sekolah. Selain itu,
tim pun dapat menyiapkan atau membuat proyek untuk melakukan kunjungan sosial
ke tempat-tempat tertentu yang sesuai dengan nilai, norma, kebiasaan-kebiasaan
karakter yang menjadi proritas. Untuk hal yang kedua para siswa dapat diajak
untuk bakti sosial atau berkunjung ke panti asuhan, panti jompo, dan lainnya.
3. Penguatan Lingkungan (Reinforcing)
Agar
pembudayaan karakter ini dapat berkembang dan berjalan dengan efektif, harus
didukung dengan adanya penguatan yang konsisten. Penguatan yang konsisten ini
antara lain dengan dilakukannya komunikasi yang terus-menerus berkaitan dengan
nilai, norma, kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi prioritas dan juga
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menerapkan nilai-nilai tersebut.
Sekolah: Penguatan terhadap pembudayaan karakter yang baik di
sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara. Kebijakan mengenai aturan atau
tata tertib sekolah adalah menjadi acuan pokok dalam pembudayaan karakter di
sekolah. Penguatan yang lain dapat berupa pembiasaan-pembiasaan yang
diprogramkan pihak sekolah seperti pembiasaan tegur, salam, dan sapa, serta
jabat tangan, shalat dhuha (bagi umat Islam), berdoa dalam mengawali dan
mengakhiri suatu kegiatan, dan lain sebagainya. Penguatan pembudayaan karakter
dapat juga berupa visualisasi atau pemasangan pamflet-pamflet yang bermuatan
nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan karakter, majalah dinding, dan pemberian
penghargaan kepada para guru, siswa, atau kelas tertentu yang memperlihatkan
prestasi yang berhubungan dengan nilai-nilai karakter prioritas. Tidak kalah
pentingnya untuk mendukung pembudayaan karakter yang baik adalah penataan fisik
lingkungan sekolah, seperti pertamanan dan lingkungan yang bersih dan sehat.
Keluarga: Penguatan pembudayaan karakter yang baik dilakukan
juga dalam lingkungan keluarga. Pembudayaan ini dapat dilakukan dengan
memberikan bahan bacaan ringan kepada anak-anak yang dapat menuntun
terbentuknya karakter terpuji. Hal-hal lain yang dapat dilakukan keluarga
adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan positif sesuai dengan nilai-nilai
karakter yang menjadi prioritas sekolah. Demikian juga dengan melakukan
penataan tata ruang di lingkunga keluarga.
Masyarakat: Penguatan pembudayaan karakter terpuji ini dapat
dilakukan dengan meminta para siswa untuk menemui tokoh-tokoh masyarakat
setempat. Mereka dapat melakukan wawancara ringan atau diminta untuk
menceritakan keteladanan dan keberhasilan seorang tokoh. Selain menemui dan
menceritakan sosok tokoh masyarakat, proyek sosial yang ditugaskan kepada para
siswa akan memberikan kesempatan kepada mereka secara aktif untuk menerapkan
nilai-nilai karakter terpuji yang sekaligus merupakan sumbangan mereka terhadap
masyarakat.
F. Penutup
Masing-masing
komponen sekolah, sejak dari kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang
tua/wali, dan juga masyarakat, memainkan peran yang penting bagi terwujudnya
budaya sekolah. Mereka setiap hari harus mencurahkan dan memberikan
perhatiannya terhadap berlakunya nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan terpuji
di lingkungan sekolah. Tewujudnya budaya sekolah sepenuhnya berada di tangan
mereka. Tanpa adanya perhatian yang memadai dan kolaborasi yang kuat di antara
mereka, sulit rasanya untuk dapat mewujudkan budaya sekolah yang baik. Tanpa
adanya kohesivitas dari semua komponen sekolah, sekolah akan mengalami suasana
kebingungan, warga sekolah akan mengalami ketidakjelasan arah, dan tidak tahu
ke mana arah yang harus dituju.
Melalui
pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan (reinforcing),
di tambah dengan semangat dan kolaborasi semua komponen sekolah, terwujudnya
budaya sekolah berbasis karakter terpuji bukanlah angan-angan yang kosong.
Bangsa ini memang harus menjadikan sekolah-sekolah sebagai lahan yang subur
dengan memberikan pemupukan yang baik demi terwujud budaya sekolah yang luhur.
Setiap pihak harus siap untuk berubah dan melakukan perubahan ke arah tersebut.
Daftar Pustaka:
Callicoatte
Picucci, Ali dkk. 2002. Shaping School Culture. Texas: University of
Texas.
Deal,
Terrence E. dan Kent D. Peterson. 2009. Shaping School Culture: Pitfall,
Paradoxes, and Promises. San Francisco: Josses-Bass.
Komaruddin
Hidayat. 2010. “Kultur Sekolah”. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/
category-table/1456-membangun-kultur-sekolah-.html.
Lickona,
Thomas. 2004. “Make Your School A School of Character”, dalam Character
Matters, www. Cortland.edu/character.
-------.
(1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
-------.
(1998). “Eleven Principles of Effective Character Education”, dalam Scholastic
Early Chilhood Today, Nov/Dec. 1998: 13.3; ProQuest Education Journals.
Nur
Syam. 2011. “Membangun Kultur Sekolah”. http://www.psb-psma.org/ content/blog/
3460-membangun-kultur-sekolah.
Peterson,
Kent D. and Terrence E. Deal. 2009. The Shaping School Culture Filedbook.
San Francisco: Josses-Bass.
Shapiro,
Seth. Wise Skills: Schoolwide Implementation. Santa Cruz: www.
wiseskills.com.